Pemindahan agama paksa umat Islam di Spanyol

Penganut Baru Uskup Besar Ximenez Dari Orang Moor, Granada, 1500 karya Edwin Long (1829–1891), menggambarkan pembaptisan massal umat Islam

Pemindahan agama paksa umat Islam di Spanyol diberlakukan melalui serangkaian maklumat yang melarang Islam di wilayah Imperium Spanyol. Penindasan tersebut didorong oleh tiga kerajaan Spanyol pada awal abad ke-16: Takhta Kastila pada tahun 1500–1502, disusul oleh Navarra pada tahun 1515–1516, dan terakhir Takhta Aragon pada tahun 1523–1526.[1]

Usai kerajaan-kerajaan Kristen merampungkan perebutan kembali Al-Andalus pada tanggal 2 Januari 1492, penduduk Muslim di Spanyol terdiri atas 500.000 hingga 600.000 orang. Pada masa itu, umat Islam yang tinggal di bawah pemerintahan Kristen diberi status "Mudéjar", yang secara sah mengizinkan praktik Islam secara terbuka. Pada tahun 1499, Uskup Agung Toledo, Kardinal Francisco Jiménez de Cisneros memulai sebuah kampanye di kota Granada untuk memaksa kepatuhan terhadap agama Kristen dengan penyiksaan dan penahanan. Kejadian tersebut memicu pemberontakan Muslim yang kemudian berhasil dipadamkan dan digunakan untuk membenarkan pencabutan perlindungan hukum dan traktat bagi umat Islam. Upaya pemindahan agama pun dilipatgandakan sehingga pada tahun 1501, secara resmi, tidak ada lagi Muslim yang resmi menetap di Granada. Terdorong dengan keberhasilan di Granada, pada tahun 1502, Ratu Isabella dari Kastila mengeluarkan sebuah edik yang melarang Islam di seluruh Kastila. Dengan aneksasi Navarra pada tahun 1515, semakin banyak Muslim yang dipaksa menganut keyakinan Kristen lewat edik Kastila. Kerajaan terakhir yang memaksakan pemindahan agama adalah Takhta Aragon. Sebelumnya, para rajanya bersumpah untuk memberikan perlindungan kebebasan beragama untuk umat Muslim di kerajaannya dalam sumpah penahbisan mereka. Pada awal 1520-an, pemberontakan anti-Islam yang dikenal sebagai Pemberontakan Persaudaraan terjadi, dan umat Islam di wilayah pemberontak dipaksa berpindah agama. Ketika pasukan Takhta Aragon yang dibantu oleh umat Islam, berhasil meredam pemberontakan tersebut, Raja Charles I (lebih dikenal sebagai Charles V dari Kekaisaran Romawi Suci) memerintahkan agar pemindahan agama secara paksa diberlakukan. Sehingga "orang-orang yang pindah agama" tersebut kini resmi menjadi Kristen. Peristiwa tersebut menempatkan orang-orang yang pindah agama di bawah yurisdiksi Inkuisisi Spanyol. Pada tahun 1524, Charles mengirim petisi kepada Paus Klemens VII untuk melepaskan raja dari sumpahnya untuk melindungi kebebasan beragama umat Islam. Hal tersebut memberikannya otoritas untuk secara resmi menindak penduduk Muslim yang tersisa. Pada akhir 1525, ia mengeluarkan edik perpindahan agama resmi bahwa Islam tidak lagi secara resmi ada di seluruh Spanyol.

Meskipun menganut agama Kristen secara terbuka diwajibkan oleh edik kerajaan dan dipaksakan oleh Inkuisisi Spanyol, bukti-bukti yang ada menunjukkan bahwa sebagian besar orang yang dipaksa pindah agama (disebut sebagai "Morisco") diam-diam tetap mempertahankan agama Islam. Pada kehidupan sehari-hari, hukum Islam tradisional tidak lagi dapat dilaksanakan tanpa penindasan oleh Inkuisisi. Akibatnya, fatwa Oran dikeluarkan untuk menyatakan perlunya pelonggaran syariat, dan juga merinci cara-cara yang dapat dilakukan oleh umat Islam. Fatwa tersebut menjadi dasar untuk kripto-Islam yang dipraktikkan oleh Morisco sampai pengusiran mereka pada 1609–1614. Beberapa umat Islam, yang kebanyakan berada di dekat pesisir, berimigrasi sebagai respons terhadap pemindahan agama tersebut. Namun, pembatasan yang diberlakukan oleh otoritas mengenai imigrasi dalam artian meninggalkan Spanyol, bukanlah opsi bagi sebagian besar umat Islam. Pemberontakan juga timbul di beberapa daerah, terutama di daerah-daerah yang memiliki daerah pegunungan yang defensif, tetapi semuanya tidak berhasil. Pada akhirnya, edik-edik tersebut menciptakan sebuah masyarakat dengan Muslim taat yang diam-diam enggan murtad (berpindah agama) berdampingan dengan para murtadin yang menjadi penganut Kristen yang taat, sampai terjadinya pengusiran.

