Namsadang Nori
Namsadang Nori atau Pertunjukkan Namsadang adalah pertunjukkan kesenian tradisional dari Korea.[1][2] Pada zaman dahulu Kelompok Namsadang (Namsadangpae) berkeliling menghibur rakyat-rakyat miskin di pedesaan dengan menyampaikan pesan-pesan sosial, umumnya untuk menyuarakan kebebasan dan kesetaraan dalam masyarakat.[2] Namsadang Nori merupakan penampilan yang dahulu dipentaskan oleh Namsadangpae dan sekarang telah dilestarikan oleh kelompok seniman Korea Selatan.[2] Pertunjukkan ini menampilkan musik petani (pungmul) yang dimainkan dengan alat-alat musik tradisional, tari topeng, berjalan di atas tali (eoreum), permainan wayang boneka, dan akrobat-akrobat.[2] Namsadang Nori yang merupakan Warisan Budaya Nonbendawi Korea Selatan Nomor 3 tahun 1964 dan juga diakui sebagai Karya Agung Warisan Budaya Lisan dan Nonbendawi Manusia oleh UNESCO pada tahun 2009.[2] SejarahIstilah Kwangdae digunakan untuk menyebut kelompok pertunjukkan kesenian pada masa Dinasti Joseon (1392-1910).[3] Kwangdae dikenal pula sebagai chae-in ("orang berbakat") yang khusus menampilkan pertunjukkan tarian, bermain wayang boneka, berjalan di atas tali, akrobat dan pansori (opera tradisional).[3] Kelompok ini bahkan telah muncul semenjak zaman Tiga Kerajaan Korea (abad 1 SM-7 M). Kelompok Kwangdae terbagi menjadi dua jenis.[3] Jenis pertama adalah mereka yang menampilkan pertunjukkan di acara kaum bangsawan.[3] Mereka menghibur dengan cara menyanyi, menari, memainkan alat musik, dan berjalan di atas tali. Mereka ini dikenal juga dengan taryeong kwangdae atau "Kwangdae yang menunggu untuk diperintah".[3] Jenis kedua adalah tteun kwangdae atau "Kwangdae yang mengapung".[3] Di antara kelompok seniman ini termasuk kelompok Namsadang (Namsadangpae) yang anggotanya terdiri dari laki-laki.[3] Kaum wanita juga memiliki kelompoknya sendiri, yang dinamakan Sadangpae dan menampilkan pertunjukkan hiburan yang serupa.[3] Selain dua kelompok penghibur ini, ada berbagai kelompok pertunjukkan lain, antara lain Changipae, Taegwangdaepae, Choranipae, Kollipae, Chungmaegu, Kaksoripae, dan Yaegi Changsa.[3] Sampai tahun 1920, berbagai kelompok pementasan ini masih melakukan pertunjukkan, walaupun jumlah dan aktivitas mereka sudah sangat berkurang.[3] Pada saat ini Namsadang merupakan kelompok pertunjukkan keliling satu-satunya yang masih tersisa dan aktivitas pementasannya sebagian besar dilakukan di sekitar wilayah DKI Seoul.[3] Terdapat sedikit referensi akurat mengenai asal mula kelompok Namsadang dan perkembangan sejarahnya.[3] Karena pertunjukan mereka hanya ditampilkan untuk rakyat jelata bukan untuk kaum bangsawan sehingga referensi-referensi sejarah yang ada umumnya cenderung mensensor dan merendahkan.[3] Contohnya catatan dari kantor pemerintahan lokal yang menyebutkan "Pertunjukkan ini harus dilarang".[3] Singkatnya, tidak ada keinginan untuk merekam informasi tentang asal dan latar belakang dari kelompok ini.[3] Pertunjukkan ini sangat terkenal di kalangan masyarakat kelas bawah pada zaman Dinasti Joeson dan telah diwariskan dari generasi ke generasi sebagai bagian dari pelestarian kebudayaan.[2] BaudeogiBaudeogi adalah seorang tokoh legendaris Namsadang.[4] Ia adalah anak perempuan yang menjadi pemimpin (kkokdusoe) Kelompok Namsadang dalam usia 15 tahun.[4] Berdasarkan catatan sejarah, Baudeogi sangat terkenal akan kemampuannya dalam menghibur masyarakat Korea pada saat itu.