Pan Putu BudihartiniPAN PUTU BUDIHARTINI adalah Pendiri dan Pinisepuh dari Organisasi Penghayat Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa Dharma Murti. Ia lahir di Banjar Tengah, Desa Kerambitan, Kecamatan Kerambitan, Kabupaten Tabanan, Provinsi Bali pada tanggal 11 November 1947. Ia memiliki nama kecil bernama I Made Bakri. Ia adalah anak kedua, laki-laki sendiri, dari lima bersaudara dari pasangan Pan Lodri dan Men Lodri. Ia adalah putra Bali yang melakukan transmigrasi ke tanah Lampung yang memiliki julukan "Sang Bumi Ruwa Jurai". Ia beragama Hindu dengan pendidikan terakhir berada di jenjang Sekolah Rakyat (SR) atau setingkat Sekolah Dasar (SD) saat ini. Ia meninggal dunia di Rumah Sakit Umum Pusat (RSUP) Sanglah, Denpasar, Bali atau yang kini berganti nama menjadi Rumah Sakit Umum Pusat (RSUP) Prof. dr. I.G.N.G. Ngoerah, Denpasar, Bali pada hari Kamis Pahing, tanggal 3 Agustus 2006 karena sakit. Kisah KehidupanPada tanggal 16 September 1957, ia dan saudara-saudaranya mengikuti kedua orangtuanya untuk transmigrasi ke Provinsi Lampung, tepatnya di Desa Rama Dewa II, Kecamatan Seputih Raman, Kabupaten Lampung Tengah. "Dulu Desa Rama Dewa itu adalah hutan belantara. Kami meratakan dan membersihkan hutan itu agar dapat dibangun rumah untuk kami tinggali bersama kala itu," ucapnya. "Pada tahun 1959, Ayah saya meninggal dunia, sehingga praktis sekolah saya pun terputus karena tidak ada biaya untuk melanjutkan pendidikan," imbuhnya lagi. Menurut Pan Putu Budihartini, ia terlahir memang dari keluarga yang miskin dan tidak berkecukupan. Jangankan untuk bersekolah, untuk hidup sehari-hari saja terasa sulit baginya. Akhirnya pada tahun 1960, ibu kandungnya menikah lagi dengan orang dari Desa Rama Murti, Kecamatan Seputih Raman, Kabupaten Lampung Tengah. Sebuah desa yang terletak di satu kecamatan yang sama. Akhirnya ia pun hidup bersama saudara-saudaranya itu di rumah gubug, beratap alang-alang dan bocor, dan tidak punya apa-apa. Kala itu, ia masih berusia 12 tahun. "Jika saya mengingat kejadian-kejadian di masa lalu, saya seringkali meneteskan air mata. Saya terharu, sedih, terenyuh, dan hanya bisa menangis atas perjalanan kehidupan yang telah saya lalui itu," ucapnya lagi. Pada tahun 1963, ia berusia 16 tahun. Oleh karena, situasi keamanan dan ketertiban masyarakat (kamtibmas) pada saat itu rawan, maka ia bersama teman-temannya di satu desa belajar seni bela diri yaitu pencak silat dengan pelatih yang bernama Pan Sujana (asal Singaraja, Bali) selama kurang lebih 1 tahun hingga akhirnya tamat. Ada 12 peserta yang ikut belajar seni bela diri pencak silat itu, 6 diantaranya tamat sedangkan sisanya tidak tamat karena berhenti di tengah jalan. "Sedang asyiknya berlatih pencak silat, saya mendapat informasi bahwa kakak kandung saya, Ni Wayan Lodri, mengidap penyakit bebai, tingkah lakunya seperti orang gila. Saya pun bingung tujuh keliling karena tidak punya uang untuk membeli obat," ucapnya. Akhirnya, ia pun meminjam uang ke tetangga dan mencari seorang dukun yang terkenal kala itu yang bernama Bapak Anda (suku Sunda, Jawa Barat). Berkat pertolongannya, akhirnya kakak saya bisa sembuh. Pada tahun 1965, ia berusia 18 tahun. Ketika itu ada pergolakan G30S/PKI atau yang disebut Gerakan 30 September Partai Komunis Indonesia. Oleh Kepala Desa, ia diangkat menjadi Anggota Pertahanan Sipil (Hansip) atau yang kini bernama Satuan Perlindungan Masyarakat (Satlinmas) untuk membantu menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat dan membantu mengamankan lingkungan sekitar. "Pada usia ini, saya sangat tekun mempelajari ajaran Agama Hindu yang meliputi Veda, Sarasamuccaya, Bhagavad Gita, Kakawin Ramayana, Kakawin Arjuna Wiwaha, Babad Dukuh Suladri, Geguritan Sucita Subudhi, dan rajin melakukan Puja Tri Sandhya sebanyak 3x sehari," ucapnya menjelaskan. Pada tahun 1970, ia berusia 23 tahun dan mulai berani untuk membina rumah tangga dengan menikahi gadis cantik yang bernama Ni Ketut Kindrang Hariani. "Saya bersyukur kepadanya karena ia bersedia menerima saya dengan segala kekurangan yang saya