Latar belakang

Granada Menyerah karya Francisco Pradilla Ortiz (1848–1921), menggambarkan Granada menyerah, kerajaan pimpinan Muslim terakhir di Jazirah Iberia, pada tahun 1492.

Islam telah datang di Semenanjung Iberia sejak penaklukan Hispania oleh Umayyah pada abad kedelapan. Pada awal abad kedua belas, penduduk Muslim di Semenanjung Iberia – yang disebut "Al-Andalus" oleh Muslim – diperkirakan berjumlah setidaknya 5.5 juta; yang terdiri dari orang Arab, orang Berber, dan penduduk asli yang menjadi mualaf.[2] Di beberapa abad berikutnya, kala umat Kristen menekan dari arah utara dalam proses yang disebut reconquista, penduduk Muslim pun menurun.[3] Hingga pada akhir abad kelima belas, Reconquista berpuncak pada kejatuhan Granada, dengan penduduk Muslim di Spanyol berkisar antara 500.000 hingga 600.000 orang dari keseluruhan penduduk Spanyol yang berpenduduk sekitar 7 sampai 8 juta orang.[2] Sekitar separuh Muslim tinggal di bekas Keamiran Granada, negara Muslim independen terakhir di semenanjung Iberia, yang telah dianeksasi oleh Takhta Kastila.[2] Sekitar 20.000 Muslim tinggal di wilayah Kastila lainnya, dan kebanyakan sisanya tinggal di wilayah Takhta Aragon.[4] Para Muslim yang tinggal di bawah kekuasaan Kristen disebut sebagai Mudéjar.

Di tahun-tahun awal usai penaklukan Granada, Muslim di Granada dan wilayah lainnya masih dapat menikmati kebebasan beragama.[1] Hak tersebut dijamin dalam berbagai alat hukum, yang meliputi traktat, piagam, kapitulasi, dan sumpah penahbisan.[1] Contohnya, Traktat Granada (1491) menjamin toleransi agama terhadap Muslim di wilyah penaklukan Granada.[5] Raja-raja Aragon, termasuk Raja Ferdinand II dan Charles V, bersumpah untuk melindungi kebebasan beragama Muslim dalam sumpah penahbisan mereka sebagai raja.[6][7]

Tiga bulan usai penaklukan Granada, pada tahun 1492, Dekrit Alhambra memerintahkan seluruh Yahudi di Spanyol untuk diusir atau berpindah agama. Ini menandai permulaan serangkaian kebijakan baru.[8] Pada tahun 1497, tetangga barat Spanyol, yakni Portugal, mengusir penduduk Yahudi dan Muslim. Sesuai dengan arahan kardinal Spanyol Cisneros sebagai balasan untuk kontrak pernikahan kerajaan.[9] Tak seperti Yahudi, Muslim Portugis diizinkan untuk berpindah ke wilayah Spanyol, dan kebanyakan Muslim Portugis melakukannya.[10]

Proses pemindahan agama

Pada pertengahan akhir abad kelima belas, Spanyol terbagi antara dua kerajaan: Takhta Kastila dan Takhta Aragon yang memiliki luas lebih kecil. Perkawinan antara Raja Ferdinand II dari Aragon dan Ratu Isabella I dari Kastila menyatukan dua takhta tersebut, dan kemudian cucu mereka Charles kelak mewarisi kedua takhta tersebut (sebagai Charles I dari Spanyol, namun lebih dikenal sebagai Charles V, sesuai nomor regnalnya sebagai Kaisar Romawi Suci). Disamping penyatuan tersebut, wilayah dua takhta tersebut memiliki fungsi yang sangat berbeda, dengan hukum berlawanan, prioritas kekuasaan, dan perlakuan terhadap umat Islam.[11] Terdapat juga umat Islam yang tinggal di Kerajaan Navarra, yang awalnya independen namun dianeksasi oleh Kastila pada 1515.[12] Pemindahan agama paksa beragam dalam linimasa oleh badan pemerintahan: tindakan tersebut diberlakukan oleh Takhta Kastila pada 1500–1502, di Navarra pada 1515–1516, dan oleh Takhta Aragon pada 1523–1526.[1]

Di Takhta Kastila

Kerajaan Granada

Kerajaan Granada (merah) dalam Takhta Kastila (batas hitam)

