Penyakit Hansen
Penyakit Hansen atau Morbus Hansen yang dahulu dikenal sebagai penyakit kusta atau lepra adalah sebuah penyakit infeksi kronis yang sebelumnya, diketahui hanya disebabkan oleh bakteri Mycobacterium leprae,[1] hingga ditemukan bakteri Mycobacterium lepromatosis oleh Universitas Texas pada tahun 2008,[2] yang menyebabkan endemik sejenis kusta di Meksiko dan Karibia, yang dikenal lebih khusus dengan sebutan diffuse lepromatous leprosy.[3] Sedangkan bakteri Mycobacterium leprae ditemukan oleh seorang ilmuwan Norwegia bernama Gerhard Henrik Armauer Hansen pada tahun 1873 sebagai patogen yang menyebabkan penyakit yang telah lama dikenal sebagai lepra. Saat ini penyakit lepra lebih disebut sebagai penyakit Hansen, bukan hanya untuk menghargai jerih payah penemunya, melainkan juga karena kata leprosy dan leper mempunyai konotasi yang begitu negatif, sehingga penamaan yang netral lebih diterapkan untuk mengurangi stigma sosial yang tak seharusnya diderita oleh pasien kusta.[4] Penyakit ini adalah tipe penyakit granulomatosa pada saraf tepi dan mukosa dari saluran pernapasan atas; dan lesi pada kulit adalah tanda yang bisa diamati dari luar.[5] Bila tidak ditangani, kusta dapat sangat progresif, menyebabkan kerusakan pada kulit, saraf-saraf, anggota gerak, dan mata. Tidak seperti mitos yang beredar di masyarakat, kusta tidak menyebabkan pelepasan anggota tubuh yang begitu mudah, seperti pada penyakit tzaraath. SejarahKonon, kusta telah menyerang manusia sejak 300 SM, dan telah dikenal oleh peradaban Tiongkok kuno, Mesir Kuno, dan India.[6] Pada tahun 1995, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) memperkirakan terdapat dua hingga tiga juta jiwa yang cacat permanen karena kusta.[7] Walaupun pengisolasian atau pemisahan penderita dengan masyarakat dirasakan kurang perlu dan tidak etis, beberapa kelompok penderita masih dapat ditemukan di berbagai belahan dunia, seperti India dan Vietnam. Pengobatan yang efektif terhadap penyakit kusta ditemukan pada akir 1940-an dengan diperkenalkannya promin, yang disusul dengan pengenalan dapson dan derivatnya. Bagaimanapun juga, bakteri penyebab lepra secara bertahap menjadi kebal terhadap dapson dan menjadi kian menyebar. Hal ini terjadi hingga ditemukannya pengobatan multiobat pada awal 1980-an dan penyakit ini pun mampu ditangani kembali. Ciri-ciriManifestasi klinis dari kusta sangat beragam, namun terutama mengenai kulit, saraf, dan membran mukosa.[8] Pasien dengan penyakit ini dapat dikelompokkan lagi menjadi kusta tuberkuloid (Inggris: paucibacillary), kusta lepromatosa (penyakit Hansen multibasiler), atau kusta multibasiler (borderline leprosy). Kusta multibasiler, dengan tingkat keparahan yang sedang, adalah tipe yang sering ditemukan. Terdapat lesi kulit yang menyerupai kusta tuberkuloid namun jumlahnya lebih banyak dan tak beraturan; bagian yang besar dapat mengganggu seluruh tungkai, dan gangguan saraf tepi dengan kelemahan dan kehilangan rasa rangsang. Tipe ini tidak stabil dan dapat menjadi seperti kusta lepromatosa atau kusta tuberkuloid. Kusta tuberkuloid ditandai dengan satu atau lebih hipopigmentasi makula kulit dan bagian yang tidak berasa (anestetik). Kusta lepormatosa dihubungkan dengan lesi, nodul, plak kulit simetris, dermis kulit yang menipis, dan perkembangan pada mukosa hidung yang menyebabkan penyumbatan hidung (kongesti nasal) dan epistaksis (hidung berdarah) namun pendeteksian terhadap kerusakan saraf sering kali terlambat. Tidak sejalan dengan mitos atau kepercayaan yang ada, penyakit ini tidak menyebabkan pembusukan bagian tubuh. Menurut penelitian yang lama oleh Paul Brand, disebutkan bahwa ketidakberdayaan merasakan rangsang pada anggota gerak sering menyebabkan luka atau lesi. Kini, kusta juga dapat menyebabkan masalah pada penderita AIDS.