PembingkaianDalam ilmu sosial, pembingkaian (atau dikenal dalam bahasa Inggris: framing) terdiri atas serangkaian sudut pandang konsep dan teoretis tentang bagaimana individu, kelompok, dan organisasi masyarakat melihat dan menyampaikan kenyataan. Pembingkaian dapat terwujud dalam komunikasi atau pikiran antarpribadi. Frame-frame dalam pikiran terdiri atas penggambaran, interpretasi, dan penyederhanaan kenyataan. Frame-frame dalam komunikasi terdiri atas penyampaian frame di antara para pelaku yang berbeda.[1] Framing adalah komponen kunci sosiologi, kajian tentang interaksi sosial di antara para manusia. Framing adalah bagian utuh dari pemrosesan dan penyampaian data dalam keseharian. Teknik-teknik sukses framing dapat digunakan untuk mengurangi ambiguitas topik-topik yang tidak dapat dipahami dengan menghubungkan informasi sedemikian rupa sehingga para penerimanya dapat terhubung dengan apa yang sudah mereka ketahui. Dalam teori sosial, framing adalah skema interpretasi, sekumpulan anekdot dan stereotipe yang diandalkan oleh para individu untuk memahami dan merespons sebuah peristiwa.[2] Dengan kata lain, orang-orang membangun "filter-filter" serangkaian kejiwaan melalui pengaruh kebudayaan dan biologis. Kemudian, mereka menggunakan filter-filter ini untuk memahami dunia. Pilihan-pilihan yang kemudian mereka buat dipengaruhi oleh penciptaan frame mereka. Framing melibatkan konstruksi sosial dari fenomena sosial – oleh sumber-sumber media massa, pergerakan-pergerakan sosial atau politik, para pemimpin politik, atau organisasi dan para pelaku lainnya. Keterlibatan dalam komunitas bahasa tentunya memengaruhi persepsi individu mengenai makna yang dikaitkan dengan kata atau frasa. Secara politik, komunitas-komunitas bahasa periklanan, agama, dan media massa banyak diperebutkan, sedangkan framing dalam komunitas bahasa yang kurang dipertahankan mungkin berkembang[butuh rujukan]tanpa terasa dan secara alami melalui kerangka-kerangka waktu kultural, dengan lebih sedikit bentuk-bentuk perdebatan terbuka. Seseorang dapat memandang framing dalam komunikasi sebagai hal positif atau negatif tergantung pada hadirin dan jenis informasi yang disajikan. Framing dapat berada dalam bentuk emphasis frames, di mana dua atau lebih alternatif ekuivalen secara logis digambarkan dalam cara-cara (lihat framing effect) atau emphasis frames berbeda yang menyederhanakan kenyataan dengan berfokus pada himpunan bagian aspek-aspek relevan dari suatu situasi atau permasalahan.[1] Dalam kasus equivalence frames, informasi yang dihadirkan berdasarkan fakta-fakta yang sama, tetapi kerangka yang tempat ia disajikan berubah sehingga menciptakan persepsi yang bergantung pada referensi. Dampak framing dapat terlihat dalam jurnalisme: "frame" yang mengelilingi permasalahan dapat mengubah persepsi pembaca tanpa perlu mengubah fakta sebenarnya karena informasi yang sama digunakan sebagai dasarnya. Ini dilakukan melalui pilihan gambar-gambar dan kata-kata tertentu media untuk menutupi sebuah cerita (misalnya penggunaan kata fetus vs. kata bayi).[3] Dalam konteks politik atau komunikasi media-massa, frame menjelaskan pengemasan elemen retorik sedemikian rupa seperti untuk mendorong tafsiran tertentu dan untuk mengecilkan hati orang lain. Untuk tujuan politik, framing sering menyajikan fakta-fakta sedemikian rupa yang mengimplikasikan masalah yang memerlukan solusi. Para anggota partai politik berupaya untuk membingkai permasalahan sedemikian rupa sehingga membuat solusi untuk mendukung kecenderungan politik mereka sebagai tindakan yang paling tepat untuk situasi yang dihadapi.[4] Sebagai contoh: Saat kita ingin menjelaskan suatu peristiwa, pemahaman kita sering berdasarkan pada tafsiran (frame). Jika seseorang membuka dan menutup mata dengan cepat, kita menanggapi secara berbeda tergantung pada apakah kita menafsirkannya sebagai "physical frame" (mereka mengerjapkan mata) atau "social frame" (mereka berkedip). Mereka mengerjapkan mata mungkin karena butiran debu (menghasilkan ketidaksengajaan dan bukan reaksi berarti lainnya). Mereka berkedip mungkin dapat berarti tindakan sengaja dan penuh arti (misalnya untuk menyampaikan humor hingga persekongkolan). Para pengamat akan membaca peristiwa-peristiwa yang dilihat sebagai murni fisik atau dalam bingkai "alam" berbeda dari yang dilihat terjadi dengan frame-frame sosial. Namun, kita tidak melihat sebuah peristiwa dan menerapkan frame kepada peristiwa tersebut. Sebaliknya, para individu terus-menerus memproyeksikan frame interpretatif ke dunia sekitar mereka yang memungkinkan mereka untuk memahaminya; kita hanya menggeser frame-frame (atau menyadari kalau kita telah menerapkan frame secara kebiasaan) saat keganjilan membutuhkan pergeseran frame. Dengan kata lain, kita hanya menyadari frame-frame yang telah kita gunakan saat sesuatu memaksa kita untuk mengganti suatu frame dengan frame lainnya.[5][6] Meskipun beberapa menganggap framing sama dengan agenda setting, para ilmuwan lain menyatakan adanya perbedaan. Menurut artikel yang ditulis Donald H. Weaver, framing menyeleksi aspek-aspek tertentu dari permasalahan dan membuatnya lebih menonjol untuk memperoleh interpretasi tertentu dan penilaian-penilaian masalah, sedangkan agenda setting mengenalkan topik masalah untuk meningkatkan arti penting dan keterkaitannya.[7] Dalam penelitian komunikasiDalam komunikasi, framing menggambarkan bagaimana media berita membentuk opini publik. Tulisan Richard E. Vatz tentang penciptaan makna retoris secara langsung mengarah kepada framing, walaupun beliau hanya merujuknya sedikit. Intinya, pengaruh-pengaruh framing mengacu pada strategi-strategi sikap atau perilaku dan/untuk hasil yang ada tergantung bagaimana potongan informasi yang diberikan dibingkai dalam wacana publik. Dewasa ini, banyak volume jurnal-jurnal komunikasi ternama berisi naskah-naskah tentang frame media dan pengaruh-pengaruh framing.[8] Pendekatan-pendekatan yang digunakan dalam naskah-naskah tersebut secara umum dapat diklasifikasikan ke dalam dua kelompok: kajian framing sebagai variabel bebas dan kajian framing sebagai variabel terikat.[9] Awalnya biasanya berurusan dengan frame building (yaitu bagaimana frame-frame menciptakan wacana masyarakat mengenai sebuah masalah dan bagaimana frame-frame yang berbeda diangkat oleh para jurnalis) dan kemudian mengulas frame setting (yaitu bagaimana media framing memengaruhi pemirsa). Frame buildingPenelitian frame-building biasanya mengenali setidaknya tiga rangkaian utama pengaruh yang dapat memengaruhi cara jurnalis membingkai suatu masalah:
Erving Goffman menekankan peran konteks budaya sebagai pembentuk frame-frame saat beliau mengemukakan bahwa maksud frame mengandung akar-akar budaya.[2] Ketergantungan konteks frame-frame media ini telah digambarkan sebagai 'resonansi budaya'[11] atau 'kesetiaan naratif'.[12] Sebagai contoh, kebanyakan orang mungkin tidak menyadari frame dalam kisah-kisah tentang pemisahan gereja dan negara karena umumnya media tidak membingkai kisah-kisah tersebut dari sudut pandang agama.[13] Frame settingSaat masyarakat dihadapkan pada bingkai berita baru, mereka akan menerima konstruksi yang dibuat berlaku untuk sebuah masalah, tetapi secara signifikan mereka lebih mungkin untuk melakukannya saat mereka memiliki skema yang ada untuk konstruksi tersebut. Inilah yang disebut efek penerapan. Artinya, ketika frame-frame baru mengundang orang untuk menerapkan skema yang ada pada masalah, implikasi dari penerapan itu sebagian bergantung pada apa yang ada di dalam skema tersebut. Oleh karena itu, secara umum, lebih banyak pendengar mengetahui tentang permasalahan, lebih efektif frame-frame tersebut. Terdapat sejumlah level dan tipe pengaruh framing yang telah diteliti. Contohnya, para ilmuwan berfokus pada perubahan sikap dan tindakan, derajat kepentingan masalah yang dirasakan, keputusan pemungutan suara, dan pembentukan opini. Para ilmuwan lain tertarik pada proses-proses psikologis daripada penerapan. Misalnya, Iyengar[14] mengungkapkan bahwa berita tentang permasalahan sosial dapat memengaruhi tanggung jawab atribusi kausal dan pengobatan, pengaruh yang diamati dalam penilaian-penilaian dan respons kognitif pemimpin politik, atau ilmuwan lain melihat kepada efek framing terhadap gaya pemrosesan penilaian dan kompleksitas pikiran anggota pendengar mengenai permasalahan. Kajian-kajian frame setting juga membahas bagaimana frame-frame dapat memengaruhi bagaimana seseorang berpikir tentang masalah (kognitif) atau merasakan masalah (afektif).[15] Dalam penelitian komunikasi massaMedia berita membingkai semua butir berita dengan menekankan nilai-nilai tertentu, fakta-fakta, dan pertimbangan lainnya dan memberikan mereka dengan penerapan nyata yang lebih besar untuk membuat keputusan-keputusan terkait. Media berita mendukung definisi, tafsiran, evaluasi, dan rekomendasi khusus.[16][17] Landasan dalam penelitian komunikasiAnthropologis Gregory Bateson pertama kali mendefinisikan framing sebagai "ikatan spasial dan temporal dari serangkaian pesan-pesan interaktif" (dalam A Theory of Play and Fantasy, 1954, diproduksi kembali dalam buku Steps to an Ecology of Mind pada tahun 1972).[18] Sumber sosiologis penelitian media framingPenelitian media framing mempunyai akar psikologis dan sosiologis. Framing sosiologis berfokus pada "kata-kata, gambar-gambar, frasa-frasa, dan gaya presentasi" yang digunakan para komunikator saat menyampaikan informasi kepada penerima.[1] Penelitian frame-frame dalam penelitian media yang digerakkan secara sosiologis umumnya meneliti pengaruh "norma-norma dan nilai-nilai sosial, kendala-kendala dan tekanan-tekanan organisatoris, tekanan kelompok-kelompok kepentingan, rutinitas jurnalistik, dan orientasi-orientasi ideologis atau politis jurnalis" dalam frame-frame yang berada dalam konten media.[19] Todd Gitlin, dalam analisisnya tentang cara media berita meremehkan gerakan New Left siswa pada tahun 1960-an termasuk yang pertama meneliti frame-frame dari sudut pandang sosiologis. Gitlin menulis, frame-frame adalah "pola-pola tetap kognisi, tafsiran-tafsiran, dan presentasi pilihan [dan] menekankan ... [bahwa] sebagian besar tidak diucapkan dan diakui ... [dan] mengatur dunia bagi para jurnalis [serta] kami yang membaca pemberitaan mereka".[20] Sumber psikologis penelitian media framingPenelitian tentang frame-frame dalam media penelitian berbasis psikologi umumnya menguji pengaruh-pengaruh frame-frame media terhadap mereka yang menerimanya. Sebagai contoh, Iyengar menjelajahi pengaruh episodik dan tematik frame-frame berita terhadap atribusi tanggung jawab untuk permasalahan politik termasuk kejahatan, terorisme, kemiskinan, pengangguran, dan ketidaksetaraan ras.[21] Menurut Iyengar, frame berita episodik "mengambil bentuk studi kasus atau pemberitaan berorientasi acara dan menggambarkan permasalahan publik dalam ketentuan contoh-contoh konkret", dengan kata lain berfokus pada tempat spesifik dalam waktu khusus. Frame berita tematik "menempatkan permasalahan publik dalam beberapa konteks umum abstrak ... mengarah kepada hasil atau kondisi umum, contohnya menjelajahi kesamaan yang terjadi di sejumlah waktu dan tempat.[16][21] Iyengar menemukan bahwa kebanyakan laporan berita, contohnya kemiskinan, adalah laporan berita episodik. Kenyataannya, pada analisis konten enam tahun berita televisi, Iyengar menemukan bahwa penonton berita biasa akan dua kali lebih mungkin menjumpai laporan berita episodik daripada laporan berita televisi tematik tentang kemiskinan.[21] Selanjutnya, hasil-hasil percobaan menunjukkan para pemirsa yang lebih dari dua kali menonton liputan berita episodik kemiskinan lebih mungkin mengaitkan tanggung jawab kemiskinan kepada masyarakat miskin itu sendiri alih-alih masyarakat umum daripada pemirsa yang menonton liputan berita tematik kemiskinan.[21] Berkaitan dengan keunggulan framing episodik tentang kemiskinan, Iyengar memperdebatkan bahwa berita televisi mengalihkan tanggung jawab kemiskinan dari pemerintah dan masyarakat ke orang miskin itu sendiri.[21] Setelah meneliti analisis konten dan data percobaan terhadap permasalahan politik dan kemiskinan, Iyengar menyimpulkan bahwa frame-frame berita episodik mengalihkan atribusi tanggung jawab politik warga negara dari masyarakat dan para elit politik, memungkinkan mereka lebih sedikit mendukung upaya-upaya pemerintah untuk mengatasi masalah-masalah itu dan mengaburkan hubungan-hubungan di antara permasalahan tersebut dan tindakan-tindakan resmi terpilih mereka atau kekurangannya.[21] Visual FramingVisual framing mengacu pada proses penggunaan gambar-gambar untuk menggambarkan bagian-bagian tertentu dari kenyataan.[22] Visual dapat digunakan untuk mewujudkan makna di samping framing tekstual. Bentuk teks dan bentuk visual berfungsi paling baik secara bersamaan.[23] Kemajuan dalam teknologi berbasis layar dan cetak telah menghasilkan penggabungan dua bentuk tersebut dalam penyebaran informasi. Karena tiap-tiap bentuk punya batasannya, mereka paling bagus digunakan bersama dan saling dikaitkan dalam membentuk makna. Gambar-gambar lebih disukai daripada teks karena membutuhkan lebih sedikit muatan kognitif dan lebih sedikit membosankan daripada kata-kata.[22] Dari sudut pandang psikologis, gambar-gambar mengaktifkan sel-sel saraf pada mata untuk mengirim informasi ke otak. Gambar-gambar juga memiliki nilai atraksi tinggi dan dapat membangkitkan daya tarik emosional yang lebih kuat. Dalam konteks framing, gambar-gambar dapat mengaburkan fakta-fakta dan permasalahan dalam usaha untuk membingkai informasi. Visual-visual terdiri dari alat-alat retoris seperti metafora, penggambaran, dan simbol-simbol untuk menggambarkan adegan atau konteks peristiwa secara grafis dalam upaya untuk membantu kita memahami lebih baik dunia di sekitar kita. Gambar-gambar dapat memiliki keterkaitan satu per satu antara apa yang ditangkap kamera dan representasinya di dunia nyata. Bersamaan dengan meningkatkan pemahaman, visual juga dapat meningkatkan tingkat penyimpanan dan membuat informasi lebih mudah untuk diingat. Karena sifat gambar yang seimbang, aturan-aturan tata bahasa tidak berlaku. Menurut para peneliti,[22] framing tercermin dalam empat model tingkatan yang mengidentifikasi dan menganalisis frame-frame visual sebagai berikut: visual-visual sebagai sistem denotatif, visual-visual sebagai sistem semiotika-stilistika, visual-visual sebagai sistem konotatif, dan visual sebagai perwakilan ideologis. Para peneliti berhati-hati agar tidak hanya mengandalkan gambar-gambar untuk memahami informasi. Karena gambar-gambar lebih banyak memegang kekuatan dan lebih terkait pada kenyataan, kita dapat mengabaikan potensi manipulasi dan pembabakan dan salah menganggap ini sebagai bukti. Gambar-gambar dapat menjadi perwakilan ideologi dengan memastikan prinsip-prinsip dasar yang membentuk atribut-atribut dasar kita dengan mengombinasikan simbol dan fitur gaya gambar ke dalam proses penafsiran koheren. Suatu penelitian menunjukkan visual framing menonjol dalam liputan berita, terutama dalam kaitannya terhadap politik.