Upaya awal untuk memaksa pemindahan agama umat Islam Spanyol dimulai oleh Kardinal Cisneros, uskup agung Toledo, yang datang ke Granada pada musim gugur tahun 1499.[13] Berseberangan dengan uskup agung Granada sendiri, Hernando de Talavera, yang memiliki hubungan bersahabat dengan penduduk Muslim dan menyerukan kesepakatan damai terhadap pemindahan agama,[14] Cisneros mengadopsi tindakan yang keras dan otoritarian.[14] Ia mengirim umat Islam yang tak kooperatif, khususnya para bangsawan, ke penjara di tempat mereka diperlakukan buruk (termasuk laporan penyiksaan) sampai mereka berpindah agama.[15][16] Cisneros menghiraukan peringatan dari dewannya bahwa metode-metode tersebut dapat melanggar Traktat Granada, yang menjamin kebebasan beragama Muslim.[15] Meskipun demikian, ia memuluskan upayanya. Pada bulan Desember, ia menulis surat kepada Paus Aleksander VI bahwa ia memindahkan agama 3.000 Muslim dalam satu hari.[15]

Pemindahan agama paksa berujung pada serangkaian pemberontakan, yang awalnya timbul di kota Granada. Pemberontakan tersebut ditimbulkan oleh pembunuhan orang yang membawa wanita Muslim untuk diinterograsi di wilayah Muslim Granada. Peristiwa tersebut berakhir dengan negosiasi. Setelah itu, umat Islam mengerahkan senjata mereka dan menghampiri orang-orang yang bertanggung jawab atas pembunuhan tersebut.[17] Kemudian, Cisneros mendorong Raja Ferdinand dan Ratu Isabella agar melalui upaya pemberontakan tersebut, keduanya mencabut hak Muslim dalam traktat, dan kini harus menerima pemindahan agama.[17][18] Para penguasa mengirim Cisneros kembali ke Granada untuk memimpin kampanye pemindahan agama yang baru.[17][18] Muslim di kota tersebut dipaksa berpindah agama dalam jumlah besar – 60.000 menurut Sri Paus, dalam sebuah surat kepada Cisneros pada Maret 1500.[18] Cisneros mendeklarasikan pada Januari tahun 1500 bahwa "tidak ada orang di kota tersebut yang bukan orang Kristen."[17]

Meskipun kota Granada kini berada di bawah kekuasaan Kristen, pemberontakan menyebar ke wilayah sekitar. Pemimpin pemberontakan kabur ke pegunungan Alpujarra pada Januari 1500. Khawatir mereka juga akan dipaksa untuk berpindah agama, penduduk di sana dengan cepat menyatakan pemberontakan.[19] Namun, usai serangkaian kampanye pada tahun 1500–1501 kala 80.000 pasukan Kristen dikerahkan dan Raja Ferdinand sendiri mengarahkan beberapa operasi, pemberontakan tersebut berhasil ditumpaskan.[20][19] Syarat penyerahan diri para pemberontak yang kalah umumnya mengharuskan mereka untuk menerima pembaptisan.[19][21] Pada tahun 1501, tidak ada lagi satupun Muslim yang tak berpindah agama yang bertahan di Granada.[22]

Belahan Kastila lainnya

Tak seperti Muslim Granada, yang berada di bawah kekuasaan Muslim sampai tahun 1492, Muslim di belahan Kastila lain tinggal di bawah kekuasaan Kristen dari generasi ke generasi.[23] Usai pemindahan agama di Granada, Isabella memutuskan untuk mengeluarkan dekrit pemindahan agama atau pengusiran terhadap Muslim.[24] Kastila melarang Islam dalam legislasi tertanggal Juli 1501 di Granada, tetapi ini tak diberlakukan langsung.[22] Proklamasi tersebut dinyatakan pada 12 Februari 1502, di Sevilla (disebut sebagai "tanggal kunci" dari legislasi tersebut oleh sejarawan L. P. Harvey), dan kemudian secara lokal di kota lainnya.[22] Edik tersebut berdampak pada "seluruh kerajaan dan wilayah kekuasaan Kastila dan Leon".[22] Menurut edik tersebut, seluruh laki-laki Muslim berusia 14 tahun atau lebih, atau perempuan berusia 12 tahun atau lebih, harus berpindah agama atau meninggalkan Kastila pada akhir April 1502.[25] Baik Muslim kelahiran Kastila dan imigran ditujukan pada dekrit tersebut, tetapi para budak dikecualikan dalam rangka menghormati hak para pemilik mereka .[22] Edik tersebut menjustifikasi keputusan tersebut dengan menyatakan bahwa usai suksesnya pemindahan agama di Granada, mengizinkan Muslim di belahan Kastila lain akan memalukan, meskipun maklumat tersebut mengakui bahwa para Muslim ini bersikap damai. Edik tersebut juga menyatakan bahwa keputusan tersebut dibutuhkan untuk melindungi orang-orang yang menerima pemindahan agama dari pengaruh Muslim yang belum berpindah agama.[22]

