Pengaruh Agustinus terhadap Yohanes CalvinSoteriologi Agustinian, dipengaruhi oleh interaksi awal Agustinus dari Hippo dengan Stoikisme, Neoplatonisme, dan Manikheisme, memainkan peran penting dalam membentuk teologi Kristen. Awalnya menentang pandangan-pandangan deterministik, Agustinus kemudian mengintegrasikan aspek-aspek dari filsafat ini, khususnya dalam perdebatannya dengan kaum Pelagian. Doktrin-doktrinnya, seperti predestinasi melalui predeterminisme, meletakkan dasar bagi perkembangan teologis di kemudian hari. Pengaruh Agustinus terhadap Yohanes Calvin sangat signifikan dalam membentuk soteriologi dan pemahaman Calvinis tentang providensi ilahi. Perkembangan soteriologi AgustinusPengaruh teologis dalam gereja mula-mulaManikheisme merupakan sebuah sekte Gnostik yang didirikan pada abad ke-3.[1] Sekte ini secara signifikan mempengaruhi gereja Kristen mula-mula, memperkenalkan praktik-praktik spiritual seperti asketisisme dan sakerdotalisme.[2] Manikheisme mengadopsi wawasan dunia yang dualistik, mengkontraskan alam spiritual yang baik dengan alam material yang jahat, menantikan adanya pemulihan cahaya secara bertahap dari alam material ke alam spiritual.[1] Dalam hal soteriologi, Manikheisme menyatakan bahwa Allah secara sepihak memilih kaum pilihan untuk keselamatan dan kaum bukan pilihan untuk penghukuman sesuai dengan kehendak-Nya.[3] Contohnya, pada tahun 392, seorang penatua Manikhean mengatakan bahwa "Allah [...] telah memilih jiwa-jiwa yang layak bagi-Nya menurut kehendak kudus-Nya sendiri. [...] bahwa di bawah kepemimpinan-Nya jiwa-jiwa tersebut akan kembali lagi ke dalam kerajaan Allah menurut janji kudus dari Dia yang mengatakan: "Akulah jalan, kebenaran, dan pintu"; dan "Tidak ada seorangpun yang datang kepada Bapa, kalau tidak melalui Aku."[4] Bapa-bapa gereja mula-mula sebelum Agustinus dari Hippo (354–430) membantah predeterminisme tanpa pilihan sebagai paganisme.[5][6][7] Dari lima puluh penulis Kristen mula-mula yang menulis mengenai perdebatan antara kehendak bebas dan determinisme, kelima puluh penulis semuanya mendukung kehendak bebas Kristen terhadap determinisme Stoik, Gnostik, dan Manikhean.[8][9] Pengaruh teologis terhadap AgustinusSebelum pertobatannya menjadi Kristen pada tahun 387, Agustinus menganut tiga filsafat yang deterministik: Stoikisme, Neoplatonisme dan Manikheisme. Ia sangat dipengaruhi oleh mereka, khususnya dalam hubungannya selama satu dekade dengan kaum Manikhean.[10][11][12][13][14][15][16] Ia tampaknya mengadopsi perspektif Manikhean dalam berbagai aspek teologis, terutama tentang natur kebaikan dan kejahatan, pemisahan kelompok-kelompok menjadi kaum pilihan, pendengar, dan pendosa, dan sikap keras terhadap daging dan aktivitas seksual, dan teologinya yang dualistik.[17][11] Setelah pertobatannya, ia mengajarkan teologi Kristen tradisional melawan bentuk-bentuk determinisme teologis hingga 412.[9][12][14] Namun, selama konfliknya dengan kaum Pelagian, ia tampaknya memperkenalkan kembali prinsip-prinsip Manichean tertentu ke dalam pemikirannya,[18][19][20][21] dan dituduh melakukan hal tersebut oleh para lawannya.[22][23][24] Selama sisa hidupnya, ia mengajarkan sebuah soteriologi di mana predestinasi didasarkan pada predeterminisme.[8] Soteriologi ini dapat dapat dijelaskan secara serupa dengan lima pokok Calvinisme.[25] Kerusakan total dan pemilihan tanpa syarat dalam baptisan bayiKontroversi mengenai baptisan bayi dengan kaum Pelagian berkontribusi terhadap perubahan dalam pemikiran Agustinus.[26] Tertulianus (c. 155 – c. 220) adalah penulis Kristen pertama yang menyebutkan baptisan bayi. Ia menentangnya dengan mengatakan bahwa anak-anak tidak seharusnya dibaptiskan hingga mereka dapat percaya secara pribadi kepada Kristus.[27] Bahkan hingga 400, tidak ada konsensus mengenai mengapa bayi harus dibaptiskan.