Penjarahan Amorion
Penjarahan Amorion (disebut Ammuriyah dalam sumber Muslim) yang dilancarkan oleh Kekhalifahan Abbasiyah pada pertengahan Agustus 838 merupakan salah satu peristiwa terpenting dalam sejarah Peperangan Arab-Bizantium. Pasukan Abbasiyah dipimpin secara langsung oleh Khalifah al-Mu'tashim (memerintah 833–842) dan bertujuan membalas penyerangan oleh Kaisar Bizantium Teofilos (memerintah 829–842) terhadap wilayah perbatasan kekhalifahan setahun sebelumnya. Khalifah al-Mu'tashim menyerang Amorion, sebuah kota Bizantium di Anatolia bagian barat, karena tempat tersebut adalah tempat kelahiran dinasti pemerintahan Bizantium dan salah satu kota terbesar dan terpenting di wilayah Bizantium pada masa itu. Sang khalifah berhasil mengumpulkan pasukan dalam jumlah yang besar, yang kemudian ia bagi menjadi dua. Kedua pasukan ini lalu menyerbu dari timur laut dan selatan. Pasukan timur laut berhasil mengalahkan pasukan Bizantium yang dipimpin oleh Teofilos di Anzen, alhasil pasukan Abbasiyah dapat memasuki pedalaman Asia Kecil dan berkumpul di Ankira, yang mereka temukan dalam keadaan ditinggalkan. Setelah menjarah kota tersebut, mereka bergerak ke arah selatan menuju Amorion. Mereka tiba di kota tersebut pada 1 Agustus. Teofilos sendiri tidak dapat mengirimkan bala bantuan ke Amorion akibat persekongkolan di Konstantinopel dan pemberontakan kontingen Khurramiyah. Amorion memiliki pertahanan yang sangat kuat, tetapi ada seorang pengkhianat yang membocorkan keterangan mengenai titik lemah di tembok kota tersebut, alhasil pasukan Abbasiyah memusatkan serangan mereka di tempat itu dan berhasil menjebol pertahanan kota. Boiditzes yang merupakan panglima di sisi tembok tersebut kemudian mencoba berunding dengan Abbasiyah tanpa memberitahukan atasannya terlebih dahulu. Ia lalu menyepakati gencatan senjata dan meninggalkan tempatnya bertugas, sehingga pasukan Abbasiyah dapat memasuki kota Amorion dan merebutnya. Amorion lalu dihancurkan dan tidak dapat bangkit lagi seperti sebelumnya. Banyak warganya yang dibantai dan sisanya diperbudak. Kebanyakan dari mereka yang selamat akhirnya dilepaskan setelah disepakatinya gencatan senjata pada tahun 841. Namun, para pejabat penting dibawa ke ibu kota Abbasiyah di Samarra dan beberapa tahun kemudian dihukum mati karena mereka menolak masuk Islam. Semenjak itu, mereka dikenal dengan julukan 42 Martir Amorion. Peristiwa tersebut juga dijadikan subjek oleh Abu Tammam dalam membuat Syair Pujian tentang Penaklukan Amuriyyah (bahasa Arab: بمناسبة معركة عمورية) dan dimanfaatkan sebagai sarana untuk melegitimasi kekuasaan oleh Al-Mu'tashim. Penaklukan Amorion tidak hanya menjadi malapetaka bagi Teofilos, tetapi juga membuat trauma rakyat Bizantium, seperti yang bisa dilihat dalam karya-karya sastra yang ditulis sesudahnya. Penjarahan ini memang tidak mengubah keseimbangan kekuatan di antara Bizantium dan Abbasiyah. Secara perlahan, Bizantium justru malah semakin menguat. Namun, dampak terbesar dari peristiwa ini dapat ditilik dari segi keagamaan. Kaisar Teofilos sangat mendukung ikonoklasme (penolakan gambar-gambar dalam beragama) yang diyakini akan merahmati Bizantium dengan kemenangan yang gemilang. Penjarahan ini meruntuhkan keyakinan tersebut, alhasil kejatuhan Amorion menjadi faktor penting yang mendorong orang-orang meninggalkan ikonoklasme setelah Teofilos wafat pada tahun 842. Latar belakangPada tahun 829, ketika kaisar muda Teofilos (lahir 813) naik ke tampuk kekuasaan di Bizantium, negaranya sudah berkali-kali berperang melawan kekhalifahan Islam selama hampir dua abad, meskipun perdamaian sempat terjaga selama hampir dua puluh tahun akibat berkecamuknya perang saudara di Kekhalifahan Abbasiyah. Pada masa kenaikan takhta Teofilos, kaum Muslimin melanjutkan serangan mereka di timur di bawah kepemimpinan Khalifah al-Ma'mun (memerintah 813–833). Sementara itu, di sebelah barat, pasukan Muslim berhasil menaklukkan Sisilia secara bertahap dari tangan Bizantium sejak tahun 827. Teofilos adalah sosok yang ambisius dan juga merupakan penganut ikonoklasme yang sangat teguh. Ikonoklasme sendiri merupakan keyakinan yang melarang penggambaran tokoh-tokoh ilahi dan pemuliaan ikon-ikon. Ia mencoba mengukuhkan rezimnya dan memperkuat kebijakan ikonoklasme dengan cara memperoleh kemenangan dalam perang melawan Abbasiyah, musuh bebuyutan Kekaisaran.