Di atas kertas, edik tersebut memerintahkan pengusiran alih-alih pemindahan agama paksa, tetapi perintah tersebut melarang nyaris seluruh perpindahan tempat yang memungkinkan. Pada kenyataannya, otoritas Kastila lebih memilih Muslim untuk berpindah agama ketimbang berimigrasi.[26] Tetangga barat Kastila, Portugal, telah melarang Muslim sejak tahun 1497.[27] Perintah tersebut jelas-jelas melarang perpindahan ke wilayah tetangga lainnya, seperti Kerajaan-Kerajaan Aragon dan Valencia, Kepangeranan Catalonia, dan Kerajaan Navarre.[22] Dari tempat tujuan seberang laut yang memungkinkan, Afrika Utara dan wilayah Kekaisaran Utsmaniyah juga dilarang.[22] Edik tersebut mengizinkan perjalanan ke Mesir, yang kala itu dikuasai oleh Kesultanan Mamluk, tetapi hanya ada sedikit kapal yang berlayar antara Kastila dan Mesir pada masa itu.[28] Perintah tersebut menyatakan Viscaya di negara Basque sebagai satu-satunya pelabuhan tempat Muslim dapat berangkat, yang menandakan bahwa orang-orang dari selatan (seperti Andalusia) harus melakukan perjalanan ke seluruh penjuru semenanjung.[25] Edik tersebut juga menetapkan akhir April 1502 sebagai batas tanggal akhir. Setelah itu, Islam akan dilarang dan mereka yang menyembunyikan Muslim akan dihukum berat .[28] Edik berikutnya dikeluarkan pada 17 September 1502, melarang Muslim yang baru murtad untuk meninggalkan Kastila dalam dua tahun berikutnya.[25]

Sejarawan L.P. Harvey menulis bahwa dengan edik ini, "dengan cara yang ringkas dan dalam waktu yang singkat", keberadaan Muslim di bawah status Mudéjar telah berakhir.[28] Tak seperti di Granada, hanya ada sedikit catatan peristiwa yang masih ada, seperti pembaptisan massal, atau bagaimana pemindahan agama tersebut dilakukan.[28] Terdapat catatan perayaan Kristen menyusul pemindahan agama tersebut, seperti "perayaan bersama yang meriah" yang melibatkan adu banteng di Ávila.[28]

Di Navarra

Wilayah Navarra di selatan Pyrenees (merah) dianeksasi oleh Kastila pada 1515, sehingga memperluas pelarangan Islam oleh Kastila disana.

Ratu Navarra, Katarina de Foix (m. 1483–1517) dan suaminya Yohanes III tidak tertarik untuk melakukan pengusiran atau pemindahan agama paksa.[12] Kala Inkuisisi Spanyol datang ke Navarra pada akhir abad kelima belas dan mulai mengusik Muslim setempat, istana kerajaan Navarra memperingatkan mereka untuk berhenti.[12]

Namun, pada tahun 1512, Navarra diinvasi oleh Kastila dan Aragon.[12] Pasukan Spanyol pimpinan Raja Ferdinand dengan cepat merebut separuh wilayah Iberia, termasuk ibu kota Pamplona. Pada tahun 1513, ia diproklamasikan menjadi Raja.[12] Pada tahun 1515, Navarra resmi dianeksasi oleh Takhta Kastila sebagai salah satu kerajaannya.[12] Dengan penaklukan tersebut, edik pemindahan agama tahun 1501–1502 diberlakukan di Navarra, dan Inkuisisi ditugaskan untuk memberlakukannya.[12] Namun, tak seperti di Kastila, sedikit Muslim yang nampak menerima pemindahan agama.[12] Sejarawan Brian A. Catlos berpendapat bahwa kurangnya catatan pembaptisan dan tingkat penjualan lahan yang tinggi oleh Muslim pada tahun 1516 menandakan bahwa kebanyakan dari mereka telah meninggalkan Navarra untuk melarikan diri melalui Takhta Aragon ke Afrika Utara (Takhta Aragon kala itu kurang bersahabat dengan Muslim).[12] Beberapa orang juga bertahan pada masa perintah tersebut. Contohnya, pada tahun 1520, terdapat 200 Muslim di Tudela yang cukup kaya sehingga mereka tercatat dalam pendaftaran.[12]

Di Takhta Aragon

Takhta Aragon di Spanyol

Di samping menaungi pemindahan agama Muslim di wilayah Kastila pimpinan istrinya, Ferdinand II tak meluaskan pemindahan agama pada warga Aragon.[29] Raja-raja Aragon, termasuk Ferdinand, diwajibkan untuk menyatakan sumpah penahbisan untuk tak memaksa memindahkan agama warga Muslim mereka.[6] Ia mengulang sumpahnya dalam Cortes (majelis kewilayahan) pada tahun 1510. Sepanjang hidupnya, ia tak ingin melanggarnya.[30] Ferdinand wafat pada tahun 1516, dan digantikan oleh cucunya, Charles V, yang juga menyatakan sumpah yang sama pada penahbisannya.[30]

