PKPU

PKPU atau yang disebut sebagai Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang menurut pendapat Munir Fuady di mana PKPU adalah periode waktu tertentu di mana diberikan oleh undang-undang melalui putusan pengadilan niaga, dalam periode tersebut baik kreditur dan debitur diberikan suatu kesepakatan musyawarah dalam cara-cara pembayaran utang-utang dengan memberikan rencana perdamaian pada seluruh atau sebagian dari utang itu termasuk juga dalam merestrukturisasi utang tersebut.[1]

Pada Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan PKPU Pasal 222 ayat (2) bahwa Debitur tidak dapat atau memperkirakan dalam dapat melanjutkan membayar utang-utangnya yang sudah jatuh waktu dan dapat ditagih, maka dapat memohon PKPU dengan maksud untuk mengajukan perdamian yang meliputi tawaran pembayaran sebagian atau seluruh utang kepada kreditur.[2]

Permohonan

Dalam PKPU yang dapat mengajukan permohonan bisa:

  1. Kreditur
  2. Debitur

Pengajuan diajukan ke Pengadilan Niaga, pengajuan dapat dilakukan sebelum permohonan pailit ataupun setelah adanya permohonan pailit asalkan diajukan paling lambat pada sidang pertama pemeriksaan permohonan pernyataan pailit.

Tujuan

Tujuan adanya penundaan kewajiban pembayaran utang atau disebut PKPU adalah dengan tercapainya perdamaian, fungsi perdamaian terkait ini untuk mengetahui keberadaan perusahaan, potensi perusahaan tersebut apakah ada kemungkinan masih adapat bangkit kembali dari jeratan utang-utang yang ada terhadap krediturnya.

Tidak berlaku

Pada Pasal 244 menjelasakan mengenai Pasal 246 dalam Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang tidak berlaku terhadap, di antaranya:[2]

  1. Dengan tagihan yang dijamin gadai, jaminan fidusia, hipotik, hak tanggungan, atau hak guna atas kebendaan lainnya;
  2. Dengan tagihan biaya pemeliharaan pengawasan atau pendidikan yang sudah harus dibayar dan hakim pengawas harus mementukan jumlah tagihan yang sudah ada dan belum dibayar sebelum adanya PKPU yang bukan merupakan tagihan dengan hak untuk diistimewakan.
  3. Tagihan yang diistimewakan terhadap seuatu benda tertentu milik debitur maupun pada seluruh harta debitur yang tidak tercakup dalam point kedua.

Referensi

  1. ^ Fuadi, Munir (2001). Pengantar Hukum Bisnis. Bandung: Citra Aditya Bakti. 
  2. ^ a b Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004. 
Kembali kehalaman sebelumnya