Pati resistan

Pati resistan merupakan istilah yang digunakan dalam ilmu gizi dan ilmu pangan sebagai jenis pati yang tidak tercerna (resistan) dalam saluran sistem pencernaan manusia.[1] Pati resistan memiliki sifat fisiologis yang unik sehingga sering direkomendasikan penggunaannya dibandingkan dengan serat yang lainnya.[1] Pati resistan dapat digunakan untuk meningkatkan serat pangan dengan sedikit perubahan dari penampakan dan sifat organoleptik pangan.[1]

Granula pati yang berasal dari gandum.
Struktur molekul pati.

Definisi lain

  • Menurut EURESTA (European FLAIR-Concerted Action on the 'Physiological implication of the consumption of resistant starch in man') definisi pati resistan adalah jumlah keseluruhan dari pati dan produk hasil degradasi pati yang tidak terserap dalam usus halus pada individu yang sehat.[2]
  • Secara fisikokimia, pati resistan didefinisikan sebagai fraksi dari pati yang tidak terhidrolisis menjadi D-glucose di dalam usus halus dalam waktu 120 menit setelah pangan dikonsumsi, tetapi akan difermentasi di dalam kolon.[3] Berbagai studi menunjukkan bahwa pati resistan merupakan molekul linier dari α-1,4-D-glukan yang secara esensial diturunkan dari retrogradasi fraksi amilosa serta memiliki berat molekul yang rendah (1,2 x 105 Da).[3]
  • Definisi lain menyatakan pati resistan sebagai fraksi kecil dari pati yang resistan terhadap proses hidrolisis oleh α-amilase dan pullulanase pada perlakuan in vitro.[4]
  • Menurut metode pengukurannya definisi pati resistan harus merefleksikan seberapa besar pati dicerna serta apa yang terjadi pada pati tersebut saat melalui proses pencernaan.[1] Kandungan pati resistan yang terdapat pada pangan dan ingredien pangan dapat diukur secara in vitro dengan menggunakan metode berbasis enzimatik yang dapat menstimulasi saluran pencernaan.[1] Metode tersebut merupakan metode resmi yang disarankan oleh AOAC (Association of Official Analytical Chemists) yang juga menyusun referensi untuk pati resistan, serat pangan, serta maltodekstrin resistan.[1] Seiring dengan perkembangan mengenai definisi serat pangan yang diklasifikasikan sesuai dengan manfaat fisiologisnya, maka pati resistan dapat digolongkan sebagai bagian dari serat pangan yang diusulkan oleh Institute of Medicine of the National Academies in the USA dan American Association of Cereal Chemists berdasarkan pengaruh fisiologis spesifik yang ditimbulkannya.[5][6]

Jenis

Pati resistan memiliki cakupan yang luas dan berbagai macam jenis yang terbagi menjadi empat jenis yaitu RS1, RS2, RS3, dan RS3.[7] Pada saat ini pembagian tersebut didasarkan pada karekteristik fisik dan kimia.[7]

Penggolongan

Menurut Brown et al. (1995) ada tiga jenis pati resistan (RS1, RS2, dan RS3) dapat ditemui secara alami di bahan pangan ataupun juga terbentuk sebagai bagian dari proses normal pemasakan.[7][1]

Jenis pati resisten Contoh Kemungkinan pencernaan di usus halus
RS1: tidak dapat terlihat secara fisik Biji-bijian yang digiling secara parsial
Resistan
RS2: granula resisten Kentang mentah, pisang yang masih hijau, beberapa serealia, dan pati jagung yang tinggi amilosa
Resistan
RS3: pati teretrogradasi Kentang yang sudah dimasak dan didinginkan, roti-rotian, dan cornflake
Resistan
RS4: pati yang dimodifikasi secara kimia Pati eter, ester, dan ikatan silang
Resistan

Hal ini berbeda dengan jenis terakhir (RS4) yang dapat diproduksi menggunakan metode modifikasi secara kimia yang disetujui penggunaannya pada bahan pangan.[1]

Pada saat ini, ingredien pati resistan dari empat jenis golongan tersebut sudah bisa didapatkan secara komersial.[1]