Gelombang pertama pemindahan agama paksa di Takhta Aragon terjadi selama Pemberontakan Persaudaraan. Pemberontakan yang menimbulkan sentimen anti-Muslim timbul di kalangan warga Kristen Valencia pada awal tahun 1520-an,[31] dan orang-orang yang aktif di dalamnya memaksa Muslim untuk menjadi Kristen di wilayah yang dikuasai oleh mereka.[32] Muslim bergabung dengan Takhta tersebut dalam meredam pemberontakan dan memainkan peran penting dalam banyak pertempuran.[32] Usai pemberontakan berhasil dipadamkan, Muslim menganggap pemindahan agama yang dipaksakan oleh para pemberontak tidaklah sah dan kembali ke kepercayaan mereka.[33] Kemudian, Raja Charles I (juga dikenal sebagai Charles V dari Kekaisaran Romawi Suci) memulai investigasi untuk menentukan keabsahan dari pemindahan agama tersebut.[34] Komisi yang ditugaskan untuk investigasi tersebut mulai bekerja pada bulan November tahun 1524.[35] Charles benar-benar menjunjung pemindahan agama tersebut, menempatkan orang-orang yang dipaksa pindah agama di bawah otoritas Inkuisisi.[34] Para pendukung keputusan tersebut berpendapat bahwa Muslim memiliki pilihan kala dikonfrontasi oleh para pemberontak: mereka dapat memilih menolak dan mati, tetapi kala menolaknya, menandakan bahwa pemindahan agama tersebut timbul dari kehendak bebas dan seharusnya masih berlaku.[32]

Pada saat yang sama, Charles berniat untuk melepaskan dirinya dari sumpah yang dinyatakan olehnya untuk melindungi Muslim.[36] Ia menulis kepada Paus Klemens VII pada tahun 1523 dan lagi pada 1524 untuk mendapatkan dispensasi tersebut.[36] Klemens awalnya menolak permintaan tersebut, tetapi pada bulan Mei tahun 1524, ia menerbitkan sebuah surat singkat kepausan yang membebaskan Charles dari sumpah tersebut dan meniadakannya dari seluruh sumpah palsu yang dapat timbul kala melanggarnya.[37] Sri Paus juga memberikan wewenang kepada inkuisisi untuk menekan para oposisi pada pemindahan agama mendatang.[37]

Pada tanggal 25 November 1525, Charles mengeluarkan sebuah edik yang memerintahkan pengusiran atau pemindahan agama Muslim yang tersisa di Takhta Aragon.[32][38] Mirip dengan kasus di Kastila, meskipun opsi pengasingan tertera di atas kertas, pada prateknya nyaris tak mungkin dilakukan.[34][39][40] Dalam rangka meninggalkan kerajaan tersebut, Muslim harus mendapatkan dokumentasi dari Siete Aguas di perbatasan barat Aragon, kemudian melakukan perjalanan darat di sepanjang Kastila untuk mencapai laut dari A Coruña di pantai barat laut.[34] Edik tersebut direncanakan berakhir pada 31 Desember di Kerajaan Valencia, dan 26 Januari 1526, di Aragon dan Catalonia.[34] Orang yang gagal datang pada waktunya akan dijadikan budak.[34] Edik berikutnya menyatakan bahwa mereka yang tidak pergi hingga tanggal 8 Desember harus menunjukkan bukti pembaptisan.[34][41] Muslim juga diperintahkan untuk "menyimak tanpa menjawab" ajaran-ajaran Kristen.[41]

Sejumlah kecil Muslim berhasil melarikan diri ke Prancis dan dari sana menuju Afrika Utara Muslim.[41] Beberapa orang memberontak melawan perintah tersebut – contohnya, sebuah pemberontakan pecah di Serra d'Espadà.[42] Pasukan Takhta Aragon meredam pemberontakan tersebut dalam sebuah kampanye yang meliputi pembunuhan 5.000 Muslim.[42] Setelah kekalahan dalam pemberontakan, seluruh Takhta Aragon kini berpindah ke agama Kristen.[43][38] Masjid-masjid dihancurkan, nama panggilan dan marga diubah, dan praktek agama Islam dipendam.[44]

Reaksi Muslim

Kripto-Islam

Sebuah potongan dari karya-karya Pemuda dari Arévalo, seorang penulis kripto-Muslim pada abad keenam belas.

