Pemilihan umum Wali Kota Depok 2005
Pemilihan Umum Wali Kota Depok 2005 (Nama lain: Pemilihan Umum Kepala Daerah Kota Depok 2005, Akronim: Pemilukada Depok 2005) adalah pemilihan umum kepala daerah pertama dalam sejarah Kota Depok setelah memasuki masa reformasi yang bersamaan pelaksanaannya dengan pemilihan di Bantul, Denpasar, Gunung Kidul, Kendal, Magelang, Semarang, dan Tabanan, serta pemilihan gubernur di Jambi.[2][3] Pemilihan umum ini diikuti lima pasangan calon dengan masing-masing kandidat dipimpin oleh Abdul Wahab Abidin, Harun Heryana, Badrul Kamal, Yus Ruswandi, dan Nur Mahmudi Ismail.[4] Kelima pasangan calon ditetapkan oleh Komisi Pemilihan Umum Daerah Kota Depok pada 21 Mei 2005.[5] Pemilihan kepala daerah di Depok bertujuan untuk memilih Wali Kota dan Wakil Wali Kota Depok masa bakti 2005 hingga 2010. Akan tetapi, pelantikan pasangan calon terpilih tertunda selama sekitar lima bulan.[6] Pada akhirnya, wali kota dan wakil wali kota terpilih diangkat sumpah pada Januari 2006 dan menjabat untuk lima tahun. Pada awalnya, pelaksanaan pemilihan kepala daerah sempat diusulkan untuk ditunda dari tanggal yang semula 26 Juni 2005 menjadi diundur dua bulan.[7] Dari kelima pasangan calon, hanya Yus Ruswandi dan Sutadi Dipowongso saja yang mendukung wacana ini. Pihaknya berpandangan bahwa perlunya sosialisasi terkait pemilihan umum secara langsung, mengingat pada Pemilu 2004 dari jumlah pemilih sekitar 952.000 jiwa hanya 70% partisipasi pemilih dalam pemilihan umum pertama secara langsung di Indonesia ini. Pemilihan umum ini ditinjau Burton Lynn Pascoe yang saat itu menjabat Duta Besar Amerika Serikat untuk Indonesia.[8] Ia mengamati pihak yang berwenang, yakni Komisi Pemilihan Umum Daerah Kota Depok sebelum akhirnya melihat kondisi di tempat pemungutan suara di domisili kandidat wali kota nomor urut lima, Nur Mahmudi Ismail memilih. Selain dia, adapun pimpinan dan anggota Komisi II DPR RI yang melakukan kunjungan kerja di Depok. Beberapa di antaranya adalah Ferry Mursyidan Baldan dari Golkar selaku ketua komisi, Ahmad Chozin Chumaidy dari PPP, dan Sudarman.[9] CalonSesuai dengan konstitusi yang berlaku, mantan Wali Kota Badrul Kamal memiliki hak prerogatif untuk dicalonkan kembali untuk posisi tersebut. Selain Badrul, terdapat nama Nur Mahmudi Ismail yang didukung PKS.[10] Adapun koalisi yang terbentuk yang diinisiasi oleh PAN, yakni Koalisi Politik Masyarakat Depok atau dengan akronim KPMD yang menjaring beberapa nama politisi yang terdaftar sebagai bakal kandidat untuk jabatan wali kota, di antaranya Dede Yusuf, Didik J. Rachbini, hingga Gusti Randa, serta jabatan wakil wali kota, salah satunya Sutadi Dipowongso dari PDI-P.[11] Sutadi bersedia untuk dicalonkan untuk mendampingi Badrul, Hasbullah, Farkhan, juga birokrat di Depdagri, Ramses Hutagalung. Di internal Demokrat, terdaftar nama-nama, seperti Gagah Sunu Sumantri, Agung Witjaksono, dan Abdul Wahab Abidin dalam bursa pemilihan kepala daerah.[12] Setelah keluarnya PDI-P dari Koalisi Kebersamaan, Yus Ruswandi yang sebelumnya digadang-gadang kembali mendampingi Badrul akhirnya didorong menjadi calon wali kota.[13] Ia dipasangkan dengan Sutadi yang juga masuk ke dalam kandidat potensial calon wakil wali kota dari Koalisi Kebersamaan. Dari kandidat yang ada, terdapat empat kandidat yang pernah berkiprah sebagai pegawai negeri sipil yang berafiliasi dengan Golongan Karya di masa prareformasi, yaitu Harun Heryana, Badrul Kamal, Yus Ruswandi, dan Yuyun Wirasaputra. Akan tetapi, hanya Badrul yang diusulkan Golkar untuk berlaga dalam pemilihan ini. Kandidat dari Partai Demokrat
