Pengaruh Agustinus terhadap Yohanes Calvin

Soteriologi Agustinian, dipengaruhi oleh interaksi awal Agustinus dari Hippo dengan Stoikisme, Neoplatonisme, dan Manikheisme, memainkan peran penting dalam membentuk teologi Kristen. Awalnya menentang pandangan-pandangan deterministik, Agustinus kemudian mengintegrasikan aspek-aspek dari filsafat ini, khususnya dalam perdebatannya dengan kaum Pelagian. Doktrin-doktrinnya, seperti predestinasi melalui predeterminisme, meletakkan dasar bagi perkembangan teologis di kemudian hari. Pengaruh Agustinus terhadap Yohanes Calvin sangat signifikan dalam membentuk soteriologi dan pemahaman Calvinis tentang providensi ilahi.

Perkembangan soteriologi Agustinus

Pengaruh teologis dalam gereja mula-mula

Manikheisme merupakan sebuah sekte Gnostik yang didirikan pada abad ke-3.[1] Sekte ini secara signifikan mempengaruhi gereja Kristen mula-mula, memperkenalkan praktik-praktik spiritual seperti asketisisme dan sakerdotalisme.[2] Manikheisme mengadopsi wawasan dunia yang dualistik, mengkontraskan alam spiritual yang baik dengan alam material yang jahat, menantikan adanya pemulihan cahaya secara bertahap dari alam material ke alam spiritual.[1] Dalam hal soteriologi, Manikheisme menyatakan bahwa Allah secara sepihak memilih kaum pilihan untuk keselamatan dan kaum bukan pilihan untuk penghukuman sesuai dengan kehendak-Nya.[3] Contohnya, pada tahun 392, seorang penatua Manikhean mengatakan bahwa "Allah [...] telah memilih jiwa-jiwa yang layak bagi-Nya menurut kehendak kudus-Nya sendiri. [...] bahwa di bawah kepemimpinan-Nya jiwa-jiwa tersebut akan kembali lagi ke dalam kerajaan Allah menurut janji kudus dari Dia yang mengatakan: "Akulah jalan, kebenaran, dan pintu"; dan "Tidak ada seorangpun yang datang kepada Bapa, kalau tidak melalui Aku."[4]

Bapa-bapa gereja mula-mula sebelum Agustinus dari Hippo (354–430) membantah predeterminisme tanpa pilihan sebagai paganisme.[5][6][7] Dari lima puluh penulis Kristen mula-mula yang menulis mengenai perdebatan antara kehendak bebas dan determinisme, kelima puluh penulis semuanya mendukung kehendak bebas Kristen terhadap determinisme Stoik, Gnostik, dan Manikhean.[8][9]

Pengaruh teologis terhadap Agustinus

Anonim (1480) Agustinus mempersembahkan korban kepada sebuah berhala kaum Manikhean.

Sebelum pertobatannya menjadi Kristen pada tahun 387, Agustinus menganut tiga filsafat yang deterministik: Stoikisme, Neoplatonisme dan Manikheisme. Ia sangat dipengaruhi oleh mereka, khususnya dalam hubungannya selama satu dekade dengan kaum Manikhean.[10][11][12][13][14][15][16] Ia tampaknya mengadopsi perspektif Manikhean dalam berbagai aspek teologis, terutama tentang natur kebaikan dan kejahatan, pemisahan kelompok-kelompok menjadi kaum pilihan, pendengar, dan pendosa, dan sikap keras terhadap daging dan aktivitas seksual, dan teologinya yang dualistik.[17][11]

Setelah pertobatannya, ia mengajarkan teologi Kristen tradisional melawan bentuk-bentuk determinisme teologis hingga 412.[9][12][14] Namun, selama konfliknya dengan kaum Pelagian, ia tampaknya memperkenalkan kembali prinsip-prinsip Manichean tertentu ke dalam pemikirannya,[18][19][20][21] dan dituduh melakukan hal tersebut oleh para lawannya.[22][23][24] Selama sisa hidupnya, ia mengajarkan sebuah soteriologi di mana predestinasi didasarkan pada predeterminisme.[8] Soteriologi ini dapat dapat dijelaskan secara serupa dengan lima pokok Calvinisme.[25]

Kerusakan total dan pemilihan tanpa syarat dalam baptisan bayi

Kontroversi mengenai baptisan bayi dengan kaum Pelagian berkontribusi terhadap perubahan dalam pemikiran Agustinus.[26] Tertulianus (c. 155 – c. 220) adalah penulis Kristen pertama yang menyebutkan baptisan bayi. Ia menentangnya dengan mengatakan bahwa anak-anak tidak seharusnya dibaptiskan hingga mereka dapat percaya secara pribadi kepada Kristus.[27] Bahkan hingga 400, tidak ada konsensus mengenai mengapa bayi harus dibaptiskan.[28] Kaum Pelagian mengajarkan bahwa baptisan bayi hanya memperbolehkan anak-anak untuk masuk ke dalam kerajaan Allah (dipandang sebagai hal yang berbeda dari surga), sehingga bayi-bayi yang belum dibaptiskan tetap bisa berada di surga.[29] Sebagai tanggapan, Agustinus menciptakan konsep bahwa bayi-bayi dibaptiskan untuk menghilangkan kebersalahan asal Adam (kebersalahan yang mengakibatkan penghukuman kekal).[30] Dosa asal yang diwariskan sebelumnya terbatas pada kematian jasmani, kelemahan moral, dan kecenderungan terhadap dosa.[31]