[6] Dengan maksud untuk mendapatkan berkat Allah dan membalas persekongkolan kaum "ikonofil", Teofilos menindas para "ikonofil" dan orang-orang lainnya yang dianggap sesat pada Juni 833, termasuk dengan melakukan penangkapan, pengasingan, pemukulan, dan penyitaan harta benda. Dari sudut pandang para pendukung ikonoklasme, Allah tampak telah merestui tindakan tersebut. Al-Ma'mun wafat pada tahap-tahap pertama serangan besar-besaran yang dilancarkan Abbasiyah dengan tujuan menaklukkan Konstantinopel, sementara saudara sekaligus penerusnya, al-Mu'tashim, memilih untuk memusatkan perhatiannya pada urusan-urusan dalam negeri karena ia menghadapi kesulitan dalam menegakkan kekuasaannya. Al-Mu'tashim sendiri juga harus memadamkan pemberontakan sekte Khurramiyah yang dipimpin oleh Babak Khorramdin. Hal ini memungkinkan Teofilos untuk mencetak berbagai kemenangan dalam selang waktu beberapa tahun. Selain itu, ia juga dapat menggelembungkan jumlah pasukannya dengan tambahan sekitar 14.000 pengungsi Khurramiyah yang dipimpin oleh Nasr. Nasr sendiri kemudian dibaptis menjadi Kristen dan menyandang nama Teofobos.[9] Kemenangan yang diperoleh oleh Teofilos sebenarnya biasa-biasa saja, tetapi setelah dirundung kekalahan dan perang saudara selama dua dasawarsa di bawah kepemimpinan kaisar-kaisar yang "ikonofil", Teofilos merasa bahwa ia berhak mengklaim kemenangan tersebut untuk memperkuat kebijakan ikonoklasmenya. Maka dari itu, sang kaisar mulai mengaitkan dirinya dengan kaisar ikonoklas sebelumnya yang fanatik dan berjaya dalam hal militer, Konstantinus V (memerintah 741–775). Ia juga mengeluarkan koin follis tembaga jenis baru yang dicetak dalam jumlah besar. Penggambaran pada koin tersebut menampilkan dirinya sebagai kaisar Romawi yang gemilang.[7][8] Pada tahun 837, atas desakan dari Babak, Teofilos memutuskan untuk memanfaatkan kemelut yang dihadapi oleh Abbasiyah dengan melancarkan kampanye militer terhadap zona perbatasan yang dikuasai Muslim. Ia mengumpulkan pasukan dalam jumlah yang sangat besar,[a] yang terdiri dari sekitar 70.000 prajurit tempur dengan jumlah keseluruhan sebesar 100.000 orang (menurut ath-Thabari). Ia kemudian menyerang wilayah Abbasiyah di sekitar daerah hulu Sungai Efrat tanpa menghadapi perlawanan yang berarti. Pasukan Bizantium merebut kota Zibathra (Sozopetra) dan Arsamosata, menjarah daerah pedesaan, memperoleh pembayaran dari berbagai kota agar pasukan Bizantium tidak menyerang mereka, dan mengalahkan sejumlah pasukan Abbasiyah yang berjumlah kecil.[10][11][12] Menurut sumber Abbasiyah, seorang wanita dari Bani Hasyim ditawan oleh pihak Bizantium dan berteriak "Wa-Mu'tashimah" (Wahai Mu'tashim!). Seruan ini konon menggerakkan sang Khalifah.[13][14] Saat Teofilos berpulang untuk merayakan kemenangan di Hipodrom Konstantinopel sebagai "juara tiada banding", para pengungsi dari Zibathra mulai tiba di ibu kota al-Mu'tashim di Samarra. Pemerintah Abbasiyah dibuat murka oleh kekejaman yang dilakukan oleh para penyerang tersebut. Bizantium tidak hanya bersekongkol dengan para pemberontak Khurramiyah, tetapi konon di Zibathra (yang diklaim sebagai tempat kelahiran al-Mu'tashim oleh beberapa sumber)[b] mereka juga membantai tawanan-tawanan pria dan menjual sisanya sebagai budak, sementara beberapa tawanan wanita diperkosa oleh pasukan Khurramiyah.[15][16][17][18] Namun, perang yang dikobarkan oleh Teofilos tak mampu menyelamatkan Babak dan para pengikutnya. Pada akhir tahun 837, mereka dikalahkan di benteng pegunungan mereka oleh panglima Afsyin. Babak melarikan diri ke Armenia. Namun, Babak kemudian dikhianati, diserahkan kepada Abbasiyah, dan akhirnya mati disiksa.