Partai Demokrat merupakan salah satu partai baru peserta Pemilu Legislatif 2004. Partai yang diinisiasi Susilo Bambang Yudhoyono ini meraih delapan kursi di DPRD Kota Depok. Di Depok, Demokrat sempat berkoalisi dengan Koalisi Kebersamaan hingga April 2005.[14] Setelahnya, partai membuka peluang para politisinya untuk mendaftar sebagai kandidat di pemilihan wali kota. Nama-nama yang muncul, antara lain Gagah Sunu Sumantri, Agung Witjaksono, dan Abdul Wahab Abidin.[12] Tidak hanya itu, para politisi yang terjaring dalam konvensi dilakukan uji kelayakan untuk diusung partai. Mereka di antaranya Badrul Kamal, Ilham Wijaya, Adi Kristiono, Niam Atmadja dari PKB, Harun Heryana, Quraisy dari PKB, A. T. Purnomo, Junaedi, dan Mansyursyah Abdullah.[15] Dari sekian nama hanya Mansyur yang tidak mengikuti uji kelayakan dari Demokrat. Kandidat potensial lainnya yang dipasangkan dan mengajukan diri ke Demokrat, yaitu Abdul Wahab Abidin bersama dengan Ilham Wijaya sebagai wakil, A. T. Purnomo yang disandingkan dengan Idris Mansyur, Adi Kristiono bersama dengan Bambang Eko, Gagah Sunu Sumantri berpasangan dengan Yulianto, dan kader eksternal, Hasbullah Rahmad dari PAN dengan Agung Witjaksono.[14] Pada April 2005, pasangan calon yang mendaftar ke Komisi Pemilihan Umum Daerah Kota Depok adalah Gagah sebagai kandidat wali kota dan Agung sebagai pendampingnya.[16] Akan tetapi, mereka tidak memenuhi syarat manakala partainya tidak memberi surat dukungan kepada mereka. Sebulan setelahnya, Demokrat di bawah kepemimpinan Subur Budhisantoso menetapkan Abdul Wahab Abidin dan Muhammad Ilham Wijaya untuk berkontestasi pada pemilihan ini.
Kandidat dari Koalisi Politik Masyarakat Depok
Kandidat dari Koalisi Kebersamaan
Dukungan untuk Badrul Kamal Dibentuknya Koalisi Kebersamaan yang beranggotakan Golkar, Demokrat, PDI-P, PKB, PPP, dan PDS, sebagai koalisi besar sebenarnya memperkuat mantan Wali Kota Depok Badrul Kamal untuk maju pada pemilihan umum kepala daerah ini. Ini menjadi pemilihan umum secara langsung pertama yang disertai Badrul setelah sebelumnya berhasil memenangkan pemilihan di tingkat DPRD Kota Depok bersama pendampingnya di pemerintahan, Yus Ruswandi. Beberapa nama diusulkan untuk menjadi pendampingnya, termasuk Yus untuk melanjutkan pemerintahan. Selain Yus, nama Muhammad Sutadi Dipowongso dari PDI-P juga diajukan menjadi wakil Badrul.[19] Pada 7 April 2005, Demokrat mundur dari koalisi setelah memutuskan memajukan kadernya sebagai kontestan pemilihan kepala daerah.[14] Demokrat mengklaim Badrul tidak mengutamakan kadernya untuk dicalonkan sebagai kandidat wakil wali kota sehingga partai menarik diri terhadap Badrul. Keluarnya Demokrat dari koalisi diikuti oleh tiga partai lainnya, yakni PDI-P, PPP, dan PDS setelah Badrul lebih memilih kader PKB, Syihabuddin Ahmad ketimbang Sutadi Dipowongso.[19] Manuver politik partai-partai koalisi menyisakan dua partai yang mendukung Badrul.[20]
Kandidat dari Koalisi Rakyat Bersatu
Dukungan untuk Yus Ruswandi Tiga partai peserta Koalisi Kebersamaan, PDI-P, PPP, dan PDS secara resmi keluar dari koalisi. Sebelumnya, nama Muhammad Sutadi Dipowongso dari PDI-P diajukan sebagai bakal kandidat wakil wali kota mendampingi Badrul. Partainya memutuskan untuk keluar dari koalisi setelah Badrul memilih Syihabuddin Ahmad dari PKB.[19] Lalu, PPP dan PDS turut mengikuti keputusan PDI-P dengan membentuk aliansi baru. Koalisi yang tergabung atas tiga partai ini mereka sebut sebagai Koalisi Rakyat Bersatu yang diasaskan pada 15 April 2005. Mantan Wakil Wali Kota Depok, Yus Ruswandi, kerap disandingkan dengan rekannya di pemerintahan, Badrul Kamal pun akhirnya dipilih koalisi untuk didukung sebagai calon wali kota bersama dengan Sutadi.