Unsur yang utama lainnya dalam baptisan bayi adalah pendidikan awal Agustinus dalam Stoikisme, sebuah filsafat kuno di mana sebuah ilah yang teliti mempredeterminasi segala peristiwa secara mendetail di dalam alam semesta.[32] Hal ini termasuk jatuhnya sebuah daun dari sebuah pohon ke titik yang tepat di tanah dan pergerakan halus otot-otot di leher ayam jantan saat mereka bertarung, yang ia jelaskan dalam karya pertamanya, De providentia (Tentang Providensia).[33] Agustinus mengajarkan bahwa Allah menetapkan terlebih dahulu (atau mempredestinasikan) bayi-bayi yang baru dilahirkan yang dibaptiskan dengan secara aktif menolong atau menyebabkan para orang tua untuk menjangkau uskup untuk baptisan ketika bayi tersebut masih hidup. Agustinus berargumen lebih lanjut bahwa Allah secara aktif menghalangi orang tua dari bayi-bayi lainnya dari menjangkau air baptisan sebelum bayi mereka meninggal. Bayi-bayi ini dibinasakan ke neraka karena merereka tidak dibaptiskan (menurut Agustinus).[34][35][36][37] Pandangannay tetap kontroversial, bahkan beberapa sarjana Agustinian Katolik Roma membantah gagasan ini,[38] dan para sarjana merujuk asal-usul pandangan tersebut sebagai berasal dari Platonisme, Stoikisme, dan Manikheisme.[39][7][40]

Agustinus kemudian memperluas konsep ini dari bayi kepada orang dewasa. Karena bayi tidak memiliki "kehendak" untuk menginginkan baptisan mereka, Agustinus mengembangkan implikasinya kepada seluruh umat manusia.[41][42] Ia menyimpulkan bahwa Allah pasti mempredestinasikan melalui predeterminasi semua manusia sebelum mereka membuat pilihan apa pun. Meskipun orang-orang Kristen sebelumnya mengajarkan dosa asal, konsep kerusakan total (ketidakmampuan total untuk percaya kepada Kristus) dipinjam dari Manikheisme Gnostik. Manikheisme mengajarkan bahwa bayi-bayi yang belum dilahirkan dan belum dibaptiskan dibinasakan ke neraka karena tubuh jasmani. Seperti para Gnostik, ilah Manikhean harus membangkitkan kehendak yang mati dengan menginfuskan iman dan anugerah. Agustinus mengubah penyebab kerusakan total menjadi kebersalahan Adam, tetapi mempertahankan konsep Stoik, Manikhean, dan Neoplatonik tentang kehendak manusia yang mati membutuhkan anugerah dan iman yang diinfuskan ilah untuk dapat berespons.[43]

Penebusan terbatas

Vittore Carpaccio (1502) Santo Agustinus dalam Ruang Bacanya (detail)

Agustinus mencoba berbagai penjelasan tentang 1 Timotius 2:4.[44] Kaum Pelagian mengasumsikan bahwa 1 Tim. 2:4 mengajarkan bahwa Allah memberikan karunia iman kepada semua orang, yang Agustinus dengan mudah sanggah dengan mengubah "menghendaki" menjadi "menyediakan kesempatan".[45] Pada tahun 414, teologi baru Agustinus menggunakan "semua jenis/kelas" untuk secara definitif menggantikan "semua" sebagai absolut (ep. 149) dan pada tahun 417, Khotbah 304.2 mengulangi perubahan dari "semua" menjadi "semua jenis". Namun, hanya pada tahun 421[46] Agustinus mengubah teks menjadi "semua yang diselamatkan", artinya mereka yang diselamatkan hanyalah diselamatkan oleh kehendak Allah, yang ia ulangi tahun berikutnya.[47] Orang gagal untuk diselamatkan, "bukan karena mereka tidak menghendakinya, tetapi karena Allah tidak".[48] Meskipun mereka pasti akan dibinasakan, Allah membuat orang-orang Kristen lainnya menghendaki keselamatan yang mustahil bagi mereka.[49] John Rist mengidentifikasi sebagai "bagian yang paling menyedihkan."[50] Pada tahun 429, Agustinus mengutip 1 Korintus 1:18 menambahkan "semacam itu" kepada 1 Tim. 2:4, mendefinisikan ulang semua untuk berarti "semua yang diselamatkan," dan mengimplikasikan sebuah panggilan yang tidak dapat ditolak. Hwang mencatat,