[24] Gambar-gambar yang bermuatan emosi dipandang sebagai alat menonjol untuk membingkai pesan-pesan politik. Visual framing bisa menjadi efektif dengan menaruh penekanan dalam aspek spesifik sebuah masalah, taktik yang biasa digunakan dalam penggambaran berita konflik dan perang dikenal sebagai empathy framing. Visual framing yang memiliki daya tarik emosional bisa dibilang lebih menonjol. Tipe framing ini dapat diterapkan ke konteks lain, termasuk atletik-atletik dalam kaitannya dengan disabilitas atletik.[25] Visual framing dalam konteks ini dapat menafsirkan kembali sudut pandang tentang ketidakmampuan atletik dan fisik, suatu stereotipe media yang sudah ada sebelumnya. Mengklarifikasi dan membedakan "paradigma retak"Kemungkinan karena penggunaannya dalam lintas ilmu-ilmu sosial, frame telah ditetapkan dan digunakan dalam banyak cara yang terpisah. Entman menyebut framing "konseptualisasi yang menyebar" dan "paradigma retak" yang "sering ditetapkan secara begitu saja dengan banyak diserahkan kepada pemahaman diam-diam yang diasumsikan pembaca".[16] Dalam upaya menyediakan lebih banyak kejelasan konseptual, Entman menunjukkan bahwa frame-frame "memilih beberapa aspek kenyataan yang dirasakan dan membuatnya lebih menonjol dalam teks berkomunikasi sedemikian rupa sehingga mendorong definisi masalah tertentu, penafsiran kausal, evaluasi moral, dan/atau rekomendasi perawatan untuk barang yang digambarkan".[16] Konseptualisasi framing Entman[16] yang menyebutkan frame-frame bekerja dengan mengangkat potongan-potongan tertentu dalam arti penting, berada sejalur dengan penelitian awal tentang dasar-dasar psikologis framing effect (lihat juga Iyengar[21] yang memperdebatkan jika aksesbilitas adalah penjelasan utama psikologis untuk keberadaan pengaruh-pengaruh framing). Wyer dan Srull[26] menjelaskan susunan aksesibilitas sebagai berikut.
Argumen yang mendukung aksesibilitas sebagai proses psikologis yang mendasari dapat diringkas sebagai berikut: Karena masyarakat sangat mengandalkan media berita untuk informasi peristiwa-peristiwa publik, informasi yang paling mudah diakses tentang peristiwa-peristiwa publik sering hadir dari peristiwa-peristiwa publik yang mereka konsumsi. Argumen ini juga disebut sebagai dukungan dalam debat mengenai apakah framing harus dimasukkan oleh teori agenda-setting sebagai bagian level kedua dari agenda setting. McCombs dan para peneliti agenda-setting lainnya secara umum setuju jika framing harus digabungkan bersama priming, di bawah ruang lingkup agenda setting sebagai model kompleks efek-efek media yang menghubungkan produksi media, konten, dan efek-efek pemirsa.[27][28][29] Tentu saja, McCombs, Llamas, Lopez-Escobar, dan Rey membenarkan percobaan mereka untuk menggabungkan penelitian framing dan agenda-setting dengan asumsi penghematan.[29] Namun, Scheufele membantah bahwa tak seperti agenda setting dan priming, framing tidak bersandar sepenuhnya terhadap aksesibilitas sehingga tidak tepat untuk menggabungkan framing dengan agenda seeting dan priming untuk kepentingan penghematan.[19] Bukti-bukti empiris kelihatannya mempertahankan klaim Scheufele. Sebagai contohnya, Nelson, Clawson, dan Oxley secara empiris menunjukkan bahwa penerapan adalah kuncinya, alih-alih ciri khas.[17] Mengukur aksesibilitas dalam ketentuan-ketentuan latensi jawaban-jawaban responden yang hasil-hasil informasinya lebih mudah diakses dalam waktu-waktu respons yang lebih cepat, Nelson, Clawson, dan Oxley menunjukkan bahwa aksesibilitas diperhitungkan hanya untuk proporsi kecil terhadap perubahan dalam efek-efek framing, sementara penerapan diperhitungkan untuk perubahan proporsi besar.[17] Akan tetapi, menurut Nelson dan rekan-rekan, "frame-frame memengaruhi pendapat dengan menekan nilai-nilai spesifik, fakta-fakta, dan pertimbangan-pertimbangan lain, memberikannya dengan relevansi nyata yang lebih besar terhadap masalah daripada yang tampaknya mereka miliki di bawah frame alternatif."[17] Dengan kata lain, ketika penelitian awal mengesankan bahwa dengan menyoroti aspek-aspek tertentu permasalahan, frame membuat pertimbangan tertentu lebih mudah diakses dan lebih mungkin digunakan dalam proses penilaian,[16][21] penelitian terkini mengesankan bahwa frame bekerja dengan membuat pertimbangan tertentu lebih mudah diterapkan dan lebih relevan pada proses penilaian.[17][19] Equivalency lawan emphasis: dua tipe frame dalam penelitian mediaChong dan Druckman mengacu penelitian framing memiliki fokus utama pada dua tipe frame: equivalency frames dan emphasis frames.[30] Equivalency frames mengesankan "frasa-frasa berbeda, tetapi ekuivalen secara logis", yang menyebabkan para individu mengubah pilihan mereka.[1] Equivalency frames sering diucapkan dalam istilah-istilah "keuntungan" versus "kekalahan". Contohnya, Kahneman dan Tversky meminta para pemirsa memilih di antara dua tanggapan kebijakan "gain-framed" terhadap hipotesis wabah penyakit yang diperkirakan membunuh 600 orang.[31] Respons A akan menyelamatkan 200 orang, Respons B memiliki sepertiga kemungkinan menyelamatkan semua orang, tetapi dua pertiga kemungkinan tidak menyelamatkan siapa-siapa. Para partisipan A sangat memilih Respons A yang dirasa lebih sedikit opsi berisikonya. Kahneman dan Tversky meminta para partisipan lain untuk memilih di antara dua respons kebijakan "loss-framed" ekuivalen terhadap wabah penyakit yang sama. Pada kondisi ini, Respons A akan membunuh 400 orang, Respons B memiliki sepertiga kemungkinan tidak membunuh siapa pun, tetapi dua pertiga kemungkinan membunuh semua orang. Walaupun pilihan-pilihan ini identik secara matematis dengan opsi yang diberikan dalam kondisi "gain-framed", para partisipan sangat memilih Respons B, opsi yang berisiko. Kemudian, Kahneman dan Tversky membuktikan bahwa saat diutarakan dalam istilah-istilah potential gains, masyarakat cenderung memilih opsi yang mereka rasa lebih sedikit risikonya (yaitu sure gain). Kebalikannya, saat dihadapkan dengan kerugian potensial, masyarakat cenderung memilih opsi yang berisiko.[31] Tak seperti equivalency frames, emphasis frames mengesankan "pertimbangan yang berbeda secara kualitatif, tetapi relevan secara potensial" yang digunakan para individu untuk membuat penilaian.[30] Perlu dicatat jika framing berbeda dengan agenda-setting. Emphasis framing mewakili perubahan dalam struktur komunikasi untuk membangkitkan skema kognitif tertentu. Agenda setting bergantung pada frekuensi atau keunggulan pesan-pesan permasalahan untuk memberi tahu masyarakat apa yang harus dipikirkan. Emphasis framing mengacu pada pengaruh struktur pesan dan agenda setting mengacu pada pengaruh kepentingan konten.[32] Contohnya, Nelson, Clawson, dan Oxley menampakkan pada para partisipan berita yang menampilkan rencana Ku Klux Klan untuk menjalankan rapat.[17] Para partisipan dalam suatu keadaan membaca berita yang membingkai isu tersebut dalam istilah masalah keamanan publik, sedangkan para partisipan dalam keadaan lain membaca berita yang membingkai isu tersebut dalam istilah pertimbangan kebebasan berbicara. Para peserta yang tertuju pada kondisi keamanan publik memandang penerapn keamanan publik untuk menentukan apakah Klan harus diperbolehkan untuk mengadakan rapat dan seperti yang diperkirakan, menunjukkan toleransi lebih rendah terhadap hak-hak Klan untuk mengadakan rapat.