[28] Kaum Pelagian mengajarkan bahwa baptisan bayi hanya memperbolehkan anak-anak untuk masuk ke dalam kerajaan Allah (dipandang sebagai hal yang berbeda dari surga), sehingga bayi-bayi yang belum dibaptiskan tetap bisa berada di surga.[29] Sebagai tanggapan, Agustinus menciptakan konsep bahwa bayi-bayi dibaptiskan untuk menghilangkan kebersalahan asal Adam (kebersalahan yang mengakibatkan penghukuman kekal).[30] Dosa asal yang diwariskan sebelumnya terbatas pada kematian jasmani, kelemahan moral, dan kecenderungan terhadap dosa.[31] Unsur yang utama lainnya dalam baptisan bayi adalah pendidikan awal Agustinus dalam Stoikisme, sebuah filsafat kuno di mana sebuah ilah yang teliti mempredeterminasi segala peristiwa secara mendetail di dalam alam semesta.[32] Hal ini termasuk jatuhnya sebuah daun dari sebuah pohon ke titik yang tepat di tanah dan pergerakan halus otot-otot di leher ayam jantan saat mereka bertarung, yang ia jelaskan dalam karya pertamanya, De providentia (Tentang Providensia).[33] Agustinus mengajarkan bahwa Allah menetapkan terlebih dahulu (atau mempredestinasikan) bayi-bayi yang baru dilahirkan yang dibaptiskan dengan secara aktif menolong atau menyebabkan para orang tua untuk menjangkau uskup untuk baptisan ketika bayi tersebut masih hidup. Agustinus berargumen lebih lanjut bahwa Allah secara aktif menghalangi orang tua dari bayi-bayi lainnya dari menjangkau air baptisan sebelum bayi mereka meninggal. Bayi-bayi ini dibinasakan ke neraka karena merereka tidak dibaptiskan (menurut Agustinus).[34][35][36][37] Pandangannay tetap kontroversial, bahkan beberapa sarjana Agustinian Katolik Roma membantah gagasan ini,[38] dan para sarjana merujuk asal-usul pandangan tersebut sebagai berasal dari Platonisme, Stoikisme, dan Manikheisme.[39][7][40] Agustinus kemudian memperluas konsep ini dari bayi kepada orang dewasa. Karena bayi tidak memiliki "kehendak" untuk menginginkan baptisan mereka, Agustinus mengembangkan implikasinya kepada seluruh umat manusia.[41][42] Ia menyimpulkan bahwa Allah pasti mempredestinasikan melalui predeterminasi semua manusia sebelum mereka membuat pilihan apa pun. Meskipun orang-orang Kristen sebelumnya mengajarkan dosa asal, konsep kerusakan total (ketidakmampuan total untuk percaya kepada Kristus) dipinjam dari Manikheisme Gnostik. Manikheisme mengajarkan bahwa bayi-bayi yang belum dilahirkan dan belum dibaptiskan dibinasakan ke neraka karena tubuh jasmani. Seperti para Gnostik, ilah Manikhean harus membangkitkan kehendak yang mati dengan menginfuskan iman dan anugerah. Agustinus mengubah penyebab kerusakan total menjadi kebersalahan Adam, tetapi mempertahankan konsep Stoik, Manikhean, dan Neoplatonik tentang kehendak manusia yang mati membutuhkan anugerah dan iman yang diinfuskan ilah untuk dapat berespons.[43] Penebusan terbatasAgustinus mencoba berbagai penjelasan tentang 1 Timotius 2:4.[44] Kaum Pelagian mengasumsikan bahwa 1 Tim. 2:4 mengajarkan bahwa Allah memberikan karunia iman kepada semua orang, yang Agustinus dengan mudah sanggah dengan mengubah "menghendaki" menjadi "menyediakan kesempatan".[45] Pada tahun 414, teologi baru Agustinus menggunakan "semua jenis/kelas" untuk secara definitif menggantikan "semua" sebagai absolut (ep. 149) dan pada tahun 417, Khotbah 304.2 mengulangi perubahan dari "semua" menjadi "semua jenis". Namun, hanya pada tahun 421[46] Agustinus mengubah teks menjadi "semua yang diselamatkan", artinya mereka yang diselamatkan hanyalah diselamatkan oleh kehendak Allah, yang ia ulangi tahun berikutnya.[47] Orang gagal untuk diselamatkan, "bukan karena mereka tidak menghendakinya, tetapi karena Allah tidak".[48] Meskipun mereka pasti akan dibinasakan, Allah membuat orang-orang Kristen lainnya menghendaki keselamatan yang mustahil bagi mereka.[49] John Rist mengidentifikasi sebagai "bagian yang paling menyedihkan."[50] Pada tahun 429, Agustinus mengutip 1 Korintus 1:18 menambahkan "semacam itu" kepada 1 Tim. 2:4, mendefinisikan ulang semua untuk berarti "semua yang diselamatkan," dan mengimplikasikan sebuah panggilan yang tidak dapat ditolak. Hwang mencatat,