Kemudian pergeseran yang radikal terjadi, yang disebabkan oleh konflik terbuka dan memanas dengan kaum Pelagian. 'Kehendak' mengambil kualitas yang absolut dan efektif, dan arti dari 'semua' direduksi menjadi mereka yang dipredestinasikan. 1 Tim. 2:4 harus dimengerti, maka, sebagai berarti bahwa Allah menyelamatkan hanya mereka yang dipredestinasikan. Semua lainnya, rupanya, bahkan tidak memiliki doa.[44]

Agustinus mencoba setidaknya lima jawaban selama waktu satu dekade berusaha menjelaskan 1 Tim. 2:4 mengenai jangkauan dari pengorbanan Kristus yang memberikan penebusan.[44] Dasar pemikiran utamanya adalah gagasan pagan bahwa Allah menerima segala sesuatu yang diinginkannya. Kemahakuasaan (Stoik dan Neoplatonik) adalah melakukan apa pun yang Sang Satu kehendaki, menjamin segala sesuatu yang terjadi dalam alam semesta adalah persis seperti kehendak Yang Mahakuasa dan oleh karena itu harus terjadi (Khotbah 214.4).[51] Ia menyimpulkan bahwa karena Allah mendapatkan segala sesuatu yang Ia inginkan, Allah tidak menghendaki semua orang untuk diselamatkan, karena jika tidak demikian semua orang akan diselamatkan. Chadwick menyimpulkan bahwa karena Allah Agustinus tidak menghendaki dan oleh sebab itu menolak untuk menyelamatkan semua orang, Agustinus mengangkat kedaulatan Allah sebagai absolut dan keadilan Allah diinjak-injak.[7] Hal ini juga secara logis menuntut bahwa Kristus tidak mungkin mati bagi mereka yang tidak akan diselamatkan. Oleh karena itu, Kristus hanya mati bagi kaum pilihan karena Allah tidak menyia-nyiakan sebab-akibat atau energi.[52]

Anugerah yang tidak dapat ditolak

Agustinus mengembangkan konsep "anugerah yang mendahului",[53] "anugerah yang operatif" dan "anugerah yang kooperatif".[54] Dalam menanggapi Pelagianisme, Agustinus berargumen bahwa anugerah yang mendahului merupakan keharusan untuk mempersiapkan kehendak manusia kepada pertobatan.[54] Pelagius telah merujuk pada Santo Ambrosius (c. 339 – c. 397), yang kepadanya Agustinus tanggapi dengan serangkaian kutipan dari Ambrosius yang menunjukkan perlunya anugerah yang mendahului.[55] Agustinus menggambarkan kehendak bebas tanpa pertolongan spiritual dari anugerah sebagai "kehendak bebas yang tertawan" (bahasa Latin: liberum arbitrium captivatum).[56] Melalui tindakan anugerah, kehendak ini menjadi "kehendak yang dibebaskan" atau secara literal sebuah "kehendak bebas yang dibebaskan" (bahasa Latin: liberum arbitrium liberatum).[57] Anugerah yang mendahului menyediakan pencerahan spiritual yang harus ada ini. "Anugerah operatif" yang selanjutnya memberikan kaum pilihan hanya kuasa untuk percaya dan menyalakan iman yang membenarkan.[58] Agustinus menilai anugerah yang operatif sebagai anugerah yang membenarkan yang tidak dapat gagal bagi kaum pilihan.[59][60] Namun, ia tidak menggunakan istilah "anugerah yang tidak dapat ditolak" untuk menjelaskannya.[61]

Ketekunan orang-orang kudus

Karena Agustinus percaya bahwa Roh Kudus diterima saat baptisan air, menghasilkan kelahiran baru, ia harus menjelaskan mengapa beberapa orang yang sudah dibaptis tetap berada dalam iman sedangkan yang lainnya murtad dan hidup imoral. Agustinus mengajarkan bahwa di antara mereka yang dilahirbarukan melalui baptisan, beberapa diberikan karunia ketekunan ("donum perseverantiae") tambahan yang memampukan mereka untuk mempertahankan iman mereka dan mencegah mereka dari murtad.[62][63][64] Tanpa karunia kedua ini, seorang Kristen yang dibaptis dengan Roh Kudus tidak akan bertekun dan pada akhirnya tidak akan diselamatkan.[65] Agustinus mengembangkan doktrin ketekunan ini dalam De correptione et gratia (ca 426–427).[66] Meskipun doktrin ini secara teori memberikan keamanan bagi kaum pilihan yang menerima karunia ketekunan, setiap orang tidak dapat memastikan apakah mereka telah menerimanya.[67][68][13]

