Pemberontakan Jeju
Pemberontakan Jeju (bahasa Korea: 제주 4·3 민중항쟁, Hanja: 濟州 4·3 民衆抗爭) adalah peristiwa pemberontakan yang dimulai pada 3 April 1948 oleh penduduk Pulau Jeju, Korea Selatan yang berada di bawah pendudukan Pemerintah Militer Angkatan Darat Amerika Serikat di Korea. Peristiwa ini melibatkan Pasukan Cadangan Kepolisian Korea Selatan Angkatan Bersenjata Republik Korea, Kepolisian Korea Selatan, dan organisasi pemuda sayap kanan Semenanjung Korea. Pemberontakan berlangsung hingga 21 September 1954 dan disertai serangkaian peristiwa pembantaian massal penduduk Pulau Jeju.[3] Pihak Pemerintah Korea Selatan mengatakan peristiwa ini sebagai pembersihan Partai Buruh Korea Selatan yang komunis oleh tentara pemerintah dan kepolisian, serta berakibat pada tewasnya satu dari lima penduduk Pulau Jeju atau 60.000 orang sebagai korban pembunuhan massal.[4] Sekitar 70% dari desa-desa di Pulau Jeju terbakar habis.[4] Peristiwa ini juga melatarbelakangi terjadinya Pemberontakan Yeosu-Suncheon. Latar belakangJepang menyerah kepada Sekutu dan menandatangani Dokumen Kapitulasi Jepang pada 2 September 1945. Semenanjung Korea diduduki oleh Militer Uni Soviet (Tentara Merah) dan Angkatan Bersenjata Amerika Serikat, dan dibagi dua menjadi Korea Utara dan Korea Selatan di garis lintang paralel utara ke-38. Korea Selatan berada di bawah kepemimpinan Presiden Syngman Rhee yang pro-Amerika Serikat. Korea Utara diperintah oleh Partai Buruh Korea Utara di bawah pimpinan partisan anti-Jepang Kim Il-sung. Kedua belah pihak masing-masing berada di bawah pendudukan militer asing, Korea Selatan diduduki Amerika Serikat, sementara Korea Utara diduduki Uni Soviet. Badan Persiapan Pendirian Negara Korea mendirikan kantor cabang di Jeju pada 10 September 1945, dan tidak lama kantor cabang tersebut diubah namanya menjadi Badan Rakyat Pulau Jeju.[3] Pada 1 Maret 1947, penduduk Pulau Jeju mengadakan unjuk rasa di dalam kota Jeju menuntut penyatuan Semenanjung Korea dan pendirian sebuah negara Korea merdeka dan berdaulat. Unjuk rasa berakhir dengan tewasnya 6 orang penduduk pengikut unjuk rasa akibat tembakan yang dilepaskan aparat kepolisian ke arah massa.[3] Sebagai protes untuk kekerasan yang dilakukan oleh aparat kepolisian, penduduk Pulau Jeju melakukan pemogokan umum pada 10 Maret 1947. Sebagai reaksi adanya pemogokan umum di Jeju, Kantor Pemerintah Militer Angkatan Darat Amerika Serikat di Korea mengirimkan perwira polisi dan organisasi pemuda sayap kanan yang setiba di Pulau Jeju diduga melakukan teror putih. Terutama dari luar Pulau Jeju berdatangan anggota organisasi pemuda sayap kanan yang antikomunisme dan Perkumpulan Pemuda Barat Daya yang didukung organisasi kepolisian. Mereka berusaha menghancurkan organisasi para pemberontak di Jeju. Namun, Partai Buruh Korea Selatan justru semakin kuat berkat dukungan penduduk pulau yang merasa tidak puas, dan akhirnya pecah pemberontakan bersenjata yang dilakukan Partai Buruh Korea Selatan dengan berintikan penduduk Pulau Jeju pada 3 April 1948.[3] Memasuki tahun 1948, pemerintah Korea Selatan memutuskan untuk mengadakan pemilihan umum tanpa menyertakan Korea Utara. Menjelang berlangsungnya pemilihan umum terjadi pertentangan sengit antara pendukung sayap kiri dan pendukung sayap kanan di Jeju. Penduduk yang mendukung sayap kiri menentang diadakannya pemilihan umum hingga pecah pemberontakan 3 April 1948. Korban di pihak sayap kanan dan pihak kepolisian berjumlah 12 orang, sementara korban di pihak pemberontak bersenjata sebanyak 2 orang. Pada awal terjadinya pemberontakan, kedua belah pihak berusaha menyelesaikan konflik secara damai lewat perundingan. Namun perundingan damai gagal dan berakhir dengan pertumpahan darah lebih lanjut akibat intervensi militer Amerika Serikat dan gangguan yang dilakukan organisasi pemuda sayap kanan (Perkumpulan Pemuda Barat Daya) yang dibentuk pemuda pelarian dari Pyongan, Korea Utara. Pemberontakan dapat dipadamkan dalam waktu singkat oleh aparat keamanan yang terdiri dari Pasukan Cadangan Kepolisian Korea Selatan (nantinya disebut Angkatan Bersenjata Korea Selatan) dan Kepolisian Korea Selatan, ditambah anggota Perkumpulan Pemuda Barat Daya. Meskipun demikian, sisa-sisa kekuatan dari satuan komando rakyat terus melawan dengan taktik perang gerilya. Sebagai akibatnya, aparat keamanan melakukan pembersihan dan hukuman mati terhadap anggota satuan komando rakyat yang bersembunyi dan penduduk pulau yang bersimpati kepada mereka. Pembersihan terus berlanjut setelah negara Korea Selatan dan Angkatan Bersenjata Korea Selatan didirikan secara resmi pada 15 Agustus 1948. Angkatan Bersenjata Korea Selatan menyerang desa-desa tempat tinggal penduduk, menyeret para pemuda dari rumah-rumah untuk dibunuh, dan menculik para gadis-gadis untuk diperkosa beramai-ramai selama berminggu-minggu sebelum akhirnya dibunuh.