Berikut adalah penjelasan sifat fisikokimia dari keempat jenis pati resistan:[1]

  1. Pati resistan tipe 1 (RS1). Jenis pati resistan ini memiliki sifat resistan dikarenakan secara fisik pati terperangkap di antara matriks bahan pangan sehingga menghambat akses enzim terhadap pati.
  2. Pati resistan tipe 2 (RS2). Jenis pati resistan ini secara alami resistan dikarenakan granula patinya yang memiliki sifat demikian. RS2 terdapat dalam pangan yang patinya dimakan secara mentah atau ketika granulanya tidak tergelatinisasi selama proses pemasakan (contohnya, pati jagung yang tinggi amilosa).
  3. Pati resistan tipe 3 (RS3). Jenis pati resistan ini terjadi ketika pati yang sudah tergelatinisasi dimasak kembali dan kemudian didinginkan. Hal tersebut dapat terjadi secara alami saat pemrosesan pangan secara normal (contohnya, kentang yang dimasak kemudian didinginkan)
  4. Pati resistan tipe 4 (RS4). Jenis pati resistan ini dibentuk melalui penggabungan ikatan kimia dengan polimer pati sehingga dapat memengaruhi aksi dari enzim amilase. Daya penghambatannya tergantung pada jenis dan panjang ikatan. Proses kimia yang dapat menghambat amilolisis yaitu mencakup dekstrinisasi, esterifikasi, etherifikasi, oksidasi, serta ikatan silang dengan pereaksi difungsi, dan dapat terlihat memengaruhi fungsional pangan, contohnya adalah kelarutan serta toleransi proses.


Sementara menurut Fuentes-Zaragoza et al. (2010)[8] pati resisten dibagi menjadi empat jenis:

Jenis pati resistan Keterangan Kemungkinan pencernaan di usus halus Faktor penurun resistansi Sumber pangan
RS1 Tidak dapat terakses oleh sistem pencernaan karena terperangkap pada matrik yang tidak tercerna Lambat dengan derajat sebagian; Dapat tercerna secara sempurna bila pangan digiling secara sempurna Penggilingan, pengunyahan Biji-bijian yang tergiling secara sempurna, kacang-kacangan, pasta
RS2 Granula resistan yang tidak tergelatinisasi dengan kristalinitas tipe B, terhidrolisis secara lambat oleh α-amilase Sangat lambat dengan derajat sedikit; Dapat tercerna sempurna ketika dimasak secara penuh Proses pengolahan dan pemasakan Kentang mentah, pisang yang masih hijau, beberapa jenis kacang-kacangan, pati yang tinggi amilosa
RS3 Pati teretrogradasi terbentuk ketika pangan yang mengandung pati dimasak dan kemudian didinginkan Lambat dengan derajat sebagian; Daya cernanya dapat ditingkatkan dengan pemanasan ulang Kondisi pada saat pemrosesan Kentang yang dimasak kemudia didinginkan, roti-rotian, corn flakes, produk pangan dengan perlakukan pemanasan ulang
RS4 Pati yang secara khusus termodifikasi secara kimia dan diproses dalam skala industri untuk dijadikan sebagai komponen ingredien pangan Hasil dari modifikasi secara kimia, resisten terhadap hidrolisis Sangat sedikit terpengaruh ketercernaannya Beberapa serat: minuman, pangan yang menggunakan ingredien pati yang sudah termodifikasi (produk roti-rotian tertentu)

Sumber pati resisten

Kentang rebus memiliki kandungan pati resisten sebanyak 5 persen dari berat keringnya.