[19] Dengan berakhirnya ancaman dari Khurramiyah, Khalifah al-Mu'tashim mulai mengerahkan pasukannya untuk membalas tindakan Bizantium.[20] Pasukan Abbasiyah yang berjumlah besar berkumpul di Tarsus. Menurut catatan sejarah yang dapat diandalkan (ditulis oleh Mikael orang Siria), pasukan tersebut berjumlah sekitar 80.000 prajurit dengan 30.000 pelayan dan pengikut serta 70.000 hewan pengangkut. Penulis lain memberikan angka yang jauh lebih besar, dari 200.000 sampai 500.000 menurut al-Mas'udi.[a][21][3][22] Tak seperti kampanye-kampanye militer sebelumnya yang hanya menyasar benteng-benteng di wilayah perbatasan, ekspedisi ini dimaksudkan untuk memasuki wilayah pedalaman Asia Kecil sebagai pembalasan dendam. Kota besar Amorion adalah sasaran utamanya. Kronik-kronik Abbasiyah mencatat bahwa al-Mu'tashim meminta para penasihatnya untuk menyebutkan nama benteng Bizantium yang "paling sulit ditaklukan dan paling kuat pertahanannya". Para penasihat tersebut menyebut nama Amorion. Mereka juga berkata bahwa "Tidak ada seorang Muslim pun yang pernah memasukinya semenjak Islam ada. Kota tersebut adalah jantung Kristen dan lebih agung dari Konstantinopel."[23] Menurut sumber-sumber Bizantium, Khalifah al-Mu'tashim memerintahkan agar nama kota tersebut ditulis di perisai-perisai dan panji-panji para prajuritnya.[24][3][25] Sebagai ibu kota distrik Anatolikon, kota tersebut memiliki posisi strategis di ujung barat dataran tinggi Anatolia dan mengendalikan jalur selatan yang sering digunakan dalam serangan pasukan Muslim terhadap Bizantium. Pada masa itu, Amorion adalah salah satu kota terbesar di Kekaisaran Bizantium dan kota paling penting kedua setelah Konstantinopel. Kota tersebut juga merupakan tempat lahir ayah Teofilos, Mikael II orang Amorion (memerintah 820–829), dan mungkin Teofilos sendiri.[24][26][27] Akibat nilai strategisnya, kota tersebut menjadi sasaran serangan Muslim pada abad ke-7 dan ke-8. Pendahulu al-Mu'tashim, al-Ma'mun, dikatakan tengah berencana menyerang kota tersebut saat ia wafat pada 833.[28][29][30] Tahap-tahap awal kampanye: Anzen dan AnkiraKhalifah al-Mu'tashim membagi pasukannya menjadi dua. Kelompok yang lebih kecil terdiri dari 10.000 prajurit Turki di bawah kepemimpinan Afsyin dikirim ke timur laut untuk bergabung dengan pasukan amir Malatya Umar al-Aqta dan pasukan Armenia. Para penguasa Artsruni dari Vaspurakan dan Bagratuni dari Taron terlibat secara langsung dalam kampanye militer ini.[31] Bersama dengan mereka, kelompok tersebut akan menyerbu distrik Armeniakon dari jalur gunung Hadats. Sementara itu, kelompok utama di bawah kepemimpinan Khalifah al-Mu'tashim akan menyerang Kapadokia melalui jalur gunung Kilikia. Garda depan pasukan utama Abbasiyah dipimpin Asyinas, sementara Itakh menjadi panglima sayap kanan, Ja'far bin Dinar al-Khayyat di sayap kiri, dan 'Ujaif bin 'Anbasa di tengah. Kedua pasukan yang telah terbagi ini berrencana akan bergabung di Ankira dan kemudian bergerak bersama menuju Amorion.[32][33][34] Sementara itu, Teofilos langsung menyadari niatan sang khalifah. Ia bersama tentaranya bergerak dari Konstantinopel pada awal bulan Juni. Pasukannya meliputi para prajurit dari Anatolia dan mungkin juga dari distrik-distrik di Eropa, ditambah dengan tagmata (semacam batalion atau resimen) elit dan pasukan Khurramiyah. Pasukan Bizantium memperkirakan bahwa pasukan Abbasiyah akan bergerak ke arah utara ke Ankira setelah melewati jalur gunung Kilikia dan kemudian berputar ke selatan menuju Amorion. Tetapi mereka juga merasa bahwa terdapat kemungkinan pasukan Abbasiyah akan bergerak secara langsung melintasi dataran Kapadokia menuju Amorion. Dalam rangka mencegah pasukan Abbasiyah mencapai tujuan mereka dan juga pasukan Bizantium tidak terpecah, para panglima Bizantium sendiri telah memberikan nasihat agar Amorion dievakuasi. Namun, Teofilos malah memutuskan untuk memperkuat pertahanan kota tersebut, Aetios diangkat menjadi "strategos" (panglima) Anatolikon dan pasukan dari tagmata Excubitores dan Vigla dikerahkan.