Paul Ehrlich
Paul Ehrlich (1854–1915) ialah seorang dokter berkebangsaan Jerman. Ia lahir dekat Breslau—saat itu di Prusia, tetapi kini dikenal sebagai Wroclaw, Polandia—dan belajar untuk menjadi seorang dokter di perguruan tinggi yang ada di sana lalu di Strasbourg, Freiburg im Breisgau, dan Leipzig. Di Breslau ia bekerja di laboratorium sepupunya Carl Weigert, seorang patolog yang merintis penggunaan bahan celup anilina sebagai zat warna biologis. Ehrlich tertarik dalam selektivitas bahan celup untuk organ, jaringan, dan sel spesifik, dan ia meneruskan penelitiannya di Rumah Sakit Amal di Berlin. Setelah menyaksikan bahwa bahan celup bereaksi secara spesifik dengan bermacam komponen sel darah dan sel jaringan lainnya, ia mulai menguji bahan celup itu untuk sifat terapi untuk menentukan apakah bahan celup itu akan membunuh mikrob patogen. Setelah pergulatannya sendiri dengan TBC-mungkin akibat kerja di laboratorium-dan perawatannya yang kemudian dengan terapi tuberkulin Heinrich Hermann Robert Koch, Ehrlich memusatkan perhatiaannya pada toksin dan antitoksin bakteri. Pertama ia bekerja di laboratorium swasta yang kecil, tetapi karena mutu kerjanya diakui Robert Koch dll, ia bisa memimpin sumber lebih banyak dan lebih baik—akhirnya Institut Serum Negeri di Frankfurt. Pada 1908 ia menerima Hadiah Nobel dalam Kedokteran untuk kerjanya dalam imunisasi. Di Frankfurt ia terus mencari agen kimia lainnya untuk digunakan melawan penyakit. Ia berkolaborasi dengan kerja kimia Casella yang berdekatan, yang mendanai contoh senyawa kimia baru yang diproduksi di laboratotiumnya buatnya untuk menguji kegiatan biologis. Pada 1906 Georg-Speyer-Haus, sebuah lembaga penelitian untuk kemoterapi, didirikan dengan stafnya sendiri di bawah arahan Ehrlich. Sebagian program riset itu dipandu teori Ehrlich bahwa kemampuan molekul obat pembasmi kuman penyakit bergantung pada strukturnya, khususnya sisi rantainya, yang bisa berikatan pada organisme yang menyebabkan penyakit. Produk paling berhasil dari penyelidikan ini ialah Salvarsan (1909–1910)—dihidroksidiaminoarsenobenzenadihidroklorida—dan Neosalvarsan (1912), obat paling efektif untuk mengobati sifilis hingga ditemukannya antibiotik pada 1940-an. Pranala luar
|