Bagi orang-orang yang tak dapat berimigrasi, pindah agama adalah satu-satunya pilihan agar selamat.[45] Namun, orang-orang yang dipaksa berpindah agama beserta keturunan mereka (dikenal sebagai "Morisco") terus menerapkan Islam secara diam-diam.[45] Menurut Harvey, "bukti yang melimpah dan sangat banyak" mengindikasikan bahwa sebagian besar orang yang dipaksa berpindah agama menjadi Muslim diam-diam.[46] Bukti sejarah seperti tulisan-tulisan Muslim dan catatan-catatan Inkuisisi menguatkan bahwa mereka masih mempertahankan keyakinan agama mereka.[46][47] Generasi-generasi Morisco lahir dan wafat dalam iklim keagamaan tersebut.[48] Namun, orang yang baru berpindah agama juga ditekan untuk menerapkan Kekristenan, seperti menghadiri Misa atau menyantap makanan dan minuman yang dilarang dalam Islam.[45][49] Keadaan tersebut berujung pada bentuk Islam non-tradisional yang mengutamakan tujuan internal seseorang (niyat), alih-alih penerapan ritual dan hukum terbuka yang menjadi sifat pasti dari keyakinan seseorang.[48] Perpaduan atau praktek keagamaan tak pasti muncul dalam banyak catatan Morisco:[50] contohnya, karya-karya penulis Morisco Pemuda dari Arévalo dari 1530-an menyebut bahwa kripto-Muslim memakai ibadah Kristen sebagai pengganti ritual Islam biasa.[51] Ia juga menulis soal praktek salat jama'ah rahasia,[52] mengumpulkan para umat dalam rangka melakukan ziarah ke Makkah (walaupun tak jelas apakah perjalanan tersebut benar-benar tercapai),[52] tekad serta harapan di antara para Muslim rahasia untuk menerapkan kembali praktik Islam secara penuh sesegera mungkin.[53]

Fatwa Oran

Fatwa Oran adalah sebuah fatwa (pendapat hukum Islam) yang dikeluarkan pada tahun 1504 untuk mengatasi krisis perpindahan agama paksa tahun 1501–1502 di Kastila.[54] Fatwa tersebut dikeluarkan oleh ulama Maliki dari Afrika Utara, Ahmad ibn Abi Jum'ah, dan menjelaskan pelonggaran kewajiban-kewajiban syariat (hukum Islam),yang mengizinkan umat Islam untuk secara lahiriah mengikuti agama Kristen dan melakukan tindakan-tindakan yang biasanya dilarang ketika diperlukan untuk bertahan hidup.[55] Fatwa tersebut meliputi arahan-arahan pelonggaran untuk melakukan salat, zakat, dan wudu. Fatwa tersebut juga memberi tahu umat Islam bagaimana harus bertindak ketika diwajibkan untuk melanggar hukum Islam, seperti beribadah seperti orang Kristen, melakukan penistaan agama, atau mengkonsumsi daging babi dan khamar.[56] Fatwa tersebut tersebar luas di kalangan Muslim yang murtad dan keturunan mereka, dan salah satu terjemahan Aljamiado yang masih ada tertanggal 1564, 60 tahun usai fatwa asli dikeluarkan.[57] Harvey menyebutnya "dokumen teologi penting" untuk kajian Islam Spanyol usai pemindahan agama paksa sampai Pengusiran Morisco, sebuah deskripsi yang diulang oleh cendekiawan kajian Islam Devin Stewart.[54][55]

Imigrasi

Muslim yang berimigrasi menyusul edik di Aragon diwajibkan untuk mengambil dokumentasi di Siete Aguas di tenggara dan kemudian berjalan melalui rute darat menuju A Coruña di barat laut Kastila. Karena itu, metode menonjol tersebut amat sulit untuk dilaksanakan pada tanggal akhir yang diberlakukan. Pada akhirnya, umat Islam dari Aragon menerima pemindahan agama paksa.[34][39]

Pendapat utama para ulama Islam menyatakan bahwa seorang Muslim tidak boleh tinggal di sebuah wilayah yang penguasanya membuat pengamalan keagamaan yang sebenarnya menjadi tak memungkinkan.[58] Sehingga Muslim wajib hijrah kala mereka dapat melakukannya.[57] Bahkan, sebelum pemindahan agama paksa yang sistematis terjadi, para pemuka agama berpendapat bahwa umat Islam di wilayah Kristen akan mengalami tekanan langsung dan tidak langsung, dan menyebut imigrasi sebagai cara untuk melindungi agama dari pengikisan.[23] Ahmad al-Wansharis, ulama Afrika Utara pada zaman itu sekaligus otoritas utama umat Islam Spanyol,[59] menulis pada tahun 1491 bahwa berimigrasi dari wilayah Kristen ke Muslim merupakan hal yang wajib dilakukan di hampir setiap situasi.[23] Selain itu, ia menyatakan bahwa umat Islam yang bertahan akan mendapatkan hukuman berat dan memperkirakan bahwa mereka akan sementara masuk ke dalam neraka setelah kematian di akhirat.[60]