[17] Namun, para partisipan yang tertuju pada kondisi kebebasan berbicara memandang penerapan kebebasan berbicara untuk memutuskan apakah Klan perlu diizinkan untuk mengadakan rapat, seperti yang diperkirakan, menunjukkan toleransi lebih besar terhadap hak-hak Klan untuk mengadakan rapat.[17] Framing Dalam KeuanganPembalikan preferensi dan fenomena terkait lainnya memiliki relevansi yang lebih luas dalam ekonomi perilaku karena bertentangan dengan prediksi pilihan rasional, dasar ekonomi tradisional. Bias-bias framing memengaruhi keputusan investasi, peminjaman, membuat salah satu tema behavioral finance. Framing dalam psikologi dan ekonomiAmos Tversky dan Daniel Kahneman telah menunjukkan jika framing dapat sangat memengaruhi hasil akhir dari choice problems (yakni pilihan yang dibuat seseorang) sehingga sejumlah aksioma klasik dari pilihan rasional tidaklah benar.[33] Hal ini mengarah kepada perkembangan teori prospek.[34] Konteks atau framing of problems diangkat oleh hasil-hasil pembuat keputusan dalam bagian dari manipulasi ekstrinsik yang ditawarkan pilihan-pilihan keputusan, sekaligus dari paksaan-paksaan intrinsik pada para pembuat keputusan, misalnya norma-norma, kebiasaan-kebiasaan, dan perangai unik mereka. Desmonstrasi eksperimentalTversky dan Kahneman (1981) mendemonstrasikan secara sistematik saat masalah yang sama disajikan dalam cara-cara berbeda, misalnya pada masalah penyakit Asia. Para partisipan diminta untuk "membayangkan jika AS bersiap untuk wabah penyakit Asia tak biasa yang diperkirakan membunuh 600 orang. Dua program alternatif untuk melawan wabah penyakit telah diajukan. Simpulkan perkiraan ilmiah yang tepat dari konsekuensi program sebagai berikut." Kelompok partisipan pertama disajikan dengan pilihan di antara program-program: Dalam kelompok 600 orang,
72 persen partisipan lebih memilih program A (28% sisanya memilih program B). Grup partisipan kedua disajikan dengan pilihan sebagai berikut, yakni dalam kelompok 600 orang,
Dalam frame keputusan ini, 78% lebih memilih program D, dengan 22% sisanya memilih program C. Program A dan C identik, begitu pula program B dan D. Perubahan dalam frame penentuan di antara dua kelompok partisipan menghasilkan pembalikan preferensi: saat program-program disajikan dengan istilah penyelamatan nyawa, para partisipan lebih memilih program yang aman, A (= C). Saat program disajikan dalam istilah kematian yang diperkirakan, partisipan memilih risiko D (= B).[16] Pengaruh mutlak dan relatifPengaruh-pengaruh framing timbul karena seseorang dapat sering membingkai keputusan menggunakan banyak skenario mana yang mungkin mengungkapkan manfaat baik sebagai pengurangan risiko relatif (RRR), atau sebagai pengurangan risiko mutlak (ARR). Kendai ekstrinsik terhadap perbedaan-perbedaan kognitif (antara toleransi risiko dan antisipasi penghargaan) yang diangkat para pembuat keputusan dapat terjadi lewat mengubah presentasi risiko relatif dan keuntungan-keuntungan absolut. Umumnya, masyarakat lebih memilih keputusan mutlak yang melekat pada efek positif framing yang menawarkan jaminan perolehan. Saat opsi-opsi keputusan muncul dibingkai sebagai likely gain, pilihan-pilihan yang menolak risiko menonjol. Pergeseran terhadap tingkah laku pencari risiko terjadi saat pembuat keputusan membingkai keputusan dalam ketentuan-ketentuan negatif, atau mengangkat pengaruh negatif framing. Dalam pembuatan keputusan medis, framing bias paling baik dihindari dengan menggunakan ukuran mutlak kemanjuran.[35] Penelitian frame-manipulationPara peneliti menemukan bahwa masalah-masalah keputusan framing dalam sorotan positif umumnya menghasilkan pilihan yang lebih sedikit risikonya; dengan framing negatif permasalahan, cenderung lebih berisiko pilihannya.[33] Pada sebuah penelitian oleh para peneliti Dartmouth Medical School, 57% subjek memilih pengobatan saat disajikan dengan keuntungan-keuntungan dalam istilah-istilah relatif, sedangkan 14.7% memilih pengobatan yang keuntungannya disajikan dalam istilah-istilah mutlak. Lebih lanjut, pertanyaan pasien menunjukkan bahwa, karena subjek mengabaikan risiko pokok penyakit, mereka memandang manfaat menjadi lebih besar saat ditunjukkan dalam ketentuan-ketentuan relatif .[36] Model-model teoretisPara peneliti telah mengajukan bermacam-macam[30][37] model menjelaskan pengaruh framing.
NeuroimagingPara ahli saraf kognitif telah mengaitkan efek framing pada aktivitas saraf di amygdala dan mengidentifikasi bagian otak lain, korteks prefrontal (OMPFC) orbital dan medial yang muncul untuk memoderasi peran emosi terhadap keputusan. Menggunakan pencitraan resonansi magnetik fungsional (fMRI) untuk mengamati aktivitas otak selama tugas pembuatan keputusan, mereka mengamati aktivitas yang lebih besar di OMPFC dari subjek penelitian yang kurang rentan terhadap efek framing.[38] Dalam sosiologiTeori framing dan analisis frame memberikan pendekatan teoretis luas yang telah digunakan analis dalam kajian-kajian komunikasi, berita (Johnson-Cartee, 1995), politik, dan pergerakan sosial (di antara penerapan). Menurut Bert Klandermans, "konstruksi sosial frame-frame tindakan kolektif" melibatkan "wacana publik, yaitu antarmuka wacana media dan interaksi antarpersonal; komunikasi persuasif saat kampanye-kampanye oleh organisasi-organisasi pergerakan, para lawan dan organisasi kontra-gerakan mereka; dan peningkatan kesadaran selama episode tindakan kolektif".[39] SejarahWord-selection telah menjadi komponen retorik. Kebanyakan juru ulas menyematkan konsep framing terhadap kerja Erving Goffman mengenai analisis frame dan mengarahkan pada buku tahun 1974, Frame analysis: An essay on the organization of experience. Goffman menggunakan ide frame untuk melabeli "skemata interpretasi" yang membolehkan para individu atau kelompok "untuk meletakkan,melihat, mengidentifikasi, dan melabeli" peristiwa-peristiwa dan kejadian-kejadian, sehingga memberikan makna, mengatur pengalaman, dan membimbing tindakan.[40] Konsep framing Goffman berkembang dari karyanya pada tahun 1959, The Presentation of Self in Everyday Life, sebuah ulasan dari manajemen impresi. Karya-karya ini bisa dibilang bergantung pada konsep imej karya Kenneth Boulding.[41] Gerakan-gerakan sosialPara sosiologis telah memanfaatkan framing untuk menjelaskan proses pergerakan sosial.[12] Pergerakan bertindak sebagai pembawa kepercayaan dan ideologi (bandingkan meme), terlebih lagi, mereka berjalan sebagai bagian proses membangun makna untuk para partisipan dan penentang (Snow & Benford, 1988). Para sosiologis menganggap mobilisasi pergerakan massa "sukses" saat frame-frame yang diproyeksikan sejajar dengan frame partisipan untuk menghasilkan resonansi antara kedua pihak. Para peneliti framing membicarakan proses ini sebagai frame re-alignment. Frame-alignmentSnow dan Benford (1988) menganggap deretan frame (frame-alignment) sebagai elemen penting dalam pergerakan atau perpindahan sosial. Mereka memperdebatkan bahwa saat frame-frame individu terhubung dalam keselarasan dan saling melengkapi, "frame alignment" terjadi,[42] memproduksi "frame resonance", katalis dalam proses grup yang melakukan transisi dari sebuah frame ke frame lain (meskipun tidak semua upaya-upaya framing membuktikan kesuksesan). Persyaratan yang mempengaruhi atau memaksa upaya-upaya framing termasuk berikut ini.