[13] Kemudian, pasangan ini dideklarasikan dua hari setelah dibentuknya koalisi dengan Bernhard dari Pelopor sebagai ketua tim kampanye.[21] Kandidat yang populer dengan akronim "Yuspo" (akronim dari Yus dan Dipowongso) ini mengusung gagasan populis dengan meminimalisir angka pengangguran, subsidi biaya kesehatan, hingga pendidikan gratis.[22] Pada saat berkampanye, mereka mendapat dukungan dari akar rumput Demokrat dan pendukung Susilo Bambang Yudhoyono selama Pemilu Presiden 2004 meski secara resmi partai tersebut mendukung Abdul Wahab Abidin. Pada akhir Mei 2005, alat peraga kampanye milik pasangan calon ini sudah terpampang di beberapa ruas jalan di Depok yang berisi dukungan dari lembaga swadaya masyarakat meski kampanye dimulai pada awal bulan berikutnya.[23]
Kandidat dari Partai Keadilan Sejahtera
Dukungan untuk Nur Mahmudi
Menteri Kehutanan dan Perkebunan Indonesia di masa pemerintahan Abdurrahman Wahid, Nur Mahmudi Ismail yang diusulkan PKS untuk maju dalam kontestasi ini setelah sebelumnya terdapat lima kandidat potensial dari sepuluh nama teratas di pemilihan internal raya partai.[10] Pasangan calon ini membawa slogan "Coblos yang Senyum Nomor 5" pada spanduknya yang didominasi warna hitam dan kuning.[25]
Perhitungan suaraHitung cepat
Perhitungan resmi
KontroversiPemilih di Depok pada 2005 sempat mengalami kendala terkait pendataan daftar pemilih tetap yang ditetapkan oleh Komisi Pemilihan Umum Daerah Kota Depok.[28] Setidaknya sekitar 20 ribu masyarakat di atas 17 tahun atau sudah menikah belum terdata dalam daftar pemilih tetap akibat tidak dimutakhirkan data. PascapemilukadaPada 6 Juli 2005, kandidat nomor urut lima, Nur Mahmudi Ismail bersama wakilnya di pemilihan umum, Yuyun Wirasaputra ditetapkan oleh Komisi Pemilihan Umum Daerah Kota Depok sebagai wali kota dan wakil wali kota terpilih.[29] Atas hasil ini, pasangan calon nomor urut tiga, Badrul Kamal dan Syihabuddin Ahmad melayangkan gugatan ke Pengadilan Tinggi Jawa Barat pada tanggal 11 Juli 2005. Pada 4 Agustus 2005, pihak pengadilan mengesahkan kemenangan Badrul dan menganulir kemenangan Nur Mahmudi.[30][31] Pihaknya menyatakan bahwa putusan tersebut sah secara hukum dan aturan yang ada.[32] Merespons keputusan pengadilan, Nur Mahmudi berpendapat bahwa penetapan tersebut perlu dipertimbangkan kembali dan berharap agar Badrul tidak segera diangkat sumpah sebagai wali kota.[33] Bahkan, Nur Mahmudi menemui Menteri Dalam Negeri Mohammad Ma'ruf untuk merayu agar tidak mengindahkan ketetapan dari pengadilan.[34] Ma'ruf memutuskan tidak melantik Badrul apabila masih menghadapi sengketa pemilihan umum.[35] PKS menanggapi bahwa anulir tersebut adalah sebuah malapetaka.[36] PKS melalui juru bicaranya, Muhammad Razikun berpandangan bahwa ketetapan itu tidak sah atas nama hukum dan menuding pengadilan tidak sesuai dengan prosedur selama persidangan berlangsung.[37] Selain Razikun, Tifatul Sembiring menyarankan agar para hakim yang terlibat dalam putusan ditinjau oleh Komisi Yudisial.[38] Oleh karenanya, PKS mengadu ke Komisi Yudisial terkait para hakim yang dipimpin oleh Nana Juwana dinilai tidak profesional. Untuk memperkuat gugatan, Nur Mahmudi yang didampingi Yuyun, serta diikuti oleh pengacaranya, Adnan Buyung Nasution, menyerahkan dokumen ke Komisi Yudisial pada 24 Agustus 2005.[39] Tidak hanya pihak Nur Mahmudi, Panitia Pengawas Pemilihan Umum—sekarang Badan Pengawas Pemilihan Umum—pun senada dengan PKS bahwa putusan bertentangan dengan hukum.[40] Akibat dari vonis tersebut, simpatisan Nur Mahmudi menanggapinya dengan emosional mereka ekspresikan di depan Gedung Mahkamah Agung.