Predestinasi ganda

Predestinasi ganda, atau ketetapan ganda, adalah doktrin bahwa Allah secara aktif mereprobasi, atau menetapkan kebinasaan beberapa orang, sebagaimana juga keselamatan bagi mereka yang Ia telah pilih. Setelah tahun 411, Agustinus membuat pernyataan-pernyataan yang mengajarkan doktrin ini (contohnya, Enchir. 100, De nat. orig. 1.14, 4.16, Khotbah 229S, Khotbah 260D.1, De civ. dei 14.26, 15.1, ep.204.2), tetapi orang-orang yang mengandalkan tulisan-tulisan Agustinus sebelum tahun 412 tidak jelas apakah ia berpegang pada predestinasi ganda.[69] Dalam ep.225 (dari Prosper) dan ep.226 (dari Hilarius dari Galia), kedua orang mengeluh bahwa sesama orang Kristen tidak mau pandangan baru Agustinus yang berbahaya tentang predestinasi dan ketekunan dikhotbahkan karena hal tersebut menolak pandangan tradisional tentang pemilihan berdasarkan prapengetahuan Allah, menggantikannya dengan sebuah 'predestinasi' sebagai "keharusan yang didasarkan pada nasib" (ep.225.3). Hilarius mengeluh, "Tetapi mereka tidak ingin ketekunan ini diberitakan jika hal itu berarti ketekunan tidak dapat dilayakkan oleh doa yang tidak dikalahkan oleh pemberontakan" (ep.226.4; cf. Persev.10). Orang-orang yang kemudian mengajarkan predestinasi ganda yang sama dengan yang ditemukan dalam tulisan-tulisan Agustinus, seperti Gottschalk dari Orbais dan kaum Jansenis, dikutuk oleh Gereja Katolik.[70][71]

Pengaruh terhadap soteriologi Calvinis

Anonim (abad ke-17) Potret Yohanes Calvin

Pengakuan akan pengaruh Agustinus terhadap Calvin

Yohanes Calvin menuliskan, "Agustinus begitu selaras dengan saya, sehingga jika saya ingin menulis sebuah pengakuan iman saya, maka akan sangat memuaskan saya untuk mengutip secara keseluruhan dari tulisan-tulisannya."[72]

"Inilah sebabnya mengapa kita menemukan bahwa setiap empat halaman yang ditulis dalam Institutio Christianae Religionis Yohanes Calvin mengutip Agustinus. Calvin, untuk alasan ini, akan menganggap dirinya bukan seorang Calvinis, tetapi seorang Agustinian. [...] Calvinis Kristen, haruskah mereka lebih mungkin dianggap sebagai Calvinis-Agustinian?", jelas, teolog Reformed, C. Matthew McMahon.[73] Spesialis Agustinus, Phillip Cary setuju, menuliskan, "Akibatnya, Calvinisme secara khusus kadang-kadang disebut sebagai Agustinianisme."[74]

Teolog Reformed abad ke-20, B. B. Warfield mengatakan, "Sistem doktrin yang diajarkan oleh Calvin hanyalah Agustinianisme yang umum bagi seluruh Reformator."[75] Teolog Reformed, Paul Helm, menggunakan istilah "Calvinisme Agustinian" untuk pandangannya dalam artikel "Pandangan Calvinis-Agustinian" dalam Prapengetahuan Allah: Empat Pandangan.[76]

Rangkuman soteriologi Calvinis

Soteriologi Calvin dibentuk dan disistematisasi lebih lanjut oleh Beza dan teolog-teolog lainnya.[77] Hal ini kemudian diartikulasikan selama Sinode Dordrecht Kedua (1618–1619) sebagai tanggapan terhadap Lima Pasal Remonstransi.[78] Rangkuman dasar dari Pasal-Pasal Ajaran Dordrecht diberikan oleh lima pokok Calvinisme:[79] Kerusakan total, pemilihan tanpa syarat, penebusan terbatas, anugerah yang tidak dapat ditolak, dan ketekunan orang-orang kudus.[78] Para teolog Reformed modern terus menegaskan poin-poin ini sebagai rangkuman sederhana dari doktrin-doktrin soteriologis Calvinis.[80]

Yohanes Calvin juga menganut pandangan-pandangan predestinarian ganda.[81][82] Yohanes Calvin menyatakan: "Dengan predestinasi yang kami maksudkan adalah ketetapan Allah yang kekal, yang dengannya Ia menetapkan dengan Diri-Nya sendiri apa pun yang Ia kehendaki untuk terjadi berkenaan dengan setiap orang. Semua tidak diciptakan dengan keadaan yang sama, tetapi beberapa ditetapkan terlebih dahulu kepada kehidupan kekal, lainnya kepada kebinasaan kekal; dan, oleh karena itu, karena setiap orang telah diciptakan untuk salah satu dari tujuan-tujuan ini, kita mengatakan bahwa ia telah ditentukan untuk kehidupan atau kematian."[83]