Namun, kebijakan otoritas Kristen umumnya menghalangi imigrasi semacam itu.[61] Kemudian, pilihan ini hanya diterapkan bagi kalangan orang kaya yang tinggal di dekat pesisir selatan, dan bahkan kemudian dengan kesulitan besar.[61] Contohnya, di Sierra Bermeja, Granada, pada tahun 1501, pilihan pengasingan ditawarkan sebagai alternatif dari pemindahan agama hanya untuk orang-orang yang membayar sepuluh dobla emas, yang kebanyakan warganya tak mampu memberikannya.[62][63] Pada tahun yang sama, para penduduk desa Turre dan Teresa dekat Sierra Cabrera di Almeria berjuang melawan militan Kristen dengan bantuan dari para penyelamat Afrika Utara mereka di Mojácar kala meninggalkan wilayah tersebut.[64] Warga Turre dikalahkan dan rencana pelarian berganti menjadi pembantaian. Warga Teresa hengkang, tetapi harta benda mereka, selain barang-barang yang dapat dimuatkan dalam perahu-perahu kecil mereka, ditinggalkan dan dirampas.[45]

Meskipun edik pemindahan agama di Kastila secara tersurat mengizinkan untuk berimigrasi, edik tersebut secara tersirat melarang nyaris seluruh tempat tujuan yang tersedia bagi penduduk Muslim Kastila, dan akibatnya "hampir seluruh" Muslim harus menerima pemindahan agama.[28] Di Aragon, Muslim yang ingin pergi diwajibkan pergi ke Kastila, melakukan perjalanan darat di sepanjang Kastila melalui Madrid dan Valladolid, dan akhirnya melalui perjalanan laut di pantai barat laut, semuanya dengan tenggat waktu yang ketat.[34] Ahli studi agama, Brian A. Catlos mengatakan bahwa imigrasi "bukanlah pilihan yang disediakan".[39] Sejarawan Spanyol, L. P. Harvey menyebut rute yang diwajibkan tersebut "tak masuk akal" dan "sangat sulit dicapai" sehingga pilihan pengasingan "pada prateknya nyaris tidak ada",[34] dan sejarawan, Sefardi Maurice Kriegel sepakat dengan berujar bahwa "pada prakteknya, mereka tak mungkin meninggalkan semenanjung tersebut".[40] Selain itu, sejumlah kecil Muslim melarikan diri ke Prancis, dan dari sana menuju Afrika Utara.[41]

Pemberontakan bersenjata

Kampanye pemindahan agama Kardinal Cisneros di Granada memicu Pemberontakan Alpujarras (1499–1501).[65][66] Pemberontakan tersebut berakhir dengan kemenangan royalis, dan para pemberontak yang kalah kemudian diwajibkan untuk pindah agama.[19][21]

Usai edik pemindahan agama di Aragon, Muslim juga mengangkat senjata, khususnya di tempat dengan wilayah pegunungan.[67] Pemberontakan bersenjata pertama terjadi di Benaguasil oleh Muslim dari kota itu dan wilayah sekitarnya.[68] Serangan awal royalis berhasil digagalkan, tetapi kota tersebut menyerah pada bulan Maret tahun 1526 usai dikepung selama lima pekan, mengakibatkan pembaptisan para pemberontak.[69] Pemberontakan yang lebih serius berkembang di Sierra de Espadan. Pemimpin pemberontak menyebut dirinya sebagai "Selim Almanzo", yang diambil dari nama Almanzor, seorang pemimpin Muslim pada puncak kekuasaan Muslim Spanyol.[67][70] Para Muslim bertahan selama berbulan-bulan dan memukul balik banyak penyerang.[71] Sampai pasukan royalis, yang terdiri dari 7.000 orang dengan kontingen Jerman yang terdiri dari 3.000 prajurit, akhirnya melakukan serangan sukses pada tanggal 19 September 1526.[72] Serangan tersebut berakhir dengan pembantaian 5.000 Muslim, termasuk orang tua dan wanita.[72][67] Para penyintas pembantaian tersebut kabur ke Muela de Cortes. Beberapa diantaranya kemudian menyerah dan dibaptis, sementara yang lainnya melarikan diri ke Afrika Utara.[73][67]

Orang yang tulus berpindah agama

Beberapa orang yang berpindah agama menjadi pengikut yang taat dalam keyakinan Kristen mereka. Cisneros berujar bahwa beberapa orang yang pindah agama memilih mati sebagai martir kala dituntut untuk menarik diri oleh para pemberontak Muslim di Granada.[74] Orang yang berpindah agama bernama Pedro de Mercado asal desa Ronda enggan ikut pemberontakan di Granada. Akibatnya, para pemberontak membakar rumahnya dan menculik para anggota keluarganya, termasuk istri dan putrinya.[74] Takhta kemudian membayarkannya ganti rugi atas kehilangannya.[74]

Pada tahun 1502, seluruh komunitas Muslim Teruel (bagian dari Aragon yang berbatasan dengan Kastila) berpindah agama secara massal ke agama Kristen, meskipun edik tahun 1502 untuk Muslim Kastila tak diberlakukan kepada mereka.[75] Harvey menyatakan bahwa mereka ditekan oleh warga Kastila di sepanjang perbatasan, tetapi sejarawan Trevor Dadson berpendapat bahwa perpindahan agama tersebut tidaklah dipaksakan, melainkan disebabkan oleh kontak selama berabad-abad dengan tetangga kristen mereka dan keinginan untuk mendapatkan status setara dengan umat Kristen.[76]