Pati resistan merupakan bagian alami dari asupan diet sehari-hari, tetapi jumlah dari pati resistan yang terkandung di dalam pangan dapat berbeda-beda tergantung dari jumlah dan jenis pati tersebut dalam pangan, bagaimana pangan diolah, bagaimana pangan disimpan sebelum dikonsumsi, dan bagaimana pangan tersebut dicerna.[9] Pati resistan menyumbang sekitar 18% dari berat kering suatu pangan.[9] Beberapa pangan mengandung pati resistan yang tergolong tinggi yaitu dengan diperkaya oleh pati resistan. Meskipun demikian, pangan tersebut tidak seharusnya dikonsumsi dalam jumlah yang banyak.[9] Jumlah kandungan pati resistan pada pangan yang biasa ditemui berkisar kurang dari 1% berat kering pada roti tawar hingga 5% pada kentang yang direbus.[9]

Kandungan pada pangan yang sering dikonsumsi

Berikut merupakan tabel kandungan pati resistan pada pangan yang sering dikonsumsi.[9]

Jenis pangan Persen
berat kering
Pati resistan
(g/100 g)
berat kering
Roti tawar 54,5 1
Wholemeal bread 52,0 1
Cornflake 95,8 3
Oats dalam bentuk puree 90,7 2
Kentang rebus (panas) 22,8 5
Kentang rebus (dingin) 23,8 10
Spagetti (panas) 28,3 5
Spagetti (dingin) 34,7 4
Kacang polong (dingin, kemudian dipanaskan 5 menit) 18,3 5
Kacang lentil (dipanaskan 20 menit, kemudian didinginkan) 28,3 9
Kacang Haricot (dipanaskan selama 40 menit) 41,4 18

Referensi

  1. ^ a b c d e f g h i j (Inggris) Birkett, AM (2007). "8". Dalam Henry CJK. Handbook of Functional Food and Nutraceuticals (dalam bahasa English). Cambridge and Boca Raton: Woodhead Publishing Ltd. and CRC Press LLC. hlm. 175. ISBN 978-1-84569-030-4. 
  2. ^ (Inggris) Asp NG (1992). "Preface: resistant starch, proceedings of the 2nd plenary meeting of EUREST". Eur. J. Clin. Nutr. (dalam bahasa English). Nature Publishing Group. 46: pp.S1. ISSN 0954-3007. 
  3. ^ a b (Inggris) Tharanathan RN (2002). "Food-derived carbohydrates: Structural complexity and functional diversity". Critical Reviews in Biotechnology (dalam bahasa English). Informa Healthcare Communications. 22(1): 65–84. doi:10.1080/07388550290789469. [pranala nonaktif permanen]
  4. ^ (Inggris) Englyst HN, Wiggins HS, Cummings JH (1982). "Determination of the non-starch polysaccharides in plant foods by gas-liquid chromatography of constituent sugars as alditol acetates". Analyst (dalam bahasa English). Colchester: RSC Publishing. 107: 307–318. doi:10.1039/AN9820700307. 
  5. ^ (Inggris) American Association of Cereal Chemists (2001). [www.aaccnet.org/news/pdfs/DFDef.pdf "The Definition of Dietary Fiber"] Periksa nilai |url= (bantuan) (PDF). Cereal Foods World (dalam bahasa English). 46: 112–126. ISSN 0146-6283. 
  6. ^ (Inggris) Institute of Medicine of the National Academies (2005). "7". Dietary reference intakes for energy, carbohydrate, fibre, fat, fatty acids, cholesterol, protein, and amino acids (dalam bahasa English). Washington: Institute of Medicine of the National Academies. hlm. 339. ISBN 0-309-08537-3. 
  7. ^ a b c (Inggris) Nugent AP (2005). "Health properties of resistant starch". Nutrition Bulletin (dalam bahasa English). Colchester: Wiley InterScience. 30: 27–54. doi:10.1111/j.1467-3010.2005.00481. [pranala nonaktif permanen] Kesalahan pengutipan: Tanda <ref> tidak sah; nama "Nugent" didefinisikan berulang dengan isi berbeda
  8. ^ (Inggris) Fuentes-Zaragoza E, Riquelme-Navarrete MJ, Sánchez-Zapata E, Pérez-Álvarez JA (2010). "Resistant starch as functional ingredient: A review". Food Research International (dalam bahasa English). in press. doi:10.1016/j.foodres.2010.02.004. 
  9. ^ a b c d e (Inggris) Englyst HN, Kingman SM, Cummings JH (1992). "Classification and measurement of nutritionally important starch fractions". Eur. J. Clin. Nutr. 46: S33–S50. ISSN 0954-3007. 
Kembali kehalaman sebelumnya