Lihat pula

Referensi

  1. ^ a b Arendzen 1913.
  2. ^ Newman 1904, hlm. 130. "Absurd and unchristian as this system [Manichaeism] seems to us, it claimed to be the only true Christianity, and by its lofty pretentions and the personal power of many of its advocates drew much of the intellect of the age into its ranks. We may say that with other influences; (a.) it stimulates the ascetical spirit, with the degradation of marriage, the exaltation of virginity, regarding the sexual instinct as absolutely evil and to be overcome by all possible means. (b.) The introduction of pompous ceremonial into the church. (c.) The systematization of Christian doctrine. (d.) Sacerdotalism, or the belief that men possess, by virtue of their office, extraordinary power with God. (e.) As a result of this sacerdotalism, the doctrine of indulgences (though in its development other influences can be distinguished) was introduced into the church."
  3. ^ Newman 1904, hlm. 130, Templat:Zwnj.
  4. ^ Oort 2006, hlm. 715-716.
  5. ^ McIntire 2005, hlm. 3206–3209, ch. Free Will and Predestination: Christian Concepts.
  6. ^ Chadwick 1966, hlm. 9.
  7. ^ a b c Chadwick 1983, hlm. 8–13, cf. Freedom and Necessity in Early Christian Thought About God.
  8. ^ a b Wiggers 1840, hlm. 364. "In respect to predestination, the fathers before Augustine differed entirely from him [...]. They founded predestination upon prescience [...] Hence the Massilians were entirely right when they maintained that Augustine's doctrine of predestination was contrary to the opinion of the fathers and the sense of the Church".
  9. ^ a b Wilson 2018, hlm. 41–94.
  10. ^ McCann 2009, hlm. 274-277.
  11. ^ a b Oort 2006, hlm. 709-723.
  12. ^ a b O'Donnell 2005, hlm. 45, 48.
  13. ^ a b Christie-Murray 1989, hlm. 89.
  14. ^ a b Chadwick 1986, hlm. 14.
  15. ^ Latourette 1945, hlm. 332. "The young Augustine for a time had fellowship with it [Manichaeanism). It seems to have left a permanent impression upon him."
  16. ^ Newman 1904, hlm. 361.
  17. ^ Adam 1968, hlm. 1-25.
  18. ^ Hanegraaf 2005, hlm. 757–765, ch. Manichaeism.
  19. ^ Bonner 1999, hlm. 227–243, ch. Augustine, the Bible and the Pelagians.
  20. ^ Schaff 1997, hlm. 789, 835.
  21. ^ Strong & McClintock 1880.
  22. ^ Chadwick 1993, hlm. 232-233.
  23. ^ Mozley 1855, hlm. 149. "When St. Augustine is charged by Pelagius with fatalism, he does not disown the certainty and necessity, but only the popular superstitions and impieties of that system."
  24. ^ Augustine 1887, A treatise on the merits and forgiveness of sins, and on the baptism of infants, Book 2, ch. 5.
  25. ^ McKinley 1965, hlm. 24. "[Augustine's] powerful conversion seemed to him like irresistible grace and effectual calling. Combining these features of his conversion with remorse for his former sinful life, which gave him a black picture of human depravity, and adding to the mixture his pagan philosophy from Manichaeanism and Neoplatonism, Augustine, when too young a Christian to be a theological authority, came up with what to him was a perfect system of Christian doctrine, including absolute human depravity with utter inability to will for good; hence unconditional predestination, effectual calling, irresistible grace, and final perseverance."
  26. ^ Haight 1974, hlm. 30. "Infant baptism tended to be regarded as an initiation into the kingdom of God and the effects of Original Sin as mediated by society. Only adult baptism included the remission of sin. Augustine denied this traditional view: Man's nature is fundamentally disordered because of inherited sin and this involved personal guilt so that an unbaptized infant could not be save."
  27. ^ Tertullian 1887, Ch. 18. Of the Persons to Whom, and the Time When, Baptism is to Be Administered. "And so, according to the circumstances and disposition, and even age, of each individual, the delay of baptism is preferable; principally, however, in the case of little children."