[9] PenyebabMycobacterium leprae adalah penyebab dari kusta.[5] Sebuah bakteri yang tahan asam M. leprae juga merupakan bakteri aerobik, gram positif, berbentuk batang, dan dikelilingi oleh membran sel lilin yang merupakan ciri dari spesies Mycobacterium.[10] M. leprae belum dapat dikultur pada laboratorium.[11] PatofisiologiMekanisme penularan yang tepat belum diketahui. Beberapa hipotesis telah dikemukakan seperti adanya kontak dekat dan penularan dari udara.[12] Selain manusia, hewan yang dapat tekena kusta adalah armadilo, simpanse, dan monyet pemakan kepiting.[13] Terdapat bukti bahwa tidak semua orang yang terinfeksi oleh kuman M. leprae menderita kusta, dan diduga faktor genetika juga ikut berperan, setelah melalui penelitian dan pengamatan pada kelompok penyakit kusta di keluarga tertentu. Belum diketahui pula mengapa dapat terjadi tipe kusta yang berbeda pada setiap individu.[14] Faktor ketidakcukupan gizi juga diduga merupakan faktor penyebab. Penyakit ini sering dipercaya bahwa penularannya disebabkan oleh kontak antara orang yang terinfeksi dan orang yang sehat.[15] Dalam penelitian terhadap insidensi, tingkat infeksi untuk kontak lepra lepromatosa beragam dari 6,2 per 1000 per tahun di Cebu, Philipina[16] hingga 55,8 per 1000 per tahun di India Selatan.[17] Dua pintu keluar dari M. leprae dari tubuh manusia diperkirakan adalah kulit dan mukosa hidung. Telah dibuktikan bahwa kasus lepromatosa menunjukkan adanya sejumlah organisme di dermis kulit. Bagaimanapun masih belum dapat dibuktikan bahwa organisme tersebut dapat berpindah ke permukaan kulit. Walaupun terdapat laporan bahwa ditemukanya bakteri tahan asam di epitel deskuamosa di kulit, Weddel et al melaporkan bahwa mereka tidak menemukan bakteri tahan asam di epidermis.[18] Dalam penelitian terbaru, Job et al menemukan adanya sejumlah M. leprae yang besar di lapisan keratin superfisial kulit di penderita kusta lepromatosa. Hal ini membentuk sebuah pendugaan bahwa organisme tersebut dapat keluar melalui kelenjar keringat.[19] Pentingnya mukosa hidung telah dikemukakan oleh Schäffer pada 1898.[20] Jumlah dari bakteri dari lesi mukosa hidung di kusta lepromatosa, menurut Shepard, antara 10.000 hingga 10.000.000 bakteri.[21] Pedley melaporkan bahwa sebagian besar pasien lepromatosa memperlihatkan adanya bakteri di sekret hidung mereka.[22] Davey dan Rees mengindikasi bahwa sekret hidung dari pasien lepromatosa dapat memproduksi 10.000.000 organisme per hari.[23] Pintu masuk dari M. leprae ke tubuh manusia masih menjadi tanda tanya. Saat ini diperkirakan bahwa kulit dan saluran pernapasan atas menjadi gerbang dari masuknya bakteri. Rees dan McDougall telah sukses mencoba penularan kusta melalui aerosol di mencit yang ditekan sistem imunnya.[24] Laporan yang berhasil juga dikemukakan dengan pencobaan pada mencit dengan pemaparan bakteri di lubang pernapasan.[25] Banyak ilmuwan yang mempercayai bahwa saluran pernapasan adalah rute yang paling dimungkinkan menjadi gerbang masuknya bakteri, walaupun demikian pendapat mengenai kulit belum dapat disingkirkan. Masa inkubasi pasti dari kusta belum dapat dikemukakan. Beberapa peneliti berusaha mengukur masa inkubasinya. Masa inkubasi minimum dilaporkan adalah beberapa minggu, berdasarkan adanya kasus kusta pada bayi muda.[26] Masa inkubasi maksimum dilaporkan selama 30 tahun. Hal ini dilaporan berdasarkan pengamatan pada veteran perang yang pernah terekspos di daerah endemik dan kemudian berpindah ke daerah non-endemik. Secara umum, telah disetujui, bahwa masa inkubasi rata-rata dari kusta adalah 3-5 tahun. PengobatanSampai pengembangan dapson, rifampin, dan klofazimin pada 1940an, tidak ada pengobatan yang efektif untuk kusta. Namun, dapson hanyalah obat bakterisidal (pembasmi bakteri) yang lemah terhadap M. leprae. Penggunaan tunggal dapson menyebabkan populasi bakteri menjadi kebal. Pada 1960an, dapson tidak digunakan lagi. Pencarian terhadap obat anti kusta yang lebih baik dari dapson, akhirnya menemukan klofazimin dan rifampisin pada 1960an dan 1970an.