Oriental Film
Oriental Film adalah rumah produksi film yang terletak di Batavia, Hindia Belanda (sekarang Jakarta, Indonesia). Didirikan oleh pebisnis Tionghoa Tjo Seng Han tahun 1940, rumah produksi ini menyelesaikan empat film hitam putih sebelum ditutup tahun 1941; semuanya ditayangkan sampai pertengahan 1940-an namun salinannya sekarang diduga hilang. Film-film buatan Oriental disutradarai oleh dua orang, Njoo Cheong Seng dan Sutan Usman Karim, dan mengangkat nama-nama aktor seperti Dhalia dan Soerip. Oriental Film didirikan saat kebangkitan industri perfilman Hindia Belanda. Film pertamanya, Kris Mataram, dirilis bulan Juli 1940. Film yang dibintangi Fifi Young (istri Njoo) ini sangat bergantung pada ketenaran Young sebagai aktris panggung agar bisa menarik penonton. Oriental merilis tiga film lagi yang ditujukan pada penonton kelas bawah dan diiringi musik keroncong. Film terakhirnya adalah Panggilan Darah (1941) yang rampung setelah Njoo dan Young pindah ke Majestic Film. Oriental tidak mampu menutupi biaya sewa studio milik pemerintah Belanda sehingga terpaksa ditutup pada tahun 1941. PendirianPasca kesuksesan Terang Boelan (1937), Fatima (1938), dan Alang-Alang (1939), industri film Hindia Belanda – yang terpuruk akibat Depresi Besar – mulai menggeliat. Produksi film meningkat dan pada tahun 1940, empat rumah produksi baru dibuka, termasuk Oriental Film.[1] Didanai sepenuhnya oleh pebisnis Tionghoa Tjo Seng Han, kantor pusat Oriental didirikan di Jalan Matraman No. 42, Batavia Timur (sekarang Jakarta);[2] menurut harian Sin Po, studio ini memiliki fasilitas yang sederhana.[3] Pebisnis Tionghoa lainnya, Tjan Hock Siong, ditugaskan menangani aktivitas harian studio ini.[2] Tjo dan Tjan memboyong Njoo Cheong Seng, seorang dramawan yang pernah bekerja di Orion Opera sebelum membentuk grup sandiwaranya sendiri, dan istrinya, Fifi Young. Keduanya sudah tenar duluan berkat keterlibatan mereka di panggung drama, dan Oriental berharap ketenaran mereka dapat menggaet lebih banyak penonton.[2] Pengontrakan Njoo dan Young merupakan baigan dari kebiasaan mencari aktor dan kru panggung yang terlatih untuk disertakan dalam industri perfilman. Terang Boelan memanfaatkan ketenaran bintang panggung Roekiah dan suaminya Kartolo dengan efek yang luar biasa. Keduanya juga menjadi sumber kesuksesan finansial Tan's Film setelah dikontrak di sana.[a][4] ProduksiFilm pertama Oriental, Kris Mataram, disutradarai oleh Njoo dan dibintangi oleh Young dan Omar Rodriga. Film ini mengisahkan seorang perempuan ningrat (diperankan Young) yang menikahi seorang bangsawan meski tak disetujui orang tuanya.[5] Untuk film ini, Njoo mempekerjakan Joshua Wong dari Tan's sebagai sinematografer, kemudian memakai nama Wong dalam iklannya: "[Kris Mataram] dijamin oleh J. Wong".[b][2] Dirilis bulan Juli 1940, film ini ditargetkan pada penonton kelas bawah – terutama pencinta bioskop yang sudah mengenali wajah Young.[6] Ulasan di Soerabaijasch Handelsblad memuji film ini dan menyebutnya "memukau sampai adegan terakhir".[c][7] Sebelum film kedua dibuat, Oriental menyewa studio milik Algemeen Nederlandsch Indisch Filmsyndicaat (ANIF) di Molenvliet, Batavia,[d] dengan harga 1.500 gulden per bulan. Harga sewa ini juga mencakup perlengkapan studio dan kamerawan J.J.W. Steffans, serta beberapa fasilitas seperti pendingin udara dan telepon di setiap kantor dan lampu untuk syuting malam.[8] Lahan besar di sampingnya juga masuk dalam kontrak sewa. Dengan menyewa kompleks ANIF, Oriental menjadi studio terbesar dan paling modern di Hindia Belanda.[9] Njoo mulai menunjukkan kesukaannya akan hal-hal sensasi yang kemudian ditunjukkan dalam film Zoebaida pada Desember 1940.