Snow dan Benford (1988) mengusulkan bahwa begitu seseorang telah membangun frame-frame tepat seperti yang dijabarkan di atas, perubahan skala besar dalam masyarakat seperti kepentingan untuk pegerakan sosial itu dapat dicapai melalui frame-alignment. Tipe-tipeFrame-alignment muncul dalam empat bentuk: frame bridging, frame amplification, frame extension dan frame transformation.
Saat ini terjadi, pengamanan peserta dan dukungan membutuhkan nilai-nilai baru, makna-makna baru, dan pemahaman. Goffman (1974, hal. 43–44) menyebut hal ini "kunci", saat "para aktivis, peristiwa, dan biografi yang telah bermakna dari sudut beberapa framework utama, dalam ketentuan-ketentuan framework lain" (Snow dkk., 1986, hal. 474) sedemikian rupa sehingga mereka terlihat berbeda. Dua tipe transformasi frame berwujud
Sebagai kritik retorikWalaupun pemikiran language-framing telah dijelajah sebelumnya oleh Kenneth Burke (saringan-saringan terministik), peneliti komunikasi politik Jim A. Kuypers pertama kali menerbitkan karya analisis frame (framing analysis) terdahulu sebagai sudut pandang retorik dalam 1997. Pendekatannya dimulai secara induktif dengan mencari tema-tema yang bertahan sepanjang waktu dalam sebuah teks (bagi Kuypers, utamanya narasi berita terhadap masalah atau peristiwa) dan kemudian menentukan bagaimana tema-tema tersebut dibingkai. Penelitian Kuypers diawali dengan asumsi bahwa frame adalah entitas retorik kuat yang "menyebabkan kita menyaring persepsi kita terhadap dunia dalam cara yang khusus, pada dasarnya membuat beberapa aspek kenyataan multi-dimensional kita lebih terlihat daripada aspek lainnya. Frame berjalan dengan membuat beberapa informasi lebih menonjol daripada informasi lainnya...."[43] Pada esainya tahun 2009 "Framing Analysis" dalam Rhetorical Criticism: Perspectives in Action[44] dan esainya tahun 2010 "Framing Analysis as a Rhetorical Process",[45] Kuypers memberikan konsep detail untuk melakukan analisis framing dari sudut pandang retorika. Menurut Kuypers, "Framing adalah proses saat para komunikator secara sadar ataupun tidak, bertindak untuk membangun sudut pandang yang mendorong fakta-fakta situasi tertentu untuk ditafsirkan oleh orang lain dengan cara tertentu. Frame-frame bekerja dalam empat cara kunci: mendefinisikan masalah, mendiagnosis masalah, membuat pertimbangan moral, dan menyarankan pengobatan. Frame-frame sering ditemukan dalam akun narasi sebuah isu atau peristiwa dan umumnya pusat ide pengorganisasian."[46] Penelitian Kuypers berdasarkan pada premis bahwa framing adalah proses retoris dan karenanya paling bagus diteliti dari sudut pandang retoris. Menyembuhkan masalah bukanlah retoris dan paling baik diserahkan kepada pengamat. Dalam wacana lingkunganSejarah aktivisme iklimAktivisme iklim secara teratur terbentuk dan terbentuk kembali oleh dialog pada tingkat lokal, nasional, dan internasional berkaitan dengan perubahan iklim sekaligus oleh nilai-nilai dan norma-norma masyarakat. Diawali dengan pergerakan transendental pada abad 19 ketika Henry David Thoreau menulis novel On Walden Pond merinci pengalamannya dengan lingkungan alam dan ditambah oleh karya transendental lainnya seperti Ralph Waldo Emerson, aktivisme iklim telah mengambil banyak bentuk. John Muir, yang juga dari akhir abad 19, menyarankan pelestarian Bumi untuk kepentingannya sendiri, membangun Sierra Club. Kumpulan esai Aldo Leopold tahun 1949, A Sand County Almanac, membentuk “etika tanah” dan telah mengatur tahap untuk etika lingkungan modern, menyerukan konservasi dan pelestarian alam dan hutan belantara. Silent Spring karya Rachel Carson yang diterbitkan pada 1962, mengungkapkan bahaya pestisida bagi kesehatan manusia dan lingkungan dan dengan berhasil menganjurkan enghentian penggunaan DDT. Konsep perubahan iklim dan kemudian ruang aktivisme berkaitan dengan iklim mulai berkembang pada tahun 1970-an. Hari Bumi pertama berlangsung pada 22 April, 1970. Dekade-dekade berikutnya menjadi saksi berdirinya Greenpeace, Earth First!, Program Lingkungan PBB (UNEP), dan Konvensi Kerangka Kerja PBB terhadap Perubahan Iklim (UNFCCC). Dokumen-dokumen iklim penting dalam 30 tahun terakhir di antaranya termasuk "Rio Declaration", "Kyoto Protocol", "Paris Climate Agreement", dan "Global Youth Climate Action Declaration". Yang terbaru, Peoples’ Climate March dan Global Climate Strike telah berkembang menjadi peristiwa-peristiwa yang dihadiri oleh berjuta-juta warga sipil dan aktivis seluruh dunia setiap tahun. Aktivitas iklim telah dihidupkan kembali oleh pemberontakan kaum muda di garis depan dialog dan advokasi. Greta Thunber, seorang wanita muda asal Swedia menginisiasi Fridays for Future yang kini memiliki cabang aktif di sejumlah negara di seluruh dunia. Grup iklim aktif lainnya yang dipimpin oleh pemuda termasuk di antaranya Extinction Rebellion, Sunrise Movement, SustainUS, Global Youth Climate Action Declaration (GYCAD), ZeroHour, bekerja di tingkat lokal dan lintasnegara. Motivasi dan dukungan individuMotivasi individu untuk mengatasi perubahan iklim adalah landasan mengenai dibangunnya tindakan kolektif. Proses-proses pembuatan keputusan diinformasikan oleh segudang faktor termasuk nilai-nilai, kepercayaan, dan tingkah laku normatif. Di Amerika Serikat, para individu paling efektif dimotivasi untuk mendukung kebijakan perubahan iklim ketika frame kesehatan publik digunakan. Frame ini mengurangi rasa ambiguitas dan disosiasi sering ditimbulkan oleh pembicaraan tentang pencairan lapisan es dan emisi karbon dengan menempatkan masalah iklim dalam konteks lokal untuk individu, baik di negara, negara bagian, atau kota mereka.[47] Perubahan iklim, sebagai masalah yang belum ditetapkan sebagai keyakinan normatif sering menjadi subjek perbedaan pendapat dalam menghadapi aktivisme dan advokasi.[48] Para aktivis yang terlibat dalam advokasi akar rumput untuk memperoleh perilaku yang lebih pro-lingkungan dalam grup sosial mereka, bahkan mereka yang terlibat dalam konfrontasi halus adalah subjek terhadap reaksi negatif dan konsekuensi sosial di hadapan oposisi.[48] Selain itu, perubahan iklim memiliki kapasitas untuk ditetapkan sebagai isu moral karena efek antropogenik terhadap planet dan kehidupan manusia lainnya, tetapi ada hambatan psikologis terhadap dukungan perubahan iklim dan motivasi selanjutnya untuk bertindak dalam menanggapi keperluan akan intervensi.[49] Sebuah artikel dalam jurnal Nature Climate Change oleh Ezra Markowitz dan Azim Shariff menekankan enam tantangan psikologis, tercantum di bawah ini, yang ditimbulkan oleh perubahan iklim pada sistem penilaian moral manusia.[49]
