Pendudukan Malta oleh Prancis
Pendudukan Prancis di Malta berlangsung dari tahun 1798 hingga 1800. Pada 19 Mei 1798, armada Prancis berlayar dari Toulon dan mengangkut 30.000 pasukan di bawah pimpinan Napoleon Bonaparte. Armada ini sedang dalam perjalanan ke Mesir karena Bonaparte ingin memperluas pengaruh Prancis ke Asia dan memaksa Britania berdamai. Armada ini berlayar ke tenggara dan pada pukul 05:30 tanggal 9 Juni tiba di Valletta. Pada masa itu, Malta dan pulau-pulau sekitarnya diperintah oleh Ordo Santo Yohanes, ordo lama yang sudah melemah karena kehilangan banyak pemasukan mereka selama Revolusi Prancis. Kepala ordo ini Ferdinand von Hompesch zu Bolheim menolak permintaan Bonaparte agar konvoinya diperbolehkan masuk Valletta dan mengambil persediaan, dan ia bersikeras bahwa Malta netral dan hanya dapat memperbolehkan dua kapal masuk. Setelah menerima jawaban ini, Bonaparte memerintahkan armadanya untuk membombardir Valletta, dan pada 11 Juni Jenderal Louis Baraguey d'Hilliers memimpin pendaratan pasukan Prancis di tujuh titik strategis di seluruh pulau. Ksatria-ksatria Prancis meninggalkan ordonya, dan ksatria yang tersisa tidak dapat melawan. Kurang lebih 2.000 anggota milisi penduduk asli Malta melawan selama 24 jam, dan mereka mundur ke Valletta setelah kota Mdina jatuh ke tangan Jenderal Claude-Henri Belgrand de Vaubois. Walaupun Valletta sebenarnya dapat menahan serangan dalam waktu yang lama, negosiasi Bonaparte berhasil, dan Hompesch menyerah. Ia sepakat untuk menyerahkan Malta dan sumber dayanya kepada Prancis, dan sebagai gantinya dirinya dan ksatria-ksatrianya menerima properti dan uang di Prancis. Bonaparte kemudian menempatkan 4.000 garnisun Prancis di pulau tersebut sementara pasukannya meneruskan perjalanan ke Alexandria pada 19 Juni. Pada masa pendudukan, Prancis melancarkan perubahan dan menyebarkan gagasan-gagasan Revolusi Prancis. Rakyat Malta diberi hak yang sama di bawah hukum, dan mereka dianggap sebagai warga Prancis. Kebangsawanan Malta dibubarkan dan budak-budak dibebaskan. Hak kebebasan berpendapat dan pers diberikan, walaupun koran satu-satunya yang ada di Malta pada saat itu adalah Journal de Malta yang diterbitkan oleh pemerintah. Tahanan politik (seperti Mikiel Anton Vassalli) dilepas, sementara orang Yahudi diizinkan membangun sinagoge.[2] Semua properti Ordo Santo Yohanes diserahkan kepada pemerintah Prancis. Prancis dengan cepat membubarkan institusi Ordo Santo Yohanes di Malta, termasuk Gereja Katolik Roma, dan rakyat Malta tidak menyukai hal ini. Malta didera masalah ekonomi dan pemerintah Prancis tidak lagi memberikan gaji atau uang pensiun. Mereka malah mulai mengambil emas dan perak dari bank dan istana milik Ordo Santo Yohanes. Properti gereja dijarah dan disita untuk membiayai ekspedisi ke Mesir, sehingga menyulut kemarahan orang-orang Malta yang religius. Pada 2 September, kemarahan ini mengakibatkan meletusnya pemberontakan pada saat pelelangan properti gereja, dan dalam waktu beberapa hari ribuan pemberontak telah menyudutkan garnisun Prancis di Valletta dan wilayah pelabuhan. Valletta dikepung oleh kurang lebih 10.000 pemberontak yang dipimpin oleh Emmanuele Vitale dan Francesco Saverio Caruana, tetapi benteng Valletta tidak dapat ditembus oleh pemberontak. Malta membangun fortifikasi yang mengelilingi wilayah pelabuhan untuk membombardir pasukan Prancis.[3] Bantuan dari Britania pada akhirnya datang, dan pada tahun 1799 Kapten Alexander Ball diangkat sebagai Komisioner Sipil Malta. Garnisun Prancis di Valletta pada akhirnya menyerah kepada Britania pada 4 September 1800, dan Malta menjadi protektorat Britania.[2] Referensi
|