[10] Untuk film romansa yang berlatar di Timor dan dibintangi Young ini, Oriental menggunakan kostum cerah dan mewah. Njoo memberi tokoh-tokohnya nama yang unik yang tidak ada di tempat aslinya.[11] Alih-alih syuting langsung di lapangan – yang memakan biaya mahal – Oriental membangun panggung di belakang ANIF Studio.[3] Para kritikus film menyebut bahwa Zoebaida dilebih-lebihkan dan sangat mencerminkan pengaruh pengarahan panggung.[12] Oriental merilis film ketiganya, Pantjawarna, pada bulan Maret 1941.[13] Dibintangi Young, film ini – yang mengisahkan seorang perempuan yang harus membesarkan kedua putrinya karena suaminya dipenjara – menampilkan dua aktris baru, Dhalia dan Soerip. Keduanya yang kala itu masih remaja sudah pernah terlibat dalam pementasan panggung dan dikenal karena suaranya. Kemampuan menyanyi mereka dimanfaatkan di sebagian lagu keroncong yang muncul di Pantjawarna.[14] Film ini mendapat pujian dari para kritikus, dan pemeranan Young dipuji oleh Bataviaasch Nieuwsblad dan Soerabaijasch Handelsblad.[15] Setelah Pantjawarna, Fred Young membawa Njoo dan istrinya ke Majestic Film yang baru didirikan .[e][16] Karena kehilangan sutradara dan pemeran utamanya, Oriental mempekerjakan jurnalis Sutan Usman Karim[f] untuk menyutradarai film keempatnya, Panggilan Darah. Film yang ditulis Karim dan dibintangi Dhalia dan Soerip ini berkisah tentang dua anak yatim piatu yang berusaha bertahan hidup di Batavia.[17] Film ini tayang perdana bulan Juni 1941 dan banyak menampilkan pabrik tokok Nitisemito. Sejarawan film Indonesia Misbach Yusa Biran berpendapat bahwa Oriental dibayar oleh Nitisemito supaya bisa beriklan dalam film.[18] Ia menyebut film ini lumayan sukses, namun tanggapannya beragam.[19] Penutupan dan warisanSetelah Panggilan Darah, Oriental – yang pelan-pelan merugi – mengakhiri kontrak sewa studio ANIF dan dijual ke Multi Film milik Belanda. Walaupun mereka berharap bisa memproduksi film narasi dengan perlengkapan yang mungkin kurang modern, perusahaan ini terpaksa bubar.[20] Para pemeran dan kru Oriental pindah ke studio lain.[21] Suska dikontrak oleh Java Industrial Film dan menyutradarai satu film saja, Ratna Moetoe Manikam.[22] Dhalia pindah ke Populair's Film dan terlibat dalam satu film, Moestika dari Djemar (1942), sebelum pendudukan Jepang bulan Maret 1942 mengakhiri keberadaan studio ini.[23] Soerip bergabung dengan Njoo dan Young di Majestic Film; mereka terlibat di dua film sebelum Majestic ditutup.[24] Dalam kurun dua tahun, Oriental menelurkan empat film; semuanya film cerita hitam putih dan dirilis secara luas di Hindia Belanda.[16] Beberapa film seperti Panggilan Darah sukses di luar negeri; film tersebut ditayangkan di Singapura (bagian dari Negeri-Negeri Selat) pada September 1941.[25] Film ini menargetkan penonton kelas bawah dan sangat sering memakai musik keroncong. Untuk produksi musiknya, Oriental mendirikan Oriental Novelty Five.[26] Walaupun film-filmnya masih tayang sampai pertengahan 1940-an,[g] salinannya diduga sudah hilang.[h] Meski Oriental tidak berumur panjang, sebagian aktor dan kru yang dipekerjakannya berhasil merintis karier yang gemilang. Njoo, setelah menangani dua film untuk Majestic tahun 1941, menghabiskan hampir satu dasawarsa di teater sebelum kembali menyutradarai film pada pertengahan 1950-an.[27] Fifi Young, yang melanjutkan kariernya bersama Njoo sampai bercerai tahun 1945, tampil di lebih dari 80 film sebelum meninggal dunia tahun 1975.[28] Dhalia dan Soerip juga memiliki karier yang bagus; keduanya terus berakting sampai 1990-an, Dhalia terlibat di 52 film dan Soerip 25 film.[29] Catatan penjelas
Referensi
Bacaan lanjutan
|