[35][1][36]. Teofilos kemudian bergerak dengan pasukannya yang lain menuju tempat yang berada di antara Ankira dan jalur gunung Kilikia. Kemudian, mereka berkemah di tepi utara Sungai Halys di dekat salah satu perlintasan sungai. Asyinas menyeberangi jalur gunung Kilikia pada 19 Juni. Sang khalifah dengan pasukan utama Abbasiyah juga melakukan hal yang sama dua hari kemudian. Pasukan Abbasiyah bergerak secara perlahan dan berhati-hati. Mereka berusaha menghindari penyergapan dan mencari tahu lokasi pasukan kaisar, alhasil al-Mu'tashim melarang Asyinas dan pasukannya merangsek terlalu dalam ke Kapadokia. Asyinas mengirim banyak detasemen pengintai untuk mencari tawanan. Dengan demikian, mereka dapat mengetahui keberadaan pasukan Teofilos di tepi sungai Halys, tempat ia menunggu kedatangan pasukan Abbasiyah untuk melancarkan serangan.[37][1][38] Pada saat yang sama, pada pertengahan bulan Juli, Teofilos mendengar kabar mengenai kedatangan pasukan Afsyin (yang terdiri dari sekitar 30.000 prajurit) di dataran Dazimon. Setelah meninggalkan sebagian pasukannya di bawah kepemimpinan seorang kerabat yang menjaga tempat penyeberangan di Sungai Halys, Teofilos langsung berangkat dengan sebagian besar pasukannya (sekitar 40.000 prajurit menurut Mikael orang Siria) untuk menghadapi pasukan Abbasiyah yang berjumlah lebih kecil. al-Mu'tashim mendapatkan informasi mengenai pergerakan Teofilos dari para tawanan Ia mencoba memperingatkan Afsyin, tetapi pergerakan pasukan sang kaisar lebih cepat dan mereka berhadapan dengan pasukan Afsyin dalam Pertempuran Anzen di dataran Dazimon pada 22 Juli. Walaupun awalnya cukup berhasil, serangan pasukan Bizantium dihalau oleh pasukan Afsyin, sementara Teofilos dengan gardanya dikepung dan mereka hampir gagal melarikan diri.[39][40][41][42] Teofilos dengan segera mengumpulkan kembali pasukannya dan mengutus panglima Teodoros Krateros ke Ankira. Krateros mendapati bahwa kota tersebut sudah ditinggalkan oleh semua penduduknya. ia lalu diperintahkan untuk memperkuat pertahanan di Amorion. Teofilos sendiri kemudian terpaksa kembali ke Konstantinopel, karena desas desus mengenai kematiannya di Anzen menimbulkan persekongkolan untuk mengangkat kaisar baru. Pada saat yang sama, pasukan Khurramiyah yang berkumpul di sekitaran Sinope memberontak dan menyatakan panglima mereka Teofobos sebagai kaisar (meskipun ia sebenarnya enggan). Walaupun begitu, Bizantium tertolong karena Teofobos mengambil sikap pasif dan tidak mencoba menghadapi pasukan Teofilos ataupun bersekutu dengan al-Mu'tashim.[43][44] Garda depan Abbasiyah di bawah kepemimpinan Asyinas mencapai Ankira pada 26 Juli. Para penduduknya, yang telah mengungsi ke beberapa tambang di wilayah sekitar, ditemukan dan lalu ditawan oleh sebuah detasemen Abbasiyah yang dipimpin oleh Malik bin Kaydar al-Safadi. Orang-orang Bizantium tersebut (beberapa dari antara mereka merupakan prajurit yang telah melarikan diri dari Anzen) memberitahukan kepada pasukan Abbasiyah soal kemenangan Afsyin. Sesudah itu, Malik membebaskan mereka semua. Pasukan Abbasiyah lainnya datang ke Ankira dalam selang waktu beberapa hari. Setelah menjarah kota yang telah ditinggalkan tersebut, pasukan Abbasiyah yang telah berkumpul menjadi satu bergerak ke arah selatan menuju Amorion.[45][46][47] Pengepungan dan kejatuhan AmorionSaat melakukan pergerakan menuju Amorion, pasukan Abbasiyah terbagi menjadi tiga, dengan Asyinas yang memimpin pasukan depan, khalifah di tengah, dan Afsyin di belakang. Mereka menjarah daerah pedesaan selama perjalanan mereka dan akhirnya mencapai kota Amorion tujuh hari setelah mereka berangkat dari Ankira, Mereka pun mulai mengepung kota tersebut pada tanggal 1 Agustus (atau 6 Ramadan dalam kalender Hijriyah).