  28. ^ Frend 1955, hlm. 216–231.
  29. ^ Miller 1964, hlm. 1–13.
  30. ^ Augustine 1887, A treatise on the merits and forgiveness of sins, and on the baptism of infants, book 1, ch. 21.. "Hence men are on the one hand born in the flesh liable to sin and death from the first Adam, and on the other hand are born again in baptism associated with the righteousness and eternal life of the second Adam"
  31. ^ Blowers 1999, hlm. 839–840, Ch. Original Sin.
  32. ^ Chadwick 1965.
  33. ^ Augustine 1994, hlm. 1.12–25, De providentia.
  34. ^ Augustine 1887, hlm. 29-30, A treatise on the merits and forgiveness of sins, and on the baptism of infants, Book 1, ch. 1.
  35. ^ Augustine 1994, De persev., ch. 31.
  36. ^ Augustine 1994, De predest., ch. 44.
  37. ^ Augustine 1994, Serm., ch. 294.7.
  38. ^ Augustine 1994, hlm. 184, 196, Sermons III/8, Sermon 294.
  39. ^ Oort 2006, hlm. 710-728.
  40. ^ Chadwick 1991, hlm. 229–230.
  41. ^ Augustine 1887, hlm. 6, A treatise on the merits and forgiveness of sins, and on the baptism of infants, Book 1, ch. 2.
  42. ^ Augustine 1994, De spiritu et littera, ch. 54–59.
  43. ^ Cross 2005, hlm. 129.
  44. ^ a b c Hwang 2006, hlm. 137–142.
  45. ^ Augustine 1994, De spiritu et littera, ch. 37–38.
  46. ^ Augustine 1994, Contra Julianum, ch. 4.8.42.
  47. ^ Augustine 1994, Enchiridion, ch. 97, 103.
  48. ^ Augustine 1994, Epistle, ch. 217.19.
  49. ^ Augustine 1994, De correptione et gratia, ch. 15, 47.
  50. ^ Rist 1972, hlm. 239, Ch. Augustine on Free Will and Predestination.
  51. ^ Augustine 1994, Symb.cat., ch. 2. "Facit quidquid vult: ipsa est omnipotentia. Facit quidquid bene vult, quidquid juste vult: quidquid autem male fit, non vult. Nemo resistit omnipotenti, ut non quod vult faciat."
  52. ^ Ogliari 2003.
  53. ^ Stewart 2014, hlm. 131. "[...] to [Augustine] we owe the term gratia praeveniens [...]".
  54. ^ a b McGrath 2001, hlm. 356.
  55. ^ Fitzgerald 1999.
  56. ^ McGrath 2005, hlm. 26.
  57. ^ McGrath 2005, hlm. 27.
  58. ^ Wiley 1940, hlm. 345.
  59. ^ McGrath 2005, hlm. 107-110.
  60. ^ Bird 2021, hlm. 89-90. "The asymmetry in Augustine’s doctrine of grace is here plainly stated: if a man believes, it is because he has been irresistibly drawn; but if he does not believe, “his determination stands alone.” All credit for conversion is attributed to God; all guilt for refusal, to man. In coming to this position, Augustine had not abandoned his previously developed notions of adjutive grace and the power of delight, but now comprehended that both the adjutum and the delectatio must be of overwhelming strength. Salvation comes to a man when God does a work in him by his Spirit that can neither fail nor be refused."
  61. ^ Wilson 2018, hlm. 106.
  62. ^ Wilson 2018, hlm. 150, 160–162, 185–189.
  63. ^ Hägglund 2007, hlm. 139–140.
  64. ^ Burnell 2005, hlm. 85-86.
  65. ^ James 1998, hlm. 101.
  66. ^ Wilson 2018, hlm. 184–189, 305.
  67. ^ Davis 1991, hlm. 213.
  68. ^ Newman 1904, hlm. 317.
  69. ^ James 1998, hlm. 102. "Some Scholars, especially Catholics, understand Augustine not to have articulated a doctrine of double predestination. Others, Protestants and secular scholars, are more divided on the issue. [...] From our analysis, the Bishop of Hippo may will have believed in double predestination, though he does not unequivocally develop such a doctrine."
  70. ^ Kolakowski 1995, hlm. 3–33.
  71. ^ Pelikan 1987.
  72. ^ Calvin 1961, hlm. 63.
  73. ^ McMahon 2012, hlm. 7–9.
  74. ^ Cary 2008, hlm. 122-124.
  75. ^ Warfield 1956, hlm. 22.
  76. ^ Helm 2001, hlm. 161–189, ch. The Augustinian-Calvinist View.
  77. ^ Muller 2003, hlm. 64–67.
  78. ^ a b Sproul 2016, hlm. 32.
  79. ^ Muller 2012, hlm. 50–51.
  80. ^ Palmer 1996, hlm. 10.
  81. ^ James 1998, hlm. 30.
  82. ^ Trueman 1994, hlm. 69.
  83. ^ Calvin 1845, 3.21.7.