Agustinus mencoba setidaknya lima jawaban selama waktu satu dekade berusaha menjelaskan 1 Tim. 2:4 mengenai jangkauan dari pengorbanan Kristus yang memberikan penebusan.[44] Dasar pemikiran utamanya adalah gagasan pagan bahwa Allah menerima segala sesuatu yang diinginkannya. Kemahakuasaan (Stoik dan Neoplatonik) adalah melakukan apa pun yang Sang Satu kehendaki, menjamin segala sesuatu yang terjadi dalam alam semesta adalah persis seperti kehendak Yang Mahakuasa dan oleh karena itu harus terjadi (Khotbah 214.4).[51] Ia menyimpulkan bahwa karena Allah mendapatkan segala sesuatu yang Ia inginkan, Allah tidak menghendaki semua orang untuk diselamatkan, karena jika tidak demikian semua orang akan diselamatkan. Chadwick menyimpulkan bahwa karena Allah Agustinus tidak menghendaki dan oleh sebab itu menolak untuk menyelamatkan semua orang, Agustinus mengangkat kedaulatan Allah sebagai absolut dan keadilan Allah diinjak-injak.[7] Hal ini juga secara logis menuntut bahwa Kristus tidak mungkin mati bagi mereka yang tidak akan diselamatkan. Oleh karena itu, Kristus hanya mati bagi kaum pilihan karena Allah tidak menyia-nyiakan sebab-akibat atau energi.[52] Anugerah yang tidak dapat ditolakAgustinus mengembangkan konsep "anugerah yang mendahului",[53] "anugerah yang operatif" dan "anugerah yang kooperatif".[54] Dalam menanggapi Pelagianisme, Agustinus berargumen bahwa anugerah yang mendahului merupakan keharusan untuk mempersiapkan kehendak manusia kepada pertobatan.[54] Pelagius telah merujuk pada Santo Ambrosius (c. 339 – c. 397), yang kepadanya Agustinus tanggapi dengan serangkaian kutipan dari Ambrosius yang menunjukkan perlunya anugerah yang mendahului.[55] Agustinus menggambarkan kehendak bebas tanpa pertolongan spiritual dari anugerah sebagai "kehendak bebas yang tertawan" (bahasa Latin: liberum arbitrium captivatum).[56] Melalui tindakan anugerah, kehendak ini menjadi "kehendak yang dibebaskan" atau secara literal sebuah "kehendak bebas yang dibebaskan" (bahasa Latin: liberum arbitrium liberatum).[57] Anugerah yang mendahului menyediakan pencerahan spiritual yang harus ada ini. "Anugerah operatif" yang selanjutnya memberikan kaum pilihan hanya kuasa untuk percaya dan menyalakan iman yang membenarkan.[58] Agustinus menilai anugerah yang operatif sebagai anugerah yang membenarkan yang tidak dapat gagal bagi kaum pilihan.[59][60] Namun, ia tidak menggunakan istilah "anugerah yang tidak dapat ditolak" untuk menjelaskannya.[61] Ketekunan orang-orang kudusKarena Agustinus percaya bahwa Roh Kudus diterima saat baptisan air, menghasilkan kelahiran baru, ia harus menjelaskan mengapa beberapa orang yang sudah dibaptis tetap berada dalam iman sedangkan yang lainnya murtad dan hidup imoral. Agustinus mengajarkan bahwa di antara mereka yang dilahirbarukan melalui baptisan, beberapa diberikan karunia ketekunan ("donum perseverantiae") tambahan yang memampukan mereka untuk mempertahankan iman mereka dan mencegah mereka dari murtad.[62][63][64] Tanpa karunia kedua ini, seorang Kristen yang dibaptis dengan Roh Kudus tidak akan bertekun dan pada akhirnya tidak akan diselamatkan.[65] Agustinus mengembangkan doktrin ketekunan ini dalam De correptione et gratia (ca 426–427).[66] Meskipun doktrin ini secara teori memberikan keamanan bagi kaum pilihan yang menerima karunia ketekunan, setiap orang tidak dapat memastikan apakah mereka telah menerimanya.