[4] Ia mengadakan pertunjukkan di Istana Gyeongbok untuk menghibur para pekerja yang sedang memperbaiki bangunan istana.[4] Setelah perbaikan selesai, Heungseon Daewongun, ayah Raja Gojong menjadi sangat senang dan menganugerahkan gelar tertinggi setara dengan gelar pejabat istana, Okgwanja, kepada kelompok namsadang yang dipimpinnya.[4] Sejak tahun 2001, Festival Namsadang Baudeogi Anseong diselenggarakan setiap tahun untuk memperingati jasa-jasa Baudeogi.[4] KomposisiKelompok Namsadang memiliki kelompok antara 40-50 orang laki-laki yang terdiri dari seorang pemimpin (kkokdusoe), asisten (kombaeng-isoe), perencana pertunjukkan (hwaju), pemain musik (tteunsoe), pelakon (gayeol), pelatih (ppiri) dan pembawa barang.[5] Kkokdusoe bertanggungjawab mengatur semua pertunjukkan kelompok dan memutuskan untuk melakukan pementasan keliling dan membubarkan kelompok.[3] Kelompok ini memerlukan setidaknya 50 orang untuk menampilkan pertunjukkan yang sempurna dan kekuatan kelompok dihimpun dari kombinasi berbagai metode pertunjukkan.[3] Pada masa lalu, kkokdusoe harus meminta izin kepada orang tua untuk mengajak anak mereka, dan banyak petani miskin yang senang melepas anak mereka karena tidak mampu memeliharanya.[3] Kelompok Namsadang juga menerima anak yatim dan para pelarian.[3] Tergantung pada besarnya jumlah anggota, kkokdusoe didampingi oleh asisten yang dinamakan kombaeng-isoe.[3] Kombaeng-isoe berperan sebagai peminta izin untuk mengadakan pertunjukkan di sebuah desa.[3] Jika ada dua orang kombaeng-isoe, yang satunya bertugas untuk memenuhi konsumsi anggota kelompok, sehingga ia disebut juga keul kombaeng-isoe yang artinya kombang isoe-nasi.[3] Para musisi atau seniman yang menampilkan berbagai pertunjukkan Namsadang terdiri dari 14 orang atau dinamakan tteunsoe.
PertunjukkanPertunjukkan Namsadang terbagi atas beberapa pertunjukkan yakni pungmul, beona, salpan, eoreum, deotboegi, dan deolmi.[6] Pertunjukkan Namsadang biasanya dimulai pada malam hari dan dipentaskan semalaman selama 6 sampai 7 jam dan berakhir keesokan harinya.[6] Pada zaman dahulu Kelompok Namsadang yang datang berkunjung akan membuat seisi desa berpesta.[6] Sang pemimpin (kkokdusoe) pertama kali akan meminta izin pada kepala desa untuk menampilkan pertunjukkan, dan setelah disetujui mereka akan mengucapkan kalimat "Gombaengi teotdda".[6] Setelah itu mereka akan mulai berkeliling desa dan mengumpulkan penonton.[6] Saat memasuki desa mereka akan melewati jembatan, sumur dan kuil, jadi mereka akan mengadakan persembahan untuk dewa dan arwah pelindung desa.[6] Masyarakat desa akan menyajikan makanan seperti mie, arak dan kue beras untuk mereka.[6] PungmulPungmul, adalah pertunjukkan musik yang dipentaskan dengan alat-alat musik tradisional seperti janggo (genderang jam pasir), kwaenggwari (gong kecil), jing (gong besar), buk (genderang), dan taepyongso (terompet).[3][5] Fungsi dari pungmul adalah untuk mengumpulkan para penonton.[5] Saat musik dimainkan, para penari muncul dengan pertunjukkan Mudong Nori, yakni anak-anak yang berdiri di atas bahu para penari yang bertujuan untuk mendoakan kemakmuran.[7] Para penari lain menampilkan Sangmo Nori, yakni menari dengan memutar-mutarkan pita (sangmo) di atas topi.[7] Permainan pungmul diakhiri dengan permainan samulnori.