Perang Saudara Sudan Selatan

Situasi di Sudan Selatan pada 20 Oktober 2016.

Perang Saudara Sudan Selatan adalah konflik yang berlangsung di Sudan Selatan antara pasukan pemerintah melawan pasukan oposisi.[1][2][3][4]

Pada Desember 2013, terjadi perebutan kekuasaan politik antara Presiden Kiir melawan mantan wakilnya Riek Machar.[5] Sang presiden menuduh bahwa Machar dan sepuluh orang lainnya berupaya melancarkan kudeta.[6] Machar menampik tuduhan ini, melarikan diri dan kemudian menyerukan agar Kiir mengundurkan diri.[7] Pertempuran meletus antara Gerakan Pembebasan Sudan Selatan melawan Gerakan Pembebasan Sudan Selatan - Perjuangan dan memicu perang saudara. Pasukan Uganda dikirim untuk membantu pemerintah Sudan Selatan dalam upaya pemadaman pemberontakan.[8] Pada Januari 2014, perjanjian gencatan senjata pertama ditandatangani. Pertempuran terus berlanjut dan kemudian perjanjian-perjanjian gencatan senjata lainnya disepakati. Negosiasi dimediasikan oleh "IGAD +" (yang mencakup delapan negara-negara regional yang disebut Intergovernmental Authority on Development beserta Uni Afrika, Perserikatan Bangsa-Bangsa, Tiongkok, Uni Eropa, Amerika Serikat, Britania Raya dan Norwegia). Perjanjian perdamaian yang disebut "Perjanjian Perdamaian Kompromi" ditandatangani di Etiopia di bawah ancaman sanksi Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk kedua belah pihak pada Agustus 2015.[9] Machar kembali ke Juba pada tahun 2016 dan diangkat sebagai wakil presiden.[10] Setelah pertempuran kembali pecah di Juba, Machar sekali lagi melarikan diri dan pergi ke pengasingan di Sudan.[11]

Diperkirakan 300.000 orang tewas akibat perang ini, termasuk korban jiwa dalam kejahatan-kejahatan perang seperti pembantaian Bentiu 2014.[12][13] Meskipun kedua belah pihak didukung oleh orang-orang yang berasal dari kelompok etnis yang berbeda, perang pada akhirnya terkait dengan perpecahan etnis. Kelompok etnis Dinka yang merupakan kelompok etnis Presiden Kiir dituduh melakukan serangan terhadap kelompok etnis lain, sementara kelompok etnis Nuer yang merupakan kelompok etnis Machar dituduh melakukan serangan terhadap suku Dinka.[14] Lebih dari 1.000.000 orang menjadi pengungsi internal di Sudan Selatan dan lebih dari 400.000 orang telah melarikan diri ke negara-negara tetangga,[15] terutama Kenya, Sudan, dan Uganda.[16]

Catatan kaki

  1. ^ "The descent into civil war". The Economist. 27 December 2013. Diakses tanggal 4 January 2014. 
  2. ^ "UN: War crimes happening in South Sudan". Al Jazeera. 18 January 2014. Diakses tanggal 19 January 2014. 
  3. ^ Blair, David (18 January 2014). "South Sudan army recaptures key state capital". The Telegraph. Diakses tanggal 19 January 2014. 
  4. ^ "S Sudanese refugees forced to flee to Darfur". Al Jazeera English. Diakses tanggal 2014-04-22. 
  5. ^ Koos, Carlo; Gutschke, Thea (2014). "South Sudan's Newest War: When Two Old Men Divide a Nation". GIGA Focus International Edition (2). Diakses tanggal 1 September 2016. 
  6. ^ Kulish, Nicholas (9 January 2014). "New Estimate Sharply Raises Death Toll in South Sudan". The New York Times. Diakses tanggal 2 February 2014. 
  7. ^ "South Sudan opposition head Riek Machar denies coup bid". bbcnews.com. 18 December 2013. Diakses tanggal 18 December 2013. 
  8. ^ "Yoweri Museveni: Uganda troops fighting South Sudan rebels". BBC News. 16 January 2014. 
  9. ^ "South Sudan country profile". BBC. 
  10. ^ "South Sudan rebel chief Riek Machar sworn in as vice-president". bbcnews.com. 26 April 2016. Diakses tanggal 30 April 2016. 
  11. ^ "South Sudan's Riek Machar in Khartoum for medical care". aljazeera. 23 August 2016. Diakses tanggal 23 August 2016. 
  12. ^ "South Sudan is dying, and nobody is counting Diarsipkan 2017-08-10 di Wayback Machine.". News24. 11 March 2016.
  13. ^ "50,000 and not counting: South Sudan's war dead". ReliefWeb. 15 November 2014.
  14. ^ "South Sudan 'coup leaders' face treason trial". BBC News. 29 January 2014. 
  15. ^ "South Sudan: Massacres, Unlawful Killings, Pillage". Human Rights Watch. 8 August 2014.
  16. ^ "UN: Over one million displaced by South Sudan conflict". BBC News. 29 March 2014. 


Kembali kehalaman sebelumnya