[67][68][13] Predestinasi gandaPredestinasi ganda, atau ketetapan ganda, adalah doktrin bahwa Allah secara aktif mereprobasi, atau menetapkan kebinasaan beberapa orang, sebagaimana juga keselamatan bagi mereka yang Ia telah pilih. Setelah tahun 411, Agustinus membuat pernyataan-pernyataan yang mengajarkan doktrin ini (contohnya, Enchir. 100, De nat. orig. 1.14, 4.16, Khotbah 229S, Khotbah 260D.1, De civ. dei 14.26, 15.1, ep.204.2), tetapi orang-orang yang mengandalkan tulisan-tulisan Agustinus sebelum tahun 412 tidak jelas apakah ia berpegang pada predestinasi ganda.[69] Dalam ep.225 (dari Prosper) dan ep.226 (dari Hilarius dari Galia), kedua orang mengeluh bahwa sesama orang Kristen tidak mau pandangan baru Agustinus yang berbahaya tentang predestinasi dan ketekunan dikhotbahkan karena hal tersebut menolak pandangan tradisional tentang pemilihan berdasarkan prapengetahuan Allah, menggantikannya dengan sebuah 'predestinasi' sebagai "keharusan yang didasarkan pada nasib" (ep.225.3). Hilarius mengeluh, "Tetapi mereka tidak ingin ketekunan ini diberitakan jika hal itu berarti ketekunan tidak dapat dilayakkan oleh doa yang tidak dikalahkan oleh pemberontakan" (ep.226.4; cf. Persev.10). Orang-orang yang kemudian mengajarkan predestinasi ganda yang sama dengan yang ditemukan dalam tulisan-tulisan Agustinus, seperti Gottschalk dari Orbais dan kaum Jansenis, dikutuk oleh Gereja Katolik.[70][71] Pengaruh terhadap soteriologi CalvinisPengakuan akan pengaruh Agustinus terhadap CalvinYohanes Calvin menuliskan, "Agustinus begitu selaras dengan saya, sehingga jika saya ingin menulis sebuah pengakuan iman saya, maka akan sangat memuaskan saya untuk mengutip secara keseluruhan dari tulisan-tulisannya."[72] "Inilah sebabnya mengapa kita menemukan bahwa setiap empat halaman yang ditulis dalam Institutio Christianae Religionis Yohanes Calvin mengutip Agustinus. Calvin, untuk alasan ini, akan menganggap dirinya bukan seorang Calvinis, tetapi seorang Agustinian. [...] Calvinis Kristen, haruskah mereka lebih mungkin dianggap sebagai Calvinis-Agustinian?", jelas, teolog Reformed, C. Matthew McMahon.[73] Spesialis Agustinus, Phillip Cary setuju, menuliskan, "Akibatnya, Calvinisme secara khusus kadang-kadang disebut sebagai Agustinianisme."[74] Teolog Reformed abad ke-20, B. B. Warfield mengatakan, "Sistem doktrin yang diajarkan oleh Calvin hanyalah Agustinianisme yang umum bagi seluruh Reformator."[75] Teolog Reformed, Paul Helm, menggunakan istilah "Calvinisme Agustinian" untuk pandangannya dalam artikel "Pandangan Calvinis-Agustinian" dalam Prapengetahuan Allah: Empat Pandangan.[76] Rangkuman soteriologi CalvinisSoteriologi Calvin dibentuk dan disistematisasi lebih lanjut oleh Beza dan teolog-teolog lainnya.[77] Hal ini kemudian diartikulasikan selama Sinode Dordrecht Kedua (1618–1619) sebagai tanggapan terhadap Lima Pasal Remonstransi.[78] Rangkuman dasar dari Pasal-Pasal Ajaran Dordrecht diberikan oleh lima pokok Calvinisme:[79] Kerusakan total, pemilihan tanpa syarat, penebusan terbatas, anugerah yang tidak dapat ditolak, dan ketekunan orang-orang kudus.[78] Para teolog Reformed modern terus menegaskan poin-poin ini sebagai rangkuman sederhana dari doktrin-doktrin soteriologis Calvinis.[80] Yohanes Calvin juga menganut pandangan-pandangan predestinarian ganda.[81][82] Yohanes Calvin menyatakan: "Dengan predestinasi yang kami maksudkan adalah ketetapan Allah yang kekal, yang dengannya Ia menetapkan dengan Diri-Nya sendiri apa pun yang Ia kehendaki untuk terjadi berkenaan dengan setiap orang. Semua tidak diciptakan dengan keadaan yang sama, tetapi beberapa ditetapkan terlebih dahulu kepada kehidupan kekal, lainnya kepada kebinasaan kekal; dan, oleh karena itu, karena setiap orang telah diciptakan untuk salah satu dari tujuan-tujuan ini, kita mengatakan bahwa ia telah ditentukan untuk kehidupan atau kematian."[83] Lihat pulaReferensi
Daftar pustaka
|