Orang Sunda di Singapura
Orang Sunda di Singapura adalah kelompok kecil dari suku Sunda dalam kelompok orang Indonesia perantauan yang diklasifikasikan sebagai bangsa/ras Melayu menurut sensus penduduk oleh Pemerintah Republik Singapura. Wilayah asli mereka berasal dari bagian barat Pulau Jawa di Indonesia yang saat ini meliputi Jawa Barat, Banten, Jakarta, dan sebagian kecil Jawa Tengah (Brebes dan Cilacap). PopulasiPada awal abad ke-21, masyarakat Singapura yang masih mempunyai keturunan Sunda tidak begitu banyak di sana. Mereka juga bukan merupakan keturunan pertama, dalam artian mereka telah mengalami banyak percampuran dengan kelompok etnis lainnya, terutama masyarakat arus utama Melayu. Di Singapura, mereka diklasifikasikan dalam kategori sebagai bangsa/ras Melayu. Perlu diketahui bahwa di Singapura secara konstitusional mengakui empat bangsa/ras yang berbeda, yakni Tionghoa, Melayu, India, dan Eurasia.[1] Menurut seorang keturunan Sunda di Singapura, Zachry Hasard (40), diperkirakan bahwa jumlah orang Sunda atau keturunannya berjumlah sekitar 500 hingga 600 orang saja pada tahun 2003. Itupun kebanyakan dari mereka sudah tidak lagi murni keturunan Sunda. Dari jumlah tersebut, sebagian besar berasal dari kawasan Priangan Timur yang meliputi Garut, Tasikmalaya, Kuningan, dan Majalengka. Nenek moyang mereka pertama kali tiba di Singapura, sebagian besar berprofesi sebagai pedagang. Hal tersebut dikarenakan masyarakat Sunda dari kawasan Priangan Timur memang dikenal sebagai pedagang yang ulet.[1] Sementara dari kawasan Priangan Barat, seperti Bandung, Cianjur, Sukabumi, Bogor, serta juga dari Banten, sebagian besar berprofesi sebagai ambtenar (pegawai pemerintahan). Meskipun begitu, tentu saja tidak bisa dihiraukan bahwa sebagian besar penduduk kawasan Priangan pada awal abad ke-20 berprofesi sebagai petani juga. Saat ini, profesi mereka tidak jauh berbeda dengan penduduk Singapura pada umumnya. Diantaranya berprofesi sebagai karyawan swasta, pegawai pemerintahan, peniaga, dan berbagai profesi lainnya.[1] Bahasa dan budayaPada saat ini, tidak banyak diantara keturunan Sunda yang mampu bertutur menggunakan bahasa Sunda atau setidaknya memahaminya. Meskipun demikian, kesadaran dan ketertarikan bahasa dan budaya leluhurnya oleh keturunan Sunda, bisa dikatakan cukup positif. Hal ini bisa dilihat dari aktifnya para keturunan Sunda tersebut dalam kelompok kesenian gamelan Sunda dan pencak silat yang dinamai "Sunda Padjadjaran".[2] Dalam melestarikan budaya warisan leluhurnya, kebanyakan dari mereka yang merupakan keturunan ketiga suku Sunda di Singapura ini, cukup serius berlatih dan dalam beberapa jangka waktu tertentu juga mendatangkan pelatih yang didatangkan langsung dari Jawa Barat, Indonesia. Hal tersebut dimaksudkan agar memberikan ciri khas Sunda yang lebih kental, Karena bisa dikatakan, komunitas keturunan Sunda di Singapura, saat ini telah menjadi Melayu, baik dalam segi bahasa maupun seni dan kebudayaannya.[1] Kelompok gamelan "Sunda Padjadjaran" di Singapura didirikan pada tahun 1948, dirintis oleh orang tua dari Zachry Hasard. Perkembangannya memang sempat mengalami masa sulit, namun akhirnya kembali aktif dan kepengurusannya tertata lagi sejak akhir tahun 1980an. Pada daat ini, selain berlatih untuk lingkup acara keturunan Sunda saja, kelompok gamelan "Sunda Padjadjaran" ini sering juga tampil dalam berbagai acara khusus, terutama dalam acara pernikahan, kemudian juga tampil dalam acara-acara yang disponsori oleh pemerintah maupun pihak swasta.[1] AgamaSeperti kelompok etnis lainnya yang diklasifikasikan sebagai bangsa/ras Melayu oleh Pemerintah Republik Singapura, sebagian besar atau hampir seluruh masyarakat keturunan Sunda di Singapura menganut agama Islam. Dalam teks naskah Raden Demang Panji Nagara yang terdapat dalam Katalogus Van Ronkel, dikisahkan bahwa seorang bangsawan Sunda keturunan Sumedang Larang di Sumedang pergi untuk melakukan ibadah haji di Mekah bersama dengan 24 pengikutnya. Mereka berangkat pada 14 Agustus 1852 dari Sumedang menuju ke Cirebon melalui desa Tomo. Dari Pelabuhan Cirebon, rombongan tersebut akhirnya berlabuh di Singapura melalui Muntok di Bangka dan Riau. Dari Singapura yang saat itu merupakan koloni Inggris, mereka kemudian melanjutkan perjalanan dengan sebuah kapal Arab yang mengangkut sekitar 250 jamaah haji.[3] Lihat jugaReferensi
Pranala luar |