Paul F. KnitterPaul F. Knitter (lahir di Chicago, Amerika Serikat pada tahun 1939) adalah seorang teolog Katolik Roma yang berperan dalam mengembangkan diskursus teologi agama-agama.[1] Ia dikenal sebagai salah seorang pendukung posisi pluralisme bersama dengan para teolog lain, seperti Alan Race dan John Hick.[1] Knitter juga merupakan pegiat dialog antar-iman.[2] Pemikiran awalPada tahun 1985, Knitter menerbitkan buku berjudul No Other Name? yang merupakan pemetaan terhadap pemikiran-pemikiran Kristen yang berkembang saat itu mengenai agama-agama lain.[1] Pendekatan Knitter, baik metode, fokus, serta kesimpulan dari buku tersebut memiliki banyak kemiripan dengan buku Alan Race yang dipandang sebagai awal dari diskursus teologi agama-agama.[1] Bedanya, jika Race menggagas tipologi eksklusivisme-inklusivisme-pluralisme, Knitter menyebut ada empat model dalam tipologinya.[1][3] Keempat model tersebut adalah:
Posisi Knitter di dalam buku ini, yakni posisi teosentris, memiliki kesejajaran dengan model pluralisme yang dianut oleh Alan Race.[1][3] Selain menegaskan posisinya, Knitter juga menganjurkan perlunya penafsiran ulang atas doktrin keunikan Yesus.[1] Menurutnya, selama ini kekristenan merasa superior terhadap agama-agama lain karena doktrin tersebut.[1] Untuk itu, supaya dapat terwujud dialog antar-iman maka doktrin tersebut perlu ditinjau kembali.[1] Knitter dan Posisi SoteriosentrismeDi dalam buku selanjutnya, 'Satu Bumi Banyak Agama', Knitter menyatakan bahwa tipologi yang ia gunakan pada buku sebelumnya kurang tepat.[2] Menurutnya, tipologi eksklusivisme-inklusivisme-pluralisme yang diajukan Alan Race lebih tepat.[2] Knitter sebelumnya menyatakan bahwa dirinya menganut posisi pluralisme yang menyatakan bahwa agama-agama merupakan jalan-jalan yang berbeda menuju satu tujuan, yang dalam bahasa Kristen disebut Allah.[2] Akan tetapi, Knitter menyatakan bahwa dirinya telah melampaui posisi pluralisme yang teosentris yang dianut sebelumnya, yakni dengan posisi soteriosentrisme.[2] DefinisiSoteriosentrisme berasal dari kata bahasa Yunani soter yang berarti keselamatan.[2] Dengan demikian, soteriosentris secara etimologis berarti 'berpusat pada keselamatan'.[2] Jikalau pendekatan pluralisme menjadikan Satu Realitas Ilahi (disebut The Real oleh John Hick) atau Tuhan dalam bahasa agama Abrahamik, maka soteriosentrisme menjadikan konteks penderitaan umat manusia dan penderitaan alam (krisis ekologis) sebagai pusat.[2] Penderitaan yang dialami umat manusia dan kerusakan alam haruslah menjadi fokus perhatian dan sasaran dari agama-agama yang ada.[2] Manusia dan alam yang menderita perlu mendapatkan keselamatan yakni terbebas dari derita yang mereka alami.[2] Di sini, paham keselamatan dalam kekristenan diberikan pemaknaan baru oleh Knitter.[2] Dengan demikian, Knitter mengkritik pendekatan pluralisme yang langsung menyatakan bahwa agama-agama adalah jalan menuju Tuhan.[2] Menurut Knitter, agama-agama yang ada di dunia perlu dinilai kebenarannya melalui kriteria soteriosentris tersebut, yakni seberapa besar agama-agama mau berfokus dan berjuang bagi keselamatan umat manusia dan bumi yang sedang menderita.[2] Knitter melihat bahwa kekristenan akan mengalami perkembangan yang evolutif, yakni dari eklesiosentrisme (berpusat pada gereja), melalui kristosentrisme (berpusat pada Kristus), hingga ke teosentrisme (berpusat pada Allah), dan selanjutnya adalah soteriosentrisme.[2] Posisi soteriosentris tersebut dianut oleh Knitter setelah ia dipengaruhi Teologi Pembebasan Amerika Latin.[2] Teologi Pembebasan berfokus pada pembebasan manusia-manusia yang tertindas dari para penindasnya maupun situasi yang menekan, khususnya kemiskinan struktural.[2] Minat Knitter terhadap Teologi Pembebasan sudah terlihat dari tulisan sebelumnya di dalam buku 'Mitos Keunikan Agama Kristen'.[4] Dampak kepada Dialog Antar-ImanAsumsi teologis ini berdampak terhadap pemaknaan dialog antar-iman.[2] Knitter menyatakan bahwa dialog antar-iman yang terjadi haruslah bertanggung-jawab secara global.[2] Arti dialog harus mendorong praksis bersama agama-agama untuk menghadapi adanya tantangan bersama berupa penderitaan konkret umat manusia dan kerusakan ekologi yang semakin bertambah.[2] Hal tersebut mestinya menjadi konteks bersama dari semua agama yang ada di dunia sekaligus menjadi titik temu dari semua agama.[2] Penafsiran Ulang terhadap Sosok YesusUntuk mendukung model soteriosentris yang diusulkannya, Knitter menyusun penafsiran ulang atas sosok Yesus dan pengaruhnya terhadap misi Kristen.[5] Usaha ini ditunjukkan di dalam buku lainnya, 'Menggugat Arogansi Kekristenan', yang terbit segera setelah buku 'Satu Bumi Banyak Agama'.[5] Di dalam buku ini, Yesus dipandang sebagai tokoh yang unik dan menentukan, tetapi bukan satu-satunya penyataan Allah.[5] Keunikan Yesus adalah keunikan relasional dengan visi Kerajaan Allah yang memberitakan tentang pembebasan terhadap manusia yang menderita dan tertindas[5] Pemetaan Baru terhadap Teologi Agama-AgamaBeberapa tahun kemudian, yakni tahun 2002, Knitter menerbitkan sebuah buku yang berisi pemetaan baru terhadap pendekatan-pendekatan di dalam diskursus teologi agama-agama.[6] Di sini, Knitter tidak lagi menggunakan tipologi eksklusivisme-inklusivisme-pluralisme sebagaimana disarankan oleh Alan Race, melainkan memaknai ulang model-model tersebut dan menambah satu model lagi:[6]
Knitter dan Teologi KomparatifDi dalam karya terbaru Knitter, Without Buddha I Cannot be a Christian (2009), ia menggunakan pendekatan teologi komparatif.[7] Buku tersebut berisi perbandingan konsep-konsep Kristen dengan konsep-konsep dalam Buddhisme.[7] Referensi
Lihat pula |