Daftar pustaka

  • Adam, Alfred (1968). Das Fortwirken des Manichäismus bei Augustin (dalam bahasa Jerman). Gütersloh: Mohn. 
  • Augustine (1887). Schaff, Philip, ed. Nicene and Post-Nicene Fathers - First Series (dalam bahasa Inggris). 5. Grand Rapids, MI: William B. Eerdmans Publishing Company. 
  • Bird, Benedict (2021). "The Development Of Augustine's Views On Free Will And Grace, And The Conflicting Claims To Consistency Therewith By John Owen And John Goodwin". Westminster Theological Journal (dalam bahasa Inggris). 83 (1): 73–101. 
  • Augustine (1994). The Works of Saint Augustine: A New Translation for the 21st Century (dalam bahasa Inggris). Diterjemahkan oleh Hill, Edmund. Hyde Park, NY: New City Press. 
  •  Arendzen, John (1913). "Manichæism". Dalam Herbermann, Charles. Catholic Encyclopedia. 9. New York: Robert Appleton Company. 
  • Blowers, Paul (1999). Encyclopedia of Early Christianity (dalam bahasa Inggris) (edisi ke-2). New York, NY: Garland Publishing. 
  • Bonner, Gerald (1999). Bright, Pamela, ed. Augustine and the Bible (dalam bahasa Inggris). Notre Dame, IN: University of Notre Dame Press. 
  • Burnell, Peter (2005). The Augustinian Person (dalam bahasa Inggris). Washington, D.C.: The Catholic University of America Press. 
  • Calvin, John (1845). Institutes of the Christian Religion; a New Translation by Henry Beveridge (dalam bahasa Inggris). 2. Diterjemahkan oleh Henry Beveridge. Edinburgh: Calvin Translation Society. books 2, 3. 
  • Calvin, John (1961). Concerning the Eternal Predestination of God (dalam bahasa Inggris). London: James Clarke & Co. Limited. 
  • Cary, Phillip (2008). Inner Grace: Augustine in the Traditions of Plato and PaulAkses gratis dibatasi (uji coba), biasanya perlu berlangganan (dalam bahasa Inggris). Oxford, UK: Oxford University Press. 
  • Chadwick, Henry (1965). "Justin Martyr's Defence of Christianity". Bulletin of the John Rylands Library (dalam bahasa Inggris). 47 (2): 275–297. doi:10.7227/BJRL.47.2.3. 
  • Chadwick, Henry (1966). Early Christian Thought and the Classical Tradition (dalam bahasa Inggris). Oxford, UK: Clarendon Press. 
  • Chadwick, Henry (1983). Tracy, David; Lash, Nicholas, ed. Cosmology and Theology (dalam bahasa Inggris). Edinburgh: T and T Clark. 
  • Chadwick, Henry (1986). Augustine: A Very Short Introduction (dalam bahasa Inggris). Oxford, UK: Oxford University Press. 
  • Chadwick, Henry (1991). Heresy and Orthodoxy in the Early Church (dalam bahasa Inggris). Aldershot, UK: Variorum. 
  • Chadwick, Henry (1993). The Early Church (dalam bahasa Inggris). London: Penguin books. 
  • Christie-Murray, David (1989). A history of heresy (dalam bahasa Inggris). Oxford; New York: Oxford University Press. 
  • Cross, F. L. (2005). The Oxford dictionary of the Christian church (dalam bahasa Inggris). New York: Oxford University Press. 
  • Davis, John Jefferson (1991). "The Perseverance of the Saints: A History of the Doctrine" (PDF). Journal of the Evangelical Theological Society (dalam bahasa Inggris). 34 (2). 
  • Fitzgerald, Allan D, ed. (1999). "Aratia Christi et de peccato originali, De". Augustine Through the Ages: An Encyclopedia (dalam bahasa Inggris). Grand Rapids, MI: Wm B Eerdmans. 
  • Frend, William (1955). "Doctrine of man in the early church: an historical approach". Modern Churchman (dalam bahasa Inggris). 45 (3). 
  • Hägglund, Bengt (2007) [1968]. Teologins historia [History of Theology] (dalam bahasa Inggris) (edisi ke-4). St. Louis, MO: Concordia Publishing House. ISBN 978-0758613486. 
  • Haight, Roger D. (1974). "Notes on the Pelagian Controversy". Philippine Studies (dalam bahasa Inggris). 22 (1): 26–48. JSTOR 426345413. 
  • Hanegraaf, Wouter J., ed. (2005). Dictionary of Gnosis and Western Esotericism (dalam bahasa Inggris). 2. Leiden: Brill. 
  • Helm, Paul (2001). Bielby, James; Eddy, Paul, ed. Divine Foreknowledge: Four Views (dalam bahasa Inggris). Downers Grove, IL: IVP. 
  • Hwang, Alexander (2006). "Augustine's Various Interpretations of 1 Tim. 2:4". Studia Patristica (dalam bahasa Inggris). 43. 
  • James, Frank A. III (1998). Peter Martyr Vermigli and Predestination: The Augustinian Inheritance of an Italian Reformer (dalam bahasa Inggris). Oxford: Clarendon. 
  • Kolakowski, Leszek (1995). God Owes Us Nothing: A Brief Remark on Pascal's Religion and on the Spirit of Jansenism (dalam bahasa Inggris). Chicago, IL: University of Chicago Press. 
  • Latourette, Kenneth Scott (1945). A History of the Expansion of Christianity (dalam bahasa Inggris). New York: Harper & Bros. OCLC 277266105. 
