Penindasan Serikat YesusPenindasan kaum Yesuit di dalam Kerajaan Portugis (1759), Prancis (1764), Dua Sisilia, Malta, Parma, Kerajaan Spanyol (1767) serta Austria dan Hungaria (1782) adalah topik yang kompleks. Analisis alasannya diperumit oleh manuver politik di masing-masing negara yang tidak dilakukan secara terbuka, tetapi telah meninggalkan beberapa jejak bukti. Kepausan enggan menuruti tuntutan dari berbagai kerajaan Katolik yang terlibat, dan tidak mengajukan alasan teologis mengenai penindasan. Kekuasaan dan kekayaan Serikat Yesus dengan sistem pendidikan yang berpengaruh dihadapkan pada perlawanan pada saat terjadi perubahan budaya di Eropa, yang menuntun kepada revolusi yang mengikutinya.[1][2] Monarki mencoba untuk memusatkan dan membangun sekularisasi kekuasaan politik dilihat oleh kaum Yesuit sebagai terlalu internasional, terlalu terkait dengan kepausan, dan terlalu otonom bagi raja-raja di wilayah yang mereka operasikan.[3] Dengan surat singkat Dominus ac Redemptor (21 Juli 1773) Paus Clement XIV menindas Serikat Yesus, sebagai fait accompli dan tanpa memberikan alasan. Rusia, Prusia, dan Amerika Serikat mengizinkan kaum Yesuit untuk melanjutkan pekerjaan mereka, dan Catherine the Great memperbolehkan pendirian novisiat baru di Rusia.[4] Segera setelah restorasi mereka oleh Paus Pius VII pada tahun 1814 Serikat Yesus mulai kembali ke sebagian besar tempat-tempat dari mana mereka telah diusir.[5] Pandangan modern melihat penindasan ini sebagai hasil serangkaian konflik politik ekonomi bukannya kontroversi teologis, dan sebagai pernyataan kemerdekaan negara-negara melawan Gereja Katolik. Pengusiran Serikat Yesus dari negara-negara Katolik Roma di Eropa dan kerajaan kolonial mereka juga dipandang sebagai salah satu manifestasi awal dari zeitgeist sekuler baru dari Pencerahan.[6] Hal ini memuncak dengan anti-clericalism pada Revolusi Prancis. Penindasan itu juga dilihat sebagai upaya oleh para raja untuk mendapatkan kendali pendapatan dan perdagangan yang sebelumnya didominasi oleh Serikat Yesus. Para sejarawan Katolik sering menunjuk kepada konflik pribadi antara Paus Clement XIII (1758-1769) dan para pendukungnya di dalam gereja dengan para kardinal mahkota yang didukung oleh Prancis. Referensi
Pranala luar
|