[4] Kim Il-sung membentuk Angkatan Bersenjata Rakyat Korea pada bulan September 1948, dan selanjutnya mendirikan negara Republik Demokratik Rakyat Korea. Pada tahun 1950, Partai Buruh Korea Selatan dan Partai Buruh Korea Utara bergabung menjadi satu. Tentara Republik Demokratik Rakyat Korea (Korea Utara) di bawah pimpinan Kim Il-sung menyerang Korea Selatan hingga pecah Perang Korea. Di tengah berlangsungnya perburuan anggota Partai Buruh Korea, hingga 21 September 1954 sejumlah 30.000 orang tewas, dan hingga pemberontakan berhasil dipadamkan sepenuhnya pada tahun 1957 diperkirakan total 80.000 orang penduduk Pulau Jeju tewas akibat pembunuhan massal. Selanjutnya, di daratan Korea Selatan terjadi peristiwa pembunuhan massal Liga Bodo dan pembersihan serupa di penjara-penjara Korea Selatan, sehingga keseluruhannya 1.200 orang diperkirakan tewas.[5] Mayat-mayat korban yang dibuang ke laut dipungut oleh orang Jepang, dan dimakamkan di kuil-kuil Pulau Tsushima.[6] Pulau Jeju dulunya pernah dipakai sebagai tempat pengasingan orang hukuman membuat orang daratan Korea melakukan diskriminasi terhadap penduduk Pulau Jeju. Meskipun kedatangan mereka waktu itu dicegah oleh Pemerintah Jepang lewat peraturan keimigrasian, penduduk Jeju yang miskin berdatangan ke Jepang untuk mencari nafkah. Sebagian di antara mereka menetap di Jepang, setelah sebelumnya menjadi pendatang gelap. Sekitar 200 ribu orang Korea, sebagian besar kelahiran Pulau Jeju berdatangan ke Jepang setelah Jepang menganeksasi Korea dan semasa penjajahan Jepang di Korea. Setelah Jepang kalah perang, sekitar dua pertiga dari mereka pulang ke Korea. Namun, setelah terjadinya Peristiwa Jeju, penduduk Jeju kembali berdatangan ke Jepang sebagai pengungsi atau masuk ke Jepang secara gelap. Sebagian besar di antara mereka menjadi penduduk tetap yang disebut Zainichi Korea. Orang Jeju yang melarikan diri ke Jepang, sebagian di antara mereka membentuk komunitas di Osaka. Sebelum terjadi Peristiwa Jeju, penduduk Pulau Jeju yang pada tahun 1948 berjumlah 280 ribu orang,[7] menjadi hanya berjumlah kurang dari 30.000 orang pada tahun 1957[8] Meskipun korban di kalangan anggota dan penduduk simpatisan Partai Buruh Korea sangat banyak, tanggung jawab pemerintah diktator militer Korea Selatan waktu itu tidak pernah diusut secara resmi karena sedang menjalankan politik nasional antikomunisme. Selain itu, peristiwa ini dianggap tabu untuk dibicarakan, sehingga rincian peristiwa tidak pernah terungkap dengan jelas. Penelitian kembali sejarah Korea baru dimulai setelah Roh Moo-hyun menjadi Presiden Korea Selatan. Dalam pertemuan ramah tamah dengan penduduk pulau pada Oktober 2003 sehubungan Peristiwa Jeju, Pemerintah Korea Selatan untuk pertama kalinya menyampaikan permintaan maaf. Selain itu, Pemerintah Korea Selatan juga membentuk Komite Nasional Pencari Fakta Peristiwa Jeju mengenai Peristiwa Jeju 3 April. Selanjutnya, Presiden Korea Selatan untuk pertama kalinya menghadiri upacara peringatan korban Peristiwa Jeju yang diadakan pada 3 April 2006, sekaligus secara resmi meminta maaf kepada penduduk Pulau Jeju, dan berjanji untuk mengungkap fakta di balik peristiwa ini.[9] Orang Korea di Jepang kelahiran Pulau Jeju yang melarikan diri dan menetap di Jepang sebagai pendatang gelap, setelah mengalami sendiri kejadian mengerikan tersebut, sebagian dari mereka tidak berkeinginan pulang ke tanah air, bahkan hingga berpuluh-puluh tahun kemudian karena "mereka takut mendapat kesulitan lagi". Setelah sikap Pemerintah Korea Selatan mulai berubah dan menunjukkan penyesalan, beberapa di antara mereka, untuk pertama kalinya mengunjungi Korea Selatan setelah 60 tahun menetap di Jepang.[10] Referensi
Catatan kaki
Bacaan selanjutnya
Lihat juga |