[48][49][50] Teofilos ingin sekali mencegah kejatuhan kota Amorion, sehingga ia meninggalkan Konstantinopel dan bertolak ke Dorilaion. Dari situ ia mengirim utusan-utusan ke al-Mu'tashim. Para utusannya, yang tiba tak lama sebelum atau pada hari-hari pertama pengepungan, memberikan jaminan bahwa tindakan kejahatan di Zibathra bertentangan dengan perintah kaisar. Mereka juga menawarkan bantuan untuk membangun ulang kota tersebut, ditambah dengan tawaran untuk memulangkan semua tahanan Muslim dan membayar upeti. Namun, Khalifah al-Mu'tashim tak hanya menolak permintaan para utusan tersebut, tetapi juga menahan mereka di perkemahannya agar mereka dapat menyaksikan langsung peristiwa pengepungan ini.[51][52][53] Pertahanan Amorion terbilang kuat. Kota tersebut dikelilingi oleh parit yang lebar dan tembok yang tebal yang juga dilengkapi dengan 44 menara (menurut ahli geografi pada masa itu, Ibnu Khurdadzbih). Khalifah al-Mu'tashim menugaskan setiap panglimanya di salah satu sisi tembok. Baik para pengepung maupun pihak yang terkepung memiliki banyak mesin kepung. Selama tiga hari, kedua belah pihak berbalas tembakan, sementara para penggali terowongan Abbasiyah mencoba merobohkan tembok tersebut dari bawah. Menurut catatan sejarah Abbasiyah, seorang tahanan Arab yang pernah masuk Kristen membelot dan berbalik kepada khalifah. Ia memberitahukan pihak Abbasiyah mengenai tempat di tembok kota Amorion yang telah mengalami kerusakan berat akibat hujan yang deras. Bagian tersebut tidak diperbaiki dengan baik akibat kecerobohan panglima kota Amorion. Oleh sebab itu, pasukan Abbasiyah memusatkan serangan mereka ke bagian tersebut. Pasukan Bizantium mencoba melindungi tembok kota dengan menggantung balok-balok kayu untuk meredam guncangan dari mesin-mesin pengepungan, tetapi balok-balok tersebut patah. Setelah dua hari, tembok kota pun berhasil dijebol.[48][46][54] Aetios langsung sadar bahwa pertahanannya sudah bobol. Ia memutuskan untuk mencoba melewati para pengepung pada malam hari dan berkumpul dengan pasukan Teofilos. Ia mengirim dua utusan untuk menghadap kaisar, tetapi keduanya ditangkap oleh pasukan Abbasiyah dan dibawa ke hadapan khalifah. Keduanya bersedia untuk masuk Islam. Setelah al-Mu'tashim memberikan hadiah yang berlimpah kepada mereka, ia mengarak-arak kedua orang tersebut di sekitar tembok kota sembari dilihat oleh Aetios dan pasukannya. Untuk menghindari segala upaya untuk melarikan diri, pasukan Abbasiyah memperkuat penjagaan dan melakukan patroli pasukan berkuda secara terus menerus bahkan pada malam hari.[55][46][56] Pasukan Abbasiyah lalu melancarkan serangan berulang ke sisi tembok yang telah dijebol, tetapi pasukan Bizantium masih mampu bertahan. Menurut ath-Thabari, alat-alat pelontar yang masing-masing diawaki oleh empat orang ditempatkan di atas landasan beroda. Menara-menara yang dapat digerakkan dan masing-masing diawaki oleh sepuluh orang dibangun dan dikerahkan ke tepi parit. Paritnya sendiri juga mulai diisi dengan kulit-kulit domba (dari hewan-hewan yang mereka bawa untuk dijadikan makanan) yang berisi tanah. Namun, pengerjaan tersebut tidak dilakukan dengan merata karena para prajurit takut terkena lemparan alat-alat pelontar Bizantium. al-Mu'tashim harus memerintahkan agar tanah dilemparkan ke atas kulit-kulit tersebut untuk menutupi permukaan. Sebuah menara didorong melewati parit yang telah terisi, tetapi kemudian menyangkut di tengah-tengah, sehingga menara tersebut dan mesin-mesin kepung lainnya terpaksa ditinggalkan dan dibakar.[55][57] Serangan lain yang dilancarkan pada hari berikutnya, yang dipimpin oleh Asyinas, gagal akibat sempitnya sisi tembok yang telah jebol. al-Mu'tashim kemudian memerintahkan pengerahan lebih banyak alat-alat pelontar. Pada keesokan harinya, Afsyin dengan pasukannya menyerang daerah tembok yang jebol. Itakh juga melakukan hal yang sama pada hari sesudahnya.[58] Pasukan Bizantium secara perlahan semakin menipis akibat serangan-serangan yang terus menerus dilancarkan. Pengepungan terjadi selama sekitar dua minggu. Para penulis modern memperkirakan tanggalnya adalah 12, 13, atau 15 Agustus.