[41] Walaupun rivalnya tidak terima, simpatisan Badrul menggelar demonstrasi sebagai bentuk simpatiknya kepada pilihan mereka. Sebagian dari mereka mengaku bahwa aksi tersebut telah terorganisir.[42] Mereka menuliskan beberapa tulisan di spanduk mereka dengan kalimat yang mengandung provokasi, seperti "PKS Jangan Sampai Berkuasa di Indonesia". Mengenai pelantikan Badrul dan Syihabuddin, Mahkamah Agung memberi nasihat hukum bahwa putusan dari Pengadilan Tinggi Jawa Barat sah menurut hukum yang berlaku meski penetapan dibacakan setelah 14 hari masa kerja sejak pengajuan permohonan gugatan oleh pihak Badrul.[43] Keputusan sememangnya diumumkan setidaknya pada tanggal 29 Juli 2005. Bagir Manan selaku Ketua Mahkamah Agung menyebut bahwa ketetapan pengadilan tidak dapat mengubah hasil yang telah diputuskan.[44] Akibat dari sengketa yang berlarut-larut, Ma'ruf memutuskan untuk mengangkat kembali Warma Sutarman dari posisinya sebagai penjabat wali kota.[6] Komisi Pemilihan Umum Daerah Kota Depok memohon kepada Mahkamah Agung agar putusan yang ada ditinjau kembali.[45] Pihaknya membantah adanya penyelewengan dalam perhitungan suara pemilihan wali kota. Bahkan, pihak penyelenggara pemilihan umum tersebut menggesa Mahkamah Agung agar mengutamakan peninjauan kembali, baik dari pihak Nur Mahmudi maupun KPUD. Namun, sebulan setelahnya, Mahkamah Agung menerima gugatan dari KPUD Kota Depok.[46] Nur Mahmudi menerima terkait dicanangkannya sebuah kelompok hakim yang akan mendiskusikan mengenai peninjauan kembali: Apakah diterima atau tidaknya.[47] Pada akhirnya, peninjauan kembali dapat diterima dan Mahkamah Agung memvonis kemenangan Nur Mahmudi pada 16 Desember 2005.[48] Bahkan, rival Nur Mahmudi yang lain, seperti Demokrat, PBB, dan PBR, turut menyokong Mahkamah Agung.[49] Putusan tersebut dihargai mereka atas alasan demokrasi. Namun, vonis ini membuat simpatisan Badrul tidak terima. Mereka melakukan demonstrasi di depan Balai Kota Depok dan Kantor Departemen Dalam Negeri Indonesia.[50][51] Merespons hal tersebut, Badrul mengajukan gugatannya kepada Mahkamah Konstitusi sebagai jalur hukum yang terakhir.[52] Akan tetapi, Adnan Buyung berpandangan bahwa langkah Badrul tidak akan mengubah putusan Mahkamah Agung.[53] Pada 18 Januari 2006, Mahkamah Konstitusi secara perdana memproses uji materi yang diajukan oleh kubu Badrul.[54] Tetapi, saksi-saksi dari pihak Badrul yang dihadapkan kepada Mahkamah Konstitusi masih belum lengkap. Atas upaya hukum tersebut, Badrul menyambangi partai pengusungnya, Golkar, untuk turut serta mendukungnya menempuh proses hukum di Mahkamah Konstitusi.[55] Pada akhirnya, Mahkamah Konstitusi menetapkan untuk tidak anulir terhadap keunggulan perolehan suara Nur Mahmudi dan membatalkan seluruh gugatan Badrul.[56] Salah satu permohonan yang ditolak adalah diundurnya pelantikan bagi kandidat terpilih untuk memimpin Depok.[57] Pada 20 Januari 2006, pelantikan kandidat terpilih disidangkan di DPRD Kota Depok dengan diketuai oleh Naming Djamhari Bothin.[58] Masalah administrasi menjadi isu yang diangkat oleh Fraksi Golkar. Pihaknya bersikukuh agar pelantikan disesuaikan dengan putusan Mahkamah Konstitusi yang saat sidang digelar belum diputuskan.[59] Golkar menjadi satu-satunya fraksi di DPRD Kota Depok yang tidak menerima pelantikan Nur Mahmudi setelah sebelumnya terdapat Fraksi Amanat Nasional dan Fraksi Persatuan Bangsa.[60] Pascaputusan Mahkamah Konstitusi, pelantikan akhirnya dapat diterima oleh tiga fraksi tersebut, termasuk Golkar yang mengakui kekalahan Badrul.[61][62] Referensi
|