[27] Kemudian, Shantaram Yawalkar dan rekannya merumuskan terapi kombinasi dengan rifampisin dan dapson, untuk mengakali kekebalan bakteri.[28] Terapi multiobat dan kombinasi tiga obat di atas pertama kali direkomendasi oleh Panitia Ahli WHO pada 1981. Cara ini menjadi standar pengobatan multiobat. Tiga obat ini tidak digunakan sebagai obat tunggal untuk mencegah kekebalan atau resistensi bakteri. Terapi di atas lumayan mahal, maka dari itu cukup sulit untuk masuk ke negara yang endemik. Pada 1985, kusta masih menjadi masalah kesehatan masyarakat di 122 negara. Pada Pertemuan Kesehatan Dunia (WHA) ke-44 di Jenewa, 1991, menelurkan sebuah resolusi untuk menghapus kusta sebagai masalah kesehatan masyarakat pada tahun 2000, dan berusaha untuk ditekan menjadi 1 kasus per 100.000. WHO diberikan mandat untuk mengembangkan strategi penghapusan kusta. Kelompok Kerja WHO melaporkan Kemoterapi Kusta pada 1993 dan merekomendasikan dua tipe terapi multiobat standar.[29] Yang pertama adalah pengobatan selama 24 bulan untuk kusta lepromatosa dengan rifampisin, klofazimin, dan dapson. Yang kedua adalah pengobatan 6 bulan untuk kusta tuberkuloid dengan rifampisin dan dapson. Sejak 1995, WHO memberikan paket obat terapi kusta secara gratis pada negara endemik, melalui Kementrian Kesehatan. Strategi ini akan bejalan hingga akhir 2010. Pengobatan multiobat masih efektif dan pasien tidak lagi terinfeksi pada pemakaian bulan pertama.[6] Cara ini aman dan mudah. jangka waktu pemakaian telah tercantum pada kemasan obat.[6] KomplikasiRagam komplikasi kusta yang bisa terjadi:
EpidemiologiDi seluruh dunia, dua hingga tiga juta orang diperkirakan menderita kusta.[7] India adalah negara dengan jumlah penderita terbesar, diikuti oleh Brasil dan Myanmar. Tetapi untuk kasus kusta baru, Indonesia menduduki posisi nomor-3 dengan 16.825 kasus dan angka kecacatan 6,82 orang per sejuta penduduk. Kasus kusta baru tertinggi terdapat di India dengan 134.752 kasus, kemudian diikuti oleh Brazil dengan 33.303 kasus.[31] Pada 1999, insidensi penyakit kusta di dunia diperkirakan 640.000, pada 2000, 738.284 kasus ditemukan. Pada 1999, 108 kasus terjadi di Amerika Serikat. Pada 2000, WHO membuat daftar 91 negara yang endemik kusta. 70% kasus dunia terdapat di India, Myanmar, dan Nepal. Pada 2002, 763.917 kasus ditemukan di seluruh dunia, dan menurut WHO pada tahun itu, 90% kasus kusta dunia terdapat di Brasil, Madagaskar, Mozambik, Tanzania dan Nepal. Kelompok berisikoKelompok yang berisiko tinggi terkena kusta adalah yang tinggal di daerah endemik dengan kondisi yang buruk seperti tempat tidur yang tidak memadai, air yang tidak bersih, asupan gizi yang buruk, dan adanya penyertaan penyakit lain seperti HIV yang dapat menekan sistem imun. Pria memiliki tingkat terkena kusta dua kali lebih tinggi dari wanita. Situasi global
Sebagaimana yang dlaporkan oleh WHO pada 115 negara dan teritori pada 2006 dan diterbitkan di Weekly Epidemiological Record, prevalensi terdaftar kusta pada awal tahun 2006 adalah 219.826 kasus.[32] Penemuan kasus baru pada tahun sebelumnya adalah 296.499 kasus. Alasan jumlah penemuan tahunan lebih tinggi dari prevalensi akhir tahun dijelaskan dengan adanya fakta bahwa proporsi kasus baru yang terapinya selesai pada tahun yang sama sehingga tidak lagi dimasukkan ke prevalensi terdaftar. Penemuan secara globa terhadap kasus baru menunjukkan penurunan. Tabel 1 menunjukkan penemuan kasus secara global menurun sejak 2001. Tabel 2 menunjukkan situasi kusta pada enam negara utama. Lihat pulaReferensi
Bacaan lanjut
Pranala luarWikimedia Commons memiliki media mengenai Leprosy.
|