[59] Aetios mengirim utusan yang dipimpin oleh uskup kota yang menawarkan penyerahan kota Amorion. Sebagai gantinya, mereka meminta agar para penduduk dan garnisun kota diizinkan pergi, tetapi al-Mu'tashim menolak. Walaupun begitu, panglima Bizantium Boiditzes, yang bertugas di bagian tembok yang telah dijebol, memutuskan untuk mengadakan perundingan langsung dengan khalifah atas kehendaknya sendiri, kemungkinan dengan maksud membelot. Ia datang ke perkemahan Abbasiyah dan memberikan perintah kepada pasukannya di daerah tembok yang telah dijebol untuk berhenti bertarung sampai ia kembali. Saat Boiditzes sedang berbicara dengan sang khalifah, pasukan Abbasiyah semakin mendekati daerah tembok yang telah dijebol dan akhirnya berhasil memasuki kota Amorion.[60][61][62] Pasukan Bizantium terkejut dan mereka lalu mengobarkan perlawanan secara terpisah. Beberapa pasukan berusaha bertahan di sebuah biara dan akhirnya terbakar sampai mati. Sementara itu, Aetios dengan para perwiranya mengungsi ke sebuah menara sebelum akhirnya dipaksa untuk menyerah.[63][5][64] Kota tersebut dijarah dan dirampok habis-habisan. Menurut catatan sejarah Abbasiyah, penjualan hasil rampasan berlangsung selama lima hari. Penulis kronik Bizantium Teofanes Kontinuatus menyatakan bahwa terdapat 70.000 orang yang tewas, sementara penulis Arab al-Mas'udi menyebutkan 30.000 korban jiwa. Para penduduk yang selamat dijadikan budak yang dibagi-bagi oleh para pemimpin pasukan, kecuali untuk para pemimpin kota. Sementara itu, militer akan ditentukan nasibnya oleh sang khalifah sendiri. Setelah mengizinkan para utusan Teofilos untuk pulang dengan membawa kabar kejatuhan Amorion, al-Mu'tashim membakar kota tersebut sampai rata dengan tanah, dan yang masih tersisa hanyalah tembok kotanya.[5][52][65][66] Salah satu jarahan yang dirampas adalah pintu-pintu besi raksasa dari kota tersebut, yang mulanya dibawa oleh al-Mu'tashim ke Samarra dan dipasang di pintu masuk istananya. Dari situ pintu-pintu ini diambil (kemungkinan menjelang akhir abad) dan dipasang di Raqqa. Pintu-pintu tersebut masih ada di kota tersebut sampai tahun 964. Penguasa Hamdaniyah Sayf al-Dawla kemudian menyingkirkannya dan memadukannya dengan gerbang Bab al-Qinnasrin di ibu kotanya di Aleppo.[67] Dampak langsungTidak lama setelah Amorion dihancurkan, Khalifah al-Mu'tashim mendengar kabar burung bahwa pasukan Teofilos akan menyerangnya. al-Mu'tashim berangkat dengan pasukannya dan bergerak seharian melintasi jalanan yang mengarah ke Dorilaion, tetapi mereka tidak melihat tanda-tanda serangan Bizantium. Menurut ath-Thabari, al-Mu'tashim kemudian mulai mempertimbangkan serangan ke Konstantinopel, tetapi kemudian ia mendengar kabar mengenai persekongkolan yang dipimpin oleh keponakannya, al-Abbas bin al-Ma'mun. al-Mu'tashim terpaksa menghentikan kampanye militernya dan langsung kembali bersama pasukannya ke kerajaannya. Ia membiarkan benteng-benteng di sekitaran Amorion dalam keadaan utuh serta meninggalkan Teofilos dan pasukannya di Dorilaion. Ia mengikuti jalur langsung dari Amorion ke jalur gunung Kilikia. Selama perjalanan tersebut, pasukan kekhalifahan dan tawanannya dibuat menderita oleh kondisi di wilayah pedesaan Anatolia tengah yang kering. Beberapa tawanan begitu letih sampai-sampai mereka tidak dapat bergerak dan akhirnya dihabisi nyawanya, sementara yang lainnya berhasil melarikan diri. Sebagai balasannya, al-Mu'tashim memisahkan orang-orang yang paling penting di antara para tawanan tersebut dan kemudian menghukum mati sisanya, yang berjumlah sekitar 6.000 orang.