[5] Karena pada masa lalu kelompok Namsadang berkeliling negeri Korea, mereka memilih untuk menampilkan ritme musik yang paling khas dari daerah tersebut.[3] Satu kelompok pemain musik terdiri dari 30 orang musisi, aktor dan penyanyi.[3] Setiap alat musik dimainkan berkelompok seperti jing dimainkan 2 orang, kwenggwari dimainkan 3 orang, janggu dimainkan 6 orang, 3 orang pemain buk (genderang besar), 8 pemain sogo (tambur kecil), 2 pemain terompet, dan sisanya adalah penari anak-anak, aktor dan pembawa bendera.[3] BeonaBeona adalah permainan memutar-mutarkan perabotan rumah seperti mangkuk, baskom, atau piring besar dengan menggunakan tongkat kecil dari kayu.[3] Sambil melakukan adegan tersebut, sang pemain akan melontarkan lawakan dengan pemain lainnya.[3] SalpanSalpan adalah pertunjukkan akrobat yang dimainkan oleh 3 orang yang melakukan jungkir balik, berjalan dengan tangan sambil melawak dengan rekannya.[3] EoreumEoreum atau jultagi adalah pertunjukkan berjalan di atas tali.[3] Makna sesungguhnya adalah berjalan di atas es, dikarenakan berjalan di atas tali dianggap sama sulitnya dengan berjalan di atas es.[3] Para pemain akrobat ini beraksi mengikuti musik yang dimainkan pemain genderang dan berjalan maju mundur.[3] Ia melakukan adegan loncat-loncat dan kadang-kadang mengaitkan dirinya di tali.[3] DeotboegiDeotboegi adalah drama tari topeng yang ditampilkan oleh kelompok Namsadang khusus untuk menarik minat dan perhatian dari penonton lokal, sehingga agak berbeda dibandingkan drama tari topeng regional yang lebih kuat elemen ritualnya.[3] Dialog dan pementasan yang ditampilkan berisikan lawakan dan lakon konflik antara kaum bangsawan dan rakyat jelata yang terdiri dari 4 episode.[3] DeolmiDeolmi adalah permainan wayang boneka Kelompok Namsadang yang namanya berasal dari cara menggerakan deolmi (tengkuk) boneka.[3] Pada zaman dahulu permainan wayang yang populer adalah kkokdugaksi noreum, bakcheomji noreum, dan hongdongji noreum.[3] Namun pada saat ini hanya kkokdugaksi noreum yang masih dimainkan.[3] Tema yang dimainkan umumnya adalah mengenai penyalahgunaan kekuasaan oleh pemimpin dan perlawanan dari masyarakat, sindiran terhadap biksu Buddha yang murtad, serta harapan dan aspirasi rakyat jelata.[3] Sekitar 40 buah boneka dimainkan dalam 2 episode yang dibagi kedalam 7 babak yang saling berkaitan maupun lepas.[3] PreservasiKelompok Namsadang yang paling terkenal di Korea adalah Kelompok Namsadang Baudeogi Anseong dari Anseong, Provinsi Gyeonggi.[1] Kelompok ini telah ada semenjak masa pemerintahan Raja Sukjong (tahun 1661-1720) pada zaman Dinasti Joseon.[1] Kelompok Namsadang telah melakukan pentas di berbagai negara dan di Korea sendiri telah menjadi salah satu pertunjukkan kesenian yang paling terkenal.[3] Park Kye-sun dan Nam Gi-hwan adalah pemain Namsadang yang mendapat gelar sebagai harta nasional hidup dan Park Yong-tae dikenal pula atas upayanya dalam membuat kerajinan topeng dan boneka tradisional.[3] Setelah zaman keemasan Baudeogi, keturunan seniman Namsadang berusaha keras untuk mewariskan permainan Namsadang di Anseong.[1] Festival Baudeogi Anseong diselenggarakan setiap tahun sejak tahun 2001 untuk menghormati jasa-jasa Baudeogi, pemimpin (kkoktusoe) Namsadang terakhir pada zaman Dinasti Joseon, yang berkontribusi terhadap terpilihnya Namsadang sebagai warisan budaya dunia.[1] Referensi
|