Dire MessagingAktivisme iklim menyatakan dirinya melalui berbagai ekspresi. Suatu aspek framing perubahan iklim yang umumnya dikenali adalah dire messaging yang telah dikritik sebagai penggelisah dan pesimistik, mengakibatkan penolakan pesan berbasis bukti.[50] Teori just-world yang mendukung gagasan bahwa beberapa individu harus bergantung pada pengandaian mengenai dunia yang adil untuk mendukung keyakinan. “Penelitian mengenai teori dunia yang adil telah menunjukkan bahwa saat kebutuhan para individu mempercayai dunia adil terancam, mereka biasanya menggunakan tanggapan defensif, seperti penolakan atau rasionalisasi informasi yang mengancam keyakinan dunia adil mereka”.[50] Dalam kasus perubahan iklim, gagasan dire messaging sangat penting untuk memahami apa yang memotivasi aktivisme. Contohnya, memiliki rasa takut perubahan iklim “dikaitkan pada ketidakmampuan diri untuk mencegahnya dapat mengakibatkan penarikan diri, sedangkan mempertimbangkan orang lain bertanggung jawab dapat mengakibatkan kemarahan".[51] Pada penelitian tahun 2017, ditemukan bahwa aktivis yang diwawancarai dari Global North merangkul rasa takut sebagai motivasi, tetapi “menekankan harapan, menolak rasa bersalahh, dan memperlakukan kemarahan dengan hati-hati". Para aktivis yang diwawancarai dari Global South mengindikasikan bahwa mereka “alih-alih lebih ketakutan, kurang harapan, dan lebih marah, menganggap rasa bersalah – tanggung jawab – ke negara-negara bagian utara. Perbedaan-perbedaan ini mungkin mengindikasikan pendekatan aktivis yang relatif terdepolitisasi terhaadap perubahan iklim di utara, sebagai lawan dari pendekatan yang lebih terpolitisasi di selatan”.[51] Penelitian tahun 2017 menunjukkan bahwa rasa takut memotivasi aksi lewat meningkatkan kesadaran ancaman bencana iklim. Potensi rasa takut yang melumpuhkan dimediasi oleh harapan: harapan mendorong aksi, sementara aksi kolektif menghasilkan harapan sembari mengelola rasa takut. Kapasitas waspada bahaya rasa takut dirangkul "secara internal", tetapi ditolak sebagai emosi efektif dalam memotivasi khalayak untuk berpindah.[51] Peneliti telah menunjukkan bahwa dire messaging mengurangi kemanjuran inisiatif advokasi melalui demotivasi individu, tingkat kepedulian yang lebih rendah, dan penurunan keterlibatan.[49] Positive framingPeneliti berpendapat bahwa prognostic framing—yang menawarkan solusi, strategi, target, dan taktik yang nyata—yang bergandengan dengan motivational framing paling mujarab dalam menggerakkan khalayak untuk bertindak.[12] Khususnya saat berkaitan dengan perubahan iklim, kekuatan psikologi positif menjadi jelas saat diterapkan oleh para aktivis dan orang lain yang menghasilkan intervensi-intervensi. Empat prinsip utama motivasi seperti yang dijelaskan oleh Positive Psychology adalah agency, compassion, resilience, dan purpose. Saat diterapkan pada aksi iklim, buku teks edisi keempat Psychology for Sustainability, lebih lanjut memperluas prinsip-prinsip ini karena berkaitan terhadap keberlanjutan dan sebagai katalis aksi:[52]
Harapan menambah rasa purpose dan agency, sekaligus meningkatkan ketahanan. Bagi para aktivis iklim, tidak mungkin memisahkan harapan dari ketakutan. Namun, saat mendekonstruksi harapan bahwa orang lain akan mengambil tindakan yang perlu, harapan dihasilkan melalui keyakinan pada kapasitasnya sendiri, menunjukkan bahwa “kepercayaan pada tindakan kolektif 'sendiri’ tampaknya menjadi inti dari harapan yang dibicarakan para aktivis”.[51] Selain itu, membuat hubungan antara tindakan iklim dan emosi-emosi positif seperti rasa syukur dan kebanggaan, peningkatan kesejahteraan subjektif, dn potensi untuk mempengaruhi memungkinkan para individu untuk melihat tindakan mereka sendiri untuk memperbaiki iklim sebagai cara yang bermanfaat dan berkelanjutan daripada menurunkan motivasi.[49] Pendekatan lain yang dibuktikan manjur adalah proyeksi masyarakat utopis dalam isu-isu mendesak yang telah diselesaikan, menawarkan narasi kreatif yang menuntun para individu dari masalah-masalah saat ini ke solusi masa depan dan mengizinkan mereka untuk memilih jadi jembatan antara keduanya. Pendekatan positif antargenerasi ini membangkitkan rasa semangat tentang tindakan iklim pada para individu dan menawarkan solusi kreatif yang dapat mereka pilih untuk ambil bagian di dalamnya.[52] Sebagai contoh, pengumuman layanan masyarakat yang berkaitan dengan perubahan iklim dapat dibingkai sebagai berikut. “Ini 2050, kendaraan elektrik Anda diparkir dan siap untuk pergi di sebelah rumah nol emisi Anda, tetapi Anda memilih untuk mengambil sistem transit yang sangat cepat, efisien, hijau, dan bersih yang dapat diakses dari kebanyakan tempat di Amerika Serikat dan disubsidi untuk warga negara berpenghasilan rendah. Mungkin Anda tinggal di Pegunungan Appalachia di Virginia Barat, di mana industri batu bara digantikan oleh pusat-pusat besar untuk inovasi dan pekerjaan energi hijau. Anda dapat berpindah dengan mudan ke DC atau New York. Makanan Anda tumbuh secara lokal dan disalurkan lewat Koperasi Pertanian Perkotaan yang mendidik anak-anak mengenai cara menumbuhkan makanan, pentingnya pelokalan, dan cara menjadi lebih berkelanjutan.” Ideologi politikPara peneliti komunikasi politik mengangkat taktik framing sejak beredarnya retorika politik. Akan tetapi, kemajuan dalam teknologi telah menggeserkan saluran komunikasi yang mereka gunakan. Dari komunikasi oral, material tertulis, radio, televisi, dan yang paling terkini, media sosial telah memainkan peran menonjol dalam bagaimana politik dibingkai. Media sosial, secara khusus, mengizinkan para politik untuk mengomunikasikan ideologi mereka dengan pesan singkat dan tepat. Menggunakan kata-kata yang memicu emosional, berfokus terhadap menimbulkan rasa takut atau amarah, untuk mengubah cara pandang masyarakat tentang kebijakan yang difasilitasi dengan rentang perhatian pendek yang dibuat oleh media sosial ([53]). Dalam dekade-dekade terakhir, perubahan iklim telah begitu dipolitisasi dan sering menginisiatif untuk mengatasi atau mengonseptualisasi perubahan iklim cocok untuk satu kemungkinan, sementara sangat diperdebatkan oleh yang lain. Oleh karena itu, penting membingkai aktivitsme iklim dengan cara yang nyata untuk penonton, menemukan makna komunikasi sembari meminimalkan provokasi. Dalam konteks Amerika Serikat, kecenderungan kiri “liberal” berbagi nilai-nilai inti kepedulian, keterbukaan, kesederajatan, kebaikan kolektif, pemagaran toleransi untuk ketidakpastian atau ambiguitas, dan penerimaan perubahan', sedangkan kecenderungan kanan “konservatif” berbagi nilai-nilai inti keamanan, kemurnian, kestabilan, tradisi, hierarki sosial, perintah, dan individualisme.