Kutipan

  1. ^ a b c d Harvey 2005, hlm. 14.
  2. ^ a b c Carr 2009, hlm. 40.
  3. ^ Harvey 1992, hlm. 9.
  4. ^ Carr 2009, hlm. 40–41.
  5. ^ Carr 2009, hlm. 52.
  6. ^ a b Harvey 2005, hlm. 85–86.
  7. ^ Carr 2009, hlm. 81.
  8. ^ Harvey 1992, hlm. 325.
  9. ^ Harvey 2005, hlm. 15–16.
  10. ^ Harvey 2005, hlm. 20.
  11. ^ Harvey 2005, hlm. 257.
  12. ^ a b c d e f g h i j Catlos 2014, hlm. 220.
  13. ^ Carr 2009, hlm. 57.
  14. ^ a b Harvey 2005, hlm. 27.
  15. ^ a b c Carr 2009, hlm. 58.
  16. ^ Coleman 2003, hlm. 6.
  17. ^ a b c d Carr 2009, hlm. 60.
  18. ^ a b c Harvey 2005, hlm. 31.
  19. ^ a b c d Carr 2009, hlm. 63.
  20. ^ Harvey 2005, hlm. 36.
  21. ^ a b Harvey 2005, hlm. 45.
  22. ^ a b c d e f g h Harvey 2005, hlm. 57.
  23. ^ a b c Harvey 2005, hlm. 56.
  24. ^ Edwards 2014, hlm. 99.
  25. ^ a b c Edwards 2014, hlm. 100.
  26. ^ Harvey 2005, hlm. 56–57.
  27. ^ Harvey 2005, hlm. 15.
  28. ^ a b c d e f Harvey 2005, hlm. 58.
  29. ^ Harvey 2005, hlm. 29.
  30. ^ a b Harvey 2005, hlm. 86.
  31. ^ Harvey 2005, hlm. 92.
  32. ^ a b c d Harvey 2005, hlm. 93.
  33. ^ Lea 1901, hlm. 71.
  34. ^ a b c d e f g h i j Harvey 2005, hlm. 94.
  35. ^ Lea 1901, hlm. 75.
  36. ^ a b Lea 1901, hlm. 83.
  37. ^ a b Lea 1901, hlm. 84.
  38. ^ a b Catlos 2014, hlm. 226.
  39. ^ a b c Catlos 2014, hlm. 227.
  40. ^ a b Harvey 2005, hlm. 99.
  41. ^ a b c d Lea 1901, hlm. 87.
  42. ^ a b Harvey 2005, hlm. 99–100.
  43. ^ Harvey 2005, hlm. 101.
  44. ^ Catlos 2014, hlm. 226–227.
  45. ^ a b c d Harvey 2005, hlm. 49.
  46. ^ a b Harvey 2006.
  47. ^ Harvey 2005, hlm. 102,256.
  48. ^ a b Rosa-Rodríguez 2010, hlm. 153.
  49. ^ Harvey 2005, hlm. 52.
  50. ^ Rosa-Rodríguez 2010, hlm. 153–154.
  51. ^ Harvey 2005, hlm. 185.
  52. ^ a b Harvey 2005, hlm. 181.
  53. ^ Harvey 2005, hlm. 182.
  54. ^ a b Harvey 2005, hlm. 60.
  55. ^ a b Stewart 2007, hlm. 266.
  56. ^ Harvey 2005, hlm. 61–62.
  57. ^ a b Harvey 2005, hlm. 64.
  58. ^ Harvey 2005, hlm. 63–64.
  59. ^ Stewart 2007, hlm. 298.
  60. ^ Hendrickson 2009, hlm. 25.
  61. ^ a b Harvey 2005, hlm. 48.
  62. ^ Carr 2009, hlm. 65.
  63. ^ Lea 1901, hlm. 40.
  64. ^ Harvey 2005, hlm. 48–49.
  65. ^ Lea 1901, hlm. 33.
  66. ^ Carr 2009, hlm. 59.
  67. ^ a b c d Harvey 2005, hlm. 100.
  68. ^ Lea 1901, hlm. 91.
  69. ^ Lea 1901, hlm. 91–92.
  70. ^ Lea 1901, hlm. 92.
  71. ^ Lea 1901, hlm. 93–94.
  72. ^ a b Lea 1901, hlm. 94.
  73. ^ Lea 1901, hlm. 95.
  74. ^ a b c Carr 2009, hlm. 64.
  75. ^ Harvey 2005, hlm. 82.
  76. ^ Dadson 2006.

Daftar pustaka

Kembali kehalaman sebelumnya