miliki," ujarnya. Baru tiga bulan usia perkawinan, istrinya pun kena penyakit bebai yang membuat istrinya linglung, kebingungan, seperti orang gila -- seperti penyakit yang pernah dialami oleh kakak kandungnya kala itu. Akhirnya ia pun meminta pertolongan kepada Bapak Murti (asal Desa Angkah, Kecamatan Selemadeg Barat, Kabupaten Tabanan, Bali) dan istrinya pun bisa sembuh. Pada tahun 1971, ia berusia 24 tahun. Ia masih hidup miskin dengan segala keterbatasan secara ekonomi. Suatu ketika, ia mendadak sakit perut, demam, kepala pusing sampai tidak bisa bangun. Untuk memperoleh perawatan medis, akhirnya ia pun di gotong oleh tetangga ke puskesmas terdekat. Ia pun menjalani pengobatan di puskesmas cukup lama dan tidak kunjung sembuh. Oleh karena keterbatasan ekonomi yang dimiliki, akhirnya pengobatan secara medis pun terhenti. Beberapa hari kemudian, datanglah Bapak mertuanya dari Bali dan langsung menjenguknya di rumah. "Melihat kondisi kesehatan saya yang semakin menurun dan lemah, akhirnya Bapak Mertua meminta istri saya mengambil segelas air putih dan diberikan bunga. Beliau pun lalu menjampi air putih itu dengan mantra tertentu," ucapnya menceritakan. Lalu, air putih itu diminta untuk meminumnya. Dan atas mukjizat Tuhan Yang Maha Esa, akhirnya saya pun sembuh. "Atas kejadian ini, saya pun penasaran dan merasa tertarik untuk mengetahuinya lebih dalam. Mengapa bisa terjadi demikian?," gumam saya kala itu. Akhirnya Bapak Mertua memberikan dia doa atau mantra yang barusan digunakan untuk mengobati penyakit yang dialaminya. Menurut Bapak Mertua, doa atau mantra ini dapat digunakan untuk menolong orang pingsan, kesurupan, kena guna-guna dan mampu menolak berbagai kejahatan baik halus maupun kasar. Sejak tahun 1971 itu, ia merasa tergugah untuk mendalami ilmu kebatinan dengan lebih serius lagi. Singkat cerita doa atau mantra yang diberikan oleh Bapak Mertua, ia praktekkan dalam kehidupan sehari-hari dan banyak orang yang datang ke rumah untuk berobat. Akhirnya, lama kelamaan ia semakin terkenal, banyak pasien yang sembuh, dan mereka membicarakan pengalamannya berobat kepada orang lain dan sanak keluarga mereka. Bermula pada titik inilah, kehidupan perekonomian semakin membaik dan terus membaik. Berkat doa atau mantra yang sering ia lafalkan itu, ia merasakan kesehatannya semakin prima dan jarang sakit. Pada tahun 1980, ia berusia 33 tahun. Ia semakin serius mempelajari ilmu kebatinan warisan leluhur Bali. Pada tahun ini, ia mengembangkan ilmu tenaga dalam (kanuragan), pasang susuk, dan sabuk. Dengan kesederhanaan seperti itu, ia semakin terkenal bukan saja di Lampung tapi juga di Sumatera Selatan dan DKI Jakarta. Padahal kala itu, Organisasi Dharma Murti belum berdiri secara resmi namun ajarannya begitu diminati oleh masyarakat. Pada tahun 1981, ia berusia 34 tahun, ilmu kebatinan yang ia kembangkan semakin bertumbuh dan berkembang. Pada tahun 1982, ia berusia 35 tahun. Pada saat itu, ia mendengar ada organisasi kebatinan Sri Murni yang masuk Lampung dan dipimpin oleh I Nengah Cerita selaku Ketua DPD Provinsi Lampung kala itu. Ia mengikuti organisasi Sri Murni kurang lebih selama 8 bulan, semata-mata hanya mau belajar berorganisasi. Oleh karena ada konflik kepentingan antara DPD dan DPP yang tidak berkesudahan dan kondisi organisasi yang semakin tidak kondusif maka ia pun memutuskan untuk mundur dari organisasi Sri Murni itu. Akhirnya pada tanggal 17 November 1982 malam, ia berinisiatif mengadakan pertemuan dikediamannya dan dihadiri oleh sekitar 40 orang. Tujuan pertemuan adalah mau membentuk organisasi yang akan dipergunakan untuk mengangkat Budaya Spiritual Daerah Bali yang bersumber pada ajaran leluhur Bali yang dikenal dengan nama Tatwa Kanda Empat. Ilmu Kebatinan yang telah ia pelajari dan kembangkan selama 11 tahun terakhir secara otodidak (sejak tahun 1971) itu kemudian dikenal dengan nama ajaran Sapta Kanda Empat yang akan menjadi sumber ajaran dari Organisasi Dharma Murti. Oleh karena itu, Organisasi Dharma Murti acapkali dikenal juga dengan sebutan Perguruan Sapta Kanda Empat Dharma Murti. Daftar Pustaka
|