[52] Sebuah kajian memeriksa berbagai prediktor persetujuan publik untuk penggunaan energi terbarukan di bagian barat Amerika Serikat menggunakan tujuh macam frame dengan tujuan untuk menilai kemanjuran framing energi terbarukan. Frameworks neoliberal digemakan oleh para konservatif, seperti dukungan untuk ekonomi pasar bebas, diajukan terhadap intervensi aksi iklim yang secara inheren menempatkan kendala terhadap ekonomi bebas melalui dukungan energi terbarukan melalui subsidi atau pajak tambahan terhadap sumber-sumber energi tak terbarukan.[54] Dengan demikian, saat para aktivis iklim bercakap-cakap dengan para individu cenderung konservatif, akan menguntungkan untuk fokus terhadap framing yang tidak memicu ketakutan akan kendala ekonomi pasar bebas atau perubahan-perubahan gaya hidup yang luas. Hasil kajian yang sama mendukung gagasan bahwa "frame-frame berlandaskan non-iklim untuk energi terbarukan paling mungkin mengumpulkan dukungan khalayak yang lebih luas" bertalian dengan konteks politik dan menunjukkan respons bertentangan terhadap pembingkaian berdasarkan iklim yang menunjukkan polarisasi politik yang dalam terhadap perubahan iklim.[54] Ide political framing berasal dari keengganan kehilangan. Para politikus ingin membuat ide mereka kurang berisiko bagi para pemilih potensial karena “Masyarakat lebih memperhatikan kerugian daripada keuntungan, sama seperti mereka cenderung terlibat dalam perilaku tertentu dalam menghadapi kerugian. Secara rinci, masyarakat mengambil risiko saat mereka percaya itu membantu mereka mencegah kerugian, tetapi saat mereka menghadapi lagi, mereka memilih strategi yang menghindari risiko yang mempertahankan status quo”.[55] Mereka akan mengomunikasikannya dengan cara yang dapat meyakinkan bahwa masyarakat tidak rugi dengan menyetujui ideologi para politikus tersebut. Political framing juga mempengaruhi kebijakan-kebijakan lain selain perubahan iklim. Kesejahteraan, misalnya, telah dikenakan kepada political framing untuk menggeser opini publik terhadap penerapan kebijakan. Aliran terjal frame-frame yang berbeda kondusif mengubah opini publik selama bertahun-tahun.[56] Hal tersebut mempengaruhi cara masyarakat memandang “kelayakan” saat bertemu dengan kebijakan. Salah satu ujungnya dapat dilihat sebagai kredit politik, menyatakan bahwa para warga negara yang membutuhkan memiliki hak untuk mengklaim kesejahteraan sebagai kebutuhan. Hal tersebut dibingkai sebagai tugas dari pemerintah ke warga negara. Dalam frame ini, tak ada yang rugi karena pemerintah melakukan tugasnya untuk memaksimalkan kualitas kehidupan untuk seluruh masyarakat. Sisi lain memandang persingkatan kebijakan sebagai keperluan dengan menggunakan taktik framing untuk menggeser tanggung jawab dan mencelakan dari pemerintah ke warga negara.[57] Pemikiran untuk meyakinkan masyarakat bahwa kesejahteraan herus didorong untuk keuntungan mereka. Retorika kontemporer, diperjuangkan oleh mantan Presiden AS Ronald Reagan, telah membuat ide frame “kerja keras” mereka untuk mengatakan kesejahteraan tidak diperlukan jika masyarakat “bekerja lebih keras.” Dengan frame yang berlawanan ini, warga yang lebih kaya sekarang rugi karena mereka mengeluarkan uang untuk membantu dana keuntungan kesejahteraan pada mereka yang "kurang bekerja" dibandingkan mereka. Frame berbeda ini membuat kesejahteraan seperti permainan satu-kosong. Norma-norma genderFraming perubahan iklim bervariasi tergantung pada pemirsa yang dituju dan respons yang dirasakan mereka terhadap berbagai pendekatan mengenai aktivisme. Di Sweden, peneliti menilai keberlanjutan dalam sektor transportasi yang didominasi pria menyebutkan bahwa norma-norma yang diberikan oleh feminitas lebih mungkin untuk memajukan upaya keberlanjutan, sekaligus merendahkan keseluruhan emisi CO2 dari sektor tersebut.[58] Hal ini terbukti selama penelitian yang selanjutnya menunjukkan bahwa “sikap, perilaku, dan pola mobilitas perempuan menunjukkan norma-norma yang lebih kondusif untuk lebih banyak kebijakan transportasi berkelanjutan yang tidak mengandung karbon”.[58] Ini mengesankan bahwa maskulinitas sering digambarkan sebagai norma dalam banyak sektor dan memperkuat hubungan antara perempuan dan etika keberlanjutan yang secara krisis hilang dari banyak sektor dan industri yang didominasi pria. Penelitian-penelitian menunjukkan bahwa para konsumen yang menunjukkan kecenderungan untuk sadar lingkungan, tingkah laku “hijau” dirasakan lintas spektrum gender sebagai lebih feminin, melaksanakan stereotipe “Green Feminine”.[59] Aktivis iklim dipandang sebagai tindakan bersifat perempuan, merusak ciri-ciri maskulinitas dan menekankan celah gender dalam urusan berlandaskan kepedulian terhadap iklim. Sebagai tambahan, sebagai hasil teori berkenaan dengan pemeliharaan identitas gender, “pilihan lingkungan pria dapat dipengaruhi oleh isyarat gender, hasil menunjukkan bahwa mengikuti gertakan identitas gender (lawan usia), pria kemungkinan paling sedikit untuk memilih produk-produk hijau”.[59] Atribut yang terkait dengan feminitas dan mendukung hubungan kognitif di antara wanita dan green behavior termasuk empati dan kapasitas untuk transendensi diri.[52] HukumEdward Zelinsky telah menunjukkan bahwa pengaruh-pengaruh framing dapat menjelaskan beberapa perilaku yang diamati dari para legislator.[60] Dalam mediaPeran permainan framing dalam efek-efek presentasi media telah didiskusikan secara luas, dengan gagasan utama bahwa persepsi terkait dari informasi faktual dapat bervariasi berdasarkan pada penyajian informasi tersebut. Contoh-contoh media beritaDalam Bush's War: Media Bias and Justifications for War in a Terrorist Age,[61] Jim A. Kuypers meneliti perbedaan dalam framing War on Terror antara badan administrasi Bush dan media berita arus utama Amerika Serikat di antara tahun 2001 dan 2005. Kuypers mencari tema-tema umum antara pidato-pidato presidensial dan pemberitaan pers tentang pidato-pidato itu, kemudian menentukan bagaimana presiden dan pers membingkai tema-tema tersebut. Dengan menggunakan versi retoris analisis framing, Kuypers menentukan bahwa frame lanjutan media berita AS bertentangan dengan yang digunakan oleh pemerintahan Bush.