[68][5][69][70] Teofilos lalu kembali mengirim utusan-utusan yang dikepalai oleh tourmarches (pasukan kuda) Charsianon, Basil. Mereka membawa hadiah dan surat permintaan maaf. Mereka menawarkan uang tebusan untuk para tahanan berpangkat tinggi senilai 20.000 litra Bizantium (sekitar 6.500 kg) emas dan pembebasan semua orang Abbasiyah yang ditangkap oleh Bizantium. al-Mu'tashim menolak tebusan tersebut. Ia menyatakan bahwa perang yang ia kobarkan menghabiskan biaya yang melebihi 100.000 litra. Ia menuntut penyerahan Teofobos dan juga domestikos ton scholōn (sebuah jabatan militer senior) Manuel orang Armenia yang pernah membelot dari pihak Abbasiyah. Utusan Bizantium menolak mengabulkan tuntutan tersebut. Mereka tak dapat melakukannya karena Teofobos sedang memberontak dan Manuel sudah mangkat akibat luka-luka yang diderita di Anzen (menurut beberapa sumber). Sebagai gantinya, Basil menyerahkan surat kedua dari Teofilos dengan nada yang lebih mengancam. al-Mu'tashim dibuat murka oleh surat tersebut dan lalu mengembalikan semua hadiah dari kaisar.[71][72][73] Setelah kejatuhan kota Amorion, Teofilos meminta bantuan dari negara-negara lain dalam menghadapi ancaman Abbasiyah: utusan-utusan dikirim ke istana Ludwig yang Saleh di barat (berkuasa 813–840) dan istana Abdurrahman II (berkuasa 822–852), Amir Kórdoba. Para utusan Bizantium disambut dengan hormat, tetapi tidak ada bantuan yang diberikan.[74][75] Di sisi lain, Abbasiyah tak mencoba memanfaatkan keberhasilan mereka. Perang Bizantium-Abbasiyah masih terus berlanjut selama beberapa tahun, tetapi setelah Bizantium sempat unggul, gencatan senjata disepakati oleh kedua negara ini (dan mungkin juga pertukaran tawanan yang tidak termasuk tawanan berpangkat tinggi) pada tahun 841. Sebelum menjemput ajalnya pada tahun 842, al-Mu'tashim tengah mempersiapkan serangan besar yang lain, tetapi armada yang ia siapkan untuk menyerang Konstantinopel hilang akibat badai di perairan lepas pantai di Tanjung Kelidonia beberapa bulan kemudian. Setelah wafatnya Khalifah al-Mu'tashim, Abbasiyah mengalami gangguan. Pada 844, Pertempuran Mauropotamos menjadi pertempuran besar terakhir yang berlangsung di antara kedua negara tersebut hingga dasawarsa 850-an.[76][77] Salah satu tokoh Bizantium yang ditangkap di Amorion, strategos Aetios, dihukum mati tak lama setelah ia ditawan Menurut sejarawan Warren Treadgold, tindakan tersebut mungkin diambil sebagai balasan terhadap surat kedua yang dikirim oleh Teofilos kepada khalifah.[78] Setelah ditawan selama bertahun-tahun, tawanan yang tersisa didesak untuk masuk Islam. Setelah mereka menolak, mereka dihukum mati di Samarra pada 6 Maret 845, Mereka dikenang oleh Gereja Ortodoks Timur sebagai 42 Martir Amorion.[79][80] Beberapa kisah juga bermunculan soal Boiditzes dan pengkhianatannya. Menurut legenda 42 Martir, ia menjadi mualaf, tetapi tetap dihukum mati oleh khalifah bersama dengan tawanan-tawanan yang lain. Namun, tidak seperti jenazah tawanan-tawanan lain yang mengapung "secara ajaib" di Sungai Tigris, jenazah Boiditzes tenggelam ke dasar sungai.[81] Tinggalan sejarah
Kutipan dari baris 12−14 Syair Pujian tentang Penaklukan Amuriyyah.[13] Penjarahan Amorion adalah salah satu peristiwa yang paling menghancurkan bagi Bizantium dalam sejarah panjang serangan-serangan Muslim ke Anatolia. Teofilos dikabarkan jatuh sakit tak lama setelah kejatuhan kota tersebut. Meskipun ia berhasil pulih, kesehatannya masih dalam keadaan buruk hingga kematiannya tiga tahun kemudian. Para sejarawan Bizantium pada masa berikutnya mengaitkan kematiannya pada usia yang belum mencapai 30 tahun dengan pilu yang begitu mendalam akibat kejatuhan kota tersebut, meskipun hal ini kemungkinan besar adalah sebuah legenda.[82][83] Kejatuhan Amorion mengilhami beberapa legenda dan kisah di Kekaisaran Bizantium. kisah-kisah tersebut dapat ditemukan dalam karya-karya sastra yang masih ada seperti Lagu Armouris atau kidung Kastro tis Orias ("Puri Gadis Cantik").[84] Di sisi lain, pihak Abbasiyah mengelu-elukan perebutan Amorion (disebut Ammuriyah dalam teks Arab), yang kemudian menjadi subjek dari karya terkenal Abu Tammam, Syair Pujian tentang Penaklukan Amuriyyah (bahasa Arab: بمناسبة معركة عمورية).[85][86] Serangan tersebut dianggap sebagai pembalasan terhadap serangan Bizantium ke kota Zibathra (Sozopetra).[87] Selain itu, al-Mu'tashim memanfaatkan peristiwa ini untuk melegitimasi kekuasaannya dan membenarkan tindakan yang ia ambil sesudahnya untuk mencabut nyawa keponakannya sekaligus pewaris sah al-Ma'mun, al-Abbas.