Napoleon Bonaparte (polisi)
Irjen. Pol. (Purn.)[1] Drs. H. Napoleon Bonaparte, M.Si. (lahir 26 November 1965) atau lebih dikenal dengan nama Batara, adalah seorang purnawirawan Polri yang jabatan terakhirnya adalah Analis Kebijakan Utama Itwasum Polri. Bonaparte, merupakan lulusan Akademi Kepolisian (Akpol) tahun 1988 dan berpengalaman dalam bidang reserse. Selain itu juga beliau merupakan putra daerah Sumatera Selatan yang berasal dari Batu Panceh, Tebing Tinggi, Empat Lawang. Riwayat JabatanBerikut adalah riwayat jabatan Napoleon Bonaparte di Kepolisian:[2][3]
KasusKasus Djoko TjandraSaat ini, Napoleon Bonaparte merupakan tahanan kasus suap dari seorang terpidana korupsi Djoko Tjandra. Napoleon Bonaparte terlibat dalam skandal pelarian buron kasus Bank Bali, Djoko Tjandra yang bisa keluar masuk Indonesia. Sementara itu, Djoko Tjandra telah menjadi buronan sejak tahun 2009. Sebagai pejabat kepala Divisi Hubungan International Polri, Bonaparte memiliki peran dalam menghilangkan nama Djoko Tjandra dari red notice—sebuah pemberitahuan yang digunakan oleh Interpol untuk mengidentifikasi seorang buronan internasional—, atau DPO.[2] Napoleon terbukti menerima suap sebanyak $350.000 Amerika Serikat (RP 5,137 miliar) dan $200.000 Singapura (Rp 2,1 miliar).[5] Kasus ini pertama kali mencuat, ketika Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (MAKI) menyatakan bahwa ada aparat yang terlibat dalam mengeluarkan surat jalan Djoko Tjandra. Keterlibatan Bonaparte dalam hilangnya nama Djoko Tjandra dari daftar red notice Interpol, dibenarkan oleh Kepala Biro Penerangan Masyarakat (Karo Penmas) Divisi Humas Polri, Brigjen Awi Setiyono. Dan tindakan tersebut merupakan pelanggaran kode etik.[2] KronologiDalam persidangan Bonaparte, Jaksa menyatakan bahwa Tjandra mengenal Bonaparte melalui teman-temannya, yakni Tommy Sumardi dan Prasetijo Utomo. Tommy Sumardi adalah seorang pengusaha kerabat dekat Djoko Tjandra,[6] dan Prasetijo Utomo seorang jendral polisi yang sedang menjabat sebagai kepala Badan Koordinasi dan Pengawasan Penyidik Pegawai Negeri Sipil Bareskrim Polri, sementara Napoleon Bonaparte menjabat sebagai kepala Divisi Hubungan Internasional Polri. Sumardi kemudian bertemu dengan Bonaparte pada 16 April 2020 di Trans-National Crime Center sambil membawa kantong kertas berwarna merah marun. Keesokan harinya, Sumardi pergi lagi ke tempat yang sama, dan kali ini dia ditemani oleh Prasetijo Utomo.[7] Bonaparte menerima uang $200,000 Singapura pada 28 April 2020, kemudian $100,000 pada 29 April 2020, dan $150,000 pada 4 Mei 2020. Pada tanggal 4 Mei 2020, Bonaparte menginstruksikan kepada salah satu bawahannya yakni Tommy Aria Dwianto, untuk membuat surat atas nama Divisi Hubungan Internasional dengan judul "Pembaruan Data Pemberitahuan Interpol" kepada Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia. Keesokan harinya, dia membuat surat serupa ke Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia, kali ini menginformasikan kementerian bahwa data telah dihapus. Bonaparte menerima lagi uang setelah mengirim surat kedua.[8] VonisNapoleon Bonaparte sudah divonis empat tahun penjara dengan denda Rp 100.000.000 dan subsider enam bulan kurungan oleh Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat tanggal 10 Maret 2021 Nomor 46/PID.SUS-TPK/2020/PM.JKT.PST, dan dikuatkan oleh Pengadilan Tinggi Jakarta pada putusan banding yang diajukan oleh Napoleon, dan banding ditolak.[9] Penganiayaan Muhammad KacePada 18 September 2021, Bonaparte diberitakan terlibat dan melakukan penganiayaan terhadap Muhammad Kace, seorang tersangka kasus penistaan agama yang sama-sama ditahan di rutan Bareskrim Polri. Direktur Tindak Pidana Umum, Brigadir Jenderal Andi Rian, menyatakan bahwa kasus tersebut telah diselidiki dan memeriksa para saksi atas peristiwa itu, dan akan menetakan tersangka kepada pelaku penganiayaan.[10] Referensi
|