Tabel satu: Perbandingan Tema dan Frame Antara Presiden dan Media Berita Media setelah 11 September[63]
Pada tahun 1991, Robert M. Entman menerbitkan temuan[64] seputar perbedaan liputan media antara Korean Air Lines Flight 007 dan Iran Air Flight 655. Setelah mengevaluasi berbagai tingkat liputan berita berdasarkan jumlah tayang dan halaman yang ditujukan pada peristiwa serupa, Entman menyimpulkan bahwa frame-frame peristiwa yang ditampilkan oleh media berbeda secara drastis:
Perbedaan dalam liputan di berbagai media:
Pada tahun 1988, Irwin Levin dan Gary Gaeth melakukan penelitian mengenai efek-efek informasi atribut terhadap para konsumen sebelum dan setelah mengonsumsi sebuah produk (1988). Dalam penelitian ini, mereka menemukan bahwa dalam penelitian mengenai daging sapi, orang-orang yang memakan daging sapi yang dilabeli 75% tidak berlemak menilainya lebih baik daripada orang-orang yang daging sapinya dilabeli 25% lemak. Dalam politikPeneliti retorik dan linguis George Lakoff mendebatkan bahwa untuk meyakinkan hadirin politik dari satu sisi argumen atau yang lain, kenyataan harus dihadirkan melalui frame retoris. is mendebatkan bahwa tanpa frame, fakta-fakta argumen tersasar pada hadirin, membuat argumen kurang efektif. Retorika politik menggunakan framing untuk menghadapkan fakta-fakta di sekeliling masalah dalam cara yang membuat tampilan masalah memerlukan solusi. Para politikus menggunakan framing untuk membuat solusi mereka sendiri untuk urgensi yang tampaknya paling tepat dibandingkan dengan oposisi.[4] Argumen kontra menjadi kurang efektif dalam membujuk hadirin setelah suatu pihak membingkai argumen, karena dipertanyakan bahwa oposisi kemudian memiliki beban tambahan untuk memperdebatkan kerangka masalah di samping masalah itu sendiri. Membingkai masalah politik, partai politik atau lawan politik adalah tujuan strategi dalam politik, terutama di Amerika Serikat. Baik partai politik Demokrat dan Republik berkompetisi untuk memanfaatkan kekuatan persuasi dengan sukses. Menurut The New York Times:
Karena framing dapat mengubah persepsi masyarakat, para politikus tidak menyetujui cara permasalahan dibingkai. Oleh karena itu, cara permasalahan dibingkai di media merefleksikan siapa yang memenangkan pertempuran. Misalnya, menurut Robert Entman, profesor Komunikasi di George Washington University, menjelang Perang Teluk, para konservatif berhasil memperdebatkan apakah akan menyerang cepat atau lambat, tanpa menyebutkan kemungkinan untuk tidak menyerang.[16] Suatu contoh khusus penelitian Lakoff yang mencapai beberapa tingkat ketenaran adalah sarannya untuk menamai ulang[66] trial lawyers (tidak populer di Amerika Serikat) sebagai "pengacara perlindungan masyarakat". Walaupun warga Amerika secara umum belum mengangkat saran ini, Asosiasi Pengacara Pengadilan Amerika menamai ulang diri mereka sebagai "Asosiasi Keadilan Amerika", yang disebut Chamber of Commerce sebagai upaya untuk menyembunyikan identitas mereka.[67] The New York Times menggambarkan intensitas yang mirip di antara Partai Republik.
Dari perspektif politik, framing telah memperluas konsekuensi. Misalnya, konsep framing yang berhubungan dengan agenda-setting: dengan konsisten menggunakan kerangka tertentu, partai framing secara efektif dapat mengendalikan diskusi dan persepsi masalah. Sheldon Rampton dan John Stauber dalam Trust Us, We're Experts menggambarkan bagaimana firma-firma hubungan masyarakat (Humas) sering menggunakan bahasa untuk membantu membingkai suatu masalah, menyusun pertanyaan-pertanyaan yang kemudian muncul. Sebagai contohnya, salah satu firma menyarankan para klien untuk menggunakan "bahasa penghubung" yang menggunakan strategi menjawab pertanyaan-pertanyaan dengan istilah-istilah atau ide-ide spesifik untuk menggeser wacana dari topik yang tidak nyaman ke topik yang lebih nyaman.[68] Para penggiat strategi ini mungkin mencoba untuk menarik perhatian dari suatu frame untuk fokus ke frame lainnya. Seperti yang dicatat Lakoff, "Hari pada saat George W. Bush menjabat, kata "pengurangan pajak" mulai keluar dari Gedung Putih."[69] Dengan memusatkan kembali struktur dari suatu frame ("beban pajak" atau "tanggung jawab pajak"), para individu dapat mengatur jadwal pertanyaan yang diajukan di masa depan. Para ahli bahasa kognitif menunjukkan contoh framing dalam frasa "keringanan pajak". Pada frame ini, penggunaan konsep "keringanan" mengandung konsep (tanpa menyebutkan keuntungan yang dihasilkan) pajak yang membebani warga negara.
Frame-frame alternatif dapat menekankan konsep pajak sebagai sumber dukungan infrastruktur untuk bisnis.
Frame-frame dapat membatasi debat dengan mengatur kosakata dan metafora lewat cara yang para partisipan dapat pahami dan mendiskusikan masalah. Mereka tidak hanya membangun wacana politik, tetapi kognisi. Selain menghasilkan frame-frame baru, penelitian framing yang berorientasi politik bertujuan untuk meningkatkan kesadaran masyarakat akan hubungan framing dan pemikiran. Contoh-contoh
KeefektifanMenurut Susan T. Fiske dan Shelley E. Taylor, manusia secara alamiah "kikir kognitif", artinya mereka lebih suka melakukan berpikir sesedikit mungkin.[79] Frame-frame memberikan cara yang cepat dan mudah pada khalayak untuk memproses informasi. Oleh karena itu, masyarakat akan menggunakan saringan-saringan mental yang sebelumnya disebutkan (rangkaian yang disebut skema) untuk memahami pesan-pesan yang masuk. Ini memberikan kekuatan besar pada pengirim dan pembingkai informasi untuk menggunakan skema-skema ini untuk mempengaruhi bagaimana para penerima akan menafsirkan pesan.[16] Teori yang diterbitkan akhir-akhir ini menunjukkan bahwa kegunaan yang dinilai (yaitu sejauh mana pertimbangan yang ditampilkan dalam pesan dianggap dapat digunakan untuk penilaian berikutnya yang diberikan) mungkin menjadi mediator penting dari efek media kognitif seperti framing, agenda setting, dan priming. Menekankan kegunaan yang dinilai mengarah pada pengungkapan bahwa liputan medua mungkin tidak hanya meningkatkan pertimbangan tertentu, tetapi mungkin juga menekan suatu pertimbangan secara aktif, menjadikannya kurang bermanfaat untuk penilaian berikutnya. Proses framing berita menggambarkan bahwa di antara aspek-aspek berbeda sebuah persoalan, aspek tertentu dipilih di atas aspek-aspek lainnya untuk mengkarakteristikkan persoalan atau peristiwa. Misalnya, isu pengangguran digambarkan dalam istilah tenaga kerja murah yang disediakan oleh para imigran. Paparan berita mengaktifkan pemikiran yang sesuai dengan imigran daripada pemikiran yang berkaitan dengan aspek lain persoalan (misalnya, undang-undang, edukasi, dan impor murah dari negara lain) dan, pada saat yang sama, membuat pemikiran sebelumnya menonjol dengan mempromosikan kepentingan dan relevansi mereka untuk memahami persoalan yang dihadapi. Artinya, persepsi isu dipengaruhi oleh pertimbangan yang ditampilkan dalam cerita berita. Pemikiran yang berkaitan pada pertimbangan yang diabaikan menjadi terdegredasi ke tingkat pemikiran mengenai pertimbangan unggulan yang diperbesar.[80] Lihat juga
Referensi
Bacaan lebih lanjut
Pranala luar
|