[88] Kenyataannya, kampanye militer tersebut tidak terlalu berdampak terhadap Bizantium secara militer: walaupun banyak pasukan dan warga Amorion yang berguguran, tidak banyak korban yang berjatuhan di antara prajurit angkatan darat Bizantium di Anzen. Pemberontakan Khurramiyah dapat dipadamkan tanpa pertumpahan darah pada tahun berikutnya dan pasukan-pasukannya kembali disatukan dengan pasukan Bizantium. Ankira dengan cepat dibangun ulang dan kembali diisi oleh penduduk, dan begitu pula kota Amorion. Namun, kota Amorion tidak dapat lagi bangkit seperti sebelumnya dan ibu kota distrik Anatolikon sempat dipindah ke Polibotus.[82][89][90][27] Setelah dibangun kembali, Amorion kembali dihancurkan pada 931 oleh serangan dari Tsamal ad-Dulafi, wali negeri Tarsus. Setelah itu, Amorium tidak lagi memiliki peran sejarah yang besar, walaupun secara geografi masih dianggap penting menurut karya-karya geografi hingga abad ke-14.[85] Berdasarkan hasil tinjauan Warren Treadgold, salah satu faktor utama penyebab kekalahan pasukan Bizantium di Anzen dan Amorion adalah keadaan yang tidak menguntungkan mereka dan bukannya ketidakmampuan atau ketidakcakapan. Selain itu, sikap Teofilos yang terlalu percaya diri juga merugikan pasukannya sendiri, baik itu kemauannya untuk membagi pasukannya dalam menghadapi pasukan Abbasiyah yang jumlahnya lebih besar, maupun ketergantungannya yang terlalu besar terhadap pasukan Khurramiyah.[91] Namun demikian, kekalahan yang dialami Teofilos membuatnya melancarkan perombakan besar-besaran terhadap pasukannya, yang meliputi pendirian komando-komando perbatasan yang baru dan pemencaran pasukan Khurramiyah yang lalu disatukan dengan pasukan-pasukan dari distrik-distrik Bizantium.[92] Dampak jangka panjang dari kejatuhan Amorion terlihat jelas dari segi keagamaan dan bukannya dari segi militer. Para penganut ikonoklasme percaya bahwa tindakan mereka seharusnya diberkahi oleh Allah dan akan menjamin kemenangan yang gemilang. Namun, mereka tetap saja mengalami "bencana memalukan yang menyaingi kekalahan-kekalahan terburuk kaisar ikonofil manapun".[27] Dalam catatan sejarah pada masa itu, peristiwa tersebut disandingkan dengan kekalahan besar yang dialami oleh Nikeforos I (memerintah 802–811) di Pliska. Menurut Warren Treadgold, "hasilnya tidak membuktikan bahwa ikonoklasme itu salah ... Tetapi memang menyingkirkan argumen paling meyakinkan dari kalangan ikonoklas kepada mereka yang pandangannya masih mengambang, yaitu [argumen bahwa] ikonoklasme membawa kemenangan dalam pertempuran". Beberapa tahun setelah Teofilos menjemput ajalnya, pada 11 Maret 843, diadakan sebuah sinode yang memulihkan praktik pemuliaan ikon, dan ikonoklasme sendiri dinyatakan sesat.[93][94] Catatan penjelas^ a: Laporan jumlah pasukan Teofilos selama ekspedisi tahun 837 dan kampanye militer balasan al-Mu'tashim terbilang tak lazim. Beberapa ahli, seperti Bury dan Treadgold, menganggap angka yang diberikan oleh at-Thabari dan Mikael orang Siria sebagai jumlah yang kurang lebih akurat,[21][95] tetapi para peneliti modern lainnya meragukan jumlah sebesar itu, karena pasukan pada Abad Pertengahan jarang ada yang lebih dari 10.000 prajurit, dan risalah dan catatan militer Abbasiyah dan Bizantium menyatakan bahwa pasukan mereka biasanya berjumlah sekitar 4.000–5.000. Bahkan pada masa pembesaran militer Bizantium secara berkelanjutan pada akhir abad ke-10, panduan militer Bizantium menyebut angka 25.000 sebagai jumlah yang sangat besar dan layak untuk dipimpin oleh kaisar secara langsung. Sebagai perbandingan, jumlah pasukan militer biasa yang tersedia untuk Bizantium pada abad ke-9 diperkirakan berjumlah sekitar 100.000–120.000. Jika ingin membaca hasil peninjauan yang lebih rinci, lihat Whittow 1996, hlm. 181–193 dan Haldon 1999, hlm. 101–103. Rujukan
Daftar pustaka
Pranala luar
39°01′14″N 31°17′21″E / 39.020439°N 31.289145°E Wikimedia Commons memiliki media mengenai Sack of Amorium. |