  • McCann, Christine (2009). "The Influence of Manichaeism on Augustine of Hippo as a Spiritual Mentor". Cistercian Studies Quarterly (dalam bahasa Inggris). 44 (3): 255–277. 
  • McGrath, Alister E. (2001). Christian Theology: An Introduction (dalam bahasa Inggris). Cambridge: Blackwell Publishers. 
  • McGrath, Alister E. (2005). Iustitia Dei: a history of the Christian doctrine of justification (dalam bahasa Inggris). Cambridge: Cambridge University Press. 
  • McIntire, C.T. (2005). Jones, Lindsay, ed. The Encyclopedia of Religion (dalam bahasa Inggris). 5 (edisi ke-2). Farmington Hills, MI: Macmillan Reference USA. 
  • McKinley, O. Glenn (1965). Where Two Creeds Meet (PDF) (dalam bahasa Inggris). Kansas City, MO: Beacon Hill Press of Kansas City. 
  • McMahon, C. Matthew (2012). Augustine's Calvinism: The Doctrines of Grace in Augustine's Writings (dalam bahasa Inggris). Coconut Creek, FL: Puritan Publications. 
  • Miller, Mary (1964). Rufini Presbyteri: Liber de Fide (dalam bahasa Inggris). Washington, D.C.: The Catholic University of America. 
  • Mozley, James Bowling (1855). A Treatise on the Augustinian Doctrine of Predestination (dalam bahasa Inggris). London: J. Murray. 
  • Muller, Richard A. (2003). After Calvin: Studies in the Development of a Theological Tradition (dalam bahasa Inggris). Oxford: Oxford University Press. 
  • Muller, Richard A. (2012). Calvin and the Reformed Tradition (dalam bahasa Inggris). Grand Rapids, Michigan: Baker Academic. 
  • Newman, Albert Henry (1904). Manual of Church History (dalam bahasa Inggris). Philadelphia: American Baptist Publication Society. 
  • O'Donnell, James (2005). Augustine: A New Biography (dalam bahasa Inggris). New York, NY: HarperCollins. 
  • Ogliari, Donato (2003). Gratia et Certamen: The Relationship between Grace and Free Will in the Discussion of Augustine with the so-called Semipelagians (dalam bahasa Inggris). Leuven: Leuven University Press. 
  • Oort, Johannes van (2006). "Augustine and Manichaeism: New Discoveries, New Perspectives". Verbum et Ecclesia (dalam bahasa Inggris). 27 (2): 710–728. doi:10.4102/VE.V27I2.172. hdl:2263/2551alt=Dapat diakses gratis. 
  • Palmer, Edwin H. (1996). The Five Points of Calvinism (dalam bahasa Inggris). Grand Rapids, MI: Baker Books. 
  • Pelikan, Jaroslav (1987). "An Augustinian Dilemma: Augustine's Doctrine of Grace versus Augustine's Doctrine of the Church?". Augustinian Studies (dalam bahasa Inggris). 18: 1–28. doi:10.5840/augstudies1987186. 
  • Rees, Brinley (1988). Pelagius: A Reluctant Heretic (dalam bahasa Inggris). Woodridge, Suffolk: Boydell Press. 
  • Rist, John (1972). Markus, Robert, ed. Augustine: A Collection of Critical Essays (dalam bahasa Inggris). New York: Doubleday. 
  • Schaff, Philip (1997). History of the Christian Church (dalam bahasa Inggris). 3. Oak Harbor, WA: Logos Research Systems. 
  • Strong, James; McClintock, John (1880). "Augustine". The Cyclopedia of Biblical, Theological, and Ecclesiastical Literature (dalam bahasa Inggris). New York: Haper and Brothers. 
  • Sproul, R. C. (2016). What Is Reformed Theology?: Understanding the Basics (dalam bahasa Inggris). Grand Rapids, MI: Baker Books. ISBN 978-0-8010-1846-6. 
  • Stewart, H. F. (2014). Thirteen Homilies of St Augustine on St John XIV (dalam bahasa Inggris). Cambridge: Cambridge University Press. 
  • Tertullian (1887). Schaff, Philip, ed. Ante-Nicene Fathers (dalam bahasa Inggris). 3. Grand Rapids, MI: William B. Eerdmans Publishing Company. 
  • Trueman, Carl R. (1994). Luther's Legacy: Salvation and English Reformers, 1525-1556 (dalam bahasa Inggris). Oxford: Clarendon. Diarsipkan dari versi asli tanggal 22 December 2015. Diakses tanggal 15 December 2015. 
  • Warfield, Benjamin B. (1956). Craig, Samuel G., ed. Calvin and AugustinePerlu mendaftar (gratis) (dalam bahasa Inggris). Philadelphia, PA: Presbyterian and Reformed Publishing Co. 
  • Wiggers, Gustav Friedrich (1840). An Historical Presentation of Augustinism and Pelagianism from the Original Sources (dalam bahasa Inggris). Andover: Gould, Newman & Saxton. ISBN 978-0-608-36210-6. 
  • Wiley, H. Orton (1940). Christian theology (dalam bahasa Inggris). 1. Kansas City, MO: Beacon Hill Press. 
  • Wilson, Kenneth (2018). Augustine's Conversion from Traditional Free Choice to "Non-free Free Will: A Comprehensive Methodology (dalam bahasa Inggris). Tübingen: Mohr Siebeck. 
Kembali kehalaman sebelumnya