Muslim Tionghoa dalam Perang Tiongkok-Jepang Kedua

Tiongkok Barat Laut tahun 1939: prajurit Muslim Tionghoa berkumpul untuk bertempur melawan Jepang.[1]

Muslim Tionghoa dalam Perang Tiongkok-Jepang Kedua didekati oleh panglima Tionghoa maupun Jepang, tetapi mereka cenderung mendukung Tiongkok melawan Jepang, dengan ataupun tanpa dukungan dari eselon atas pasukan Tionghoa. Jepang mencoba merangkul etnis minoritas agar mereka mau membantu Jepang selama Perang Tiongkok-Jepang Kedua, tetapi hanya berhasil dengan negara boneka Manchukuo dan Mengjiang.

Banyak panglima Muslim Hui seperti Bai Chongxi, Ma Hongbin, Ma Hongkui, dan Ma Bufang yang bertempur melawan Jepang. Jepang mencoba mendekati Ma Bufang, tetapi gagal membuat kesepakatan dengannya.[2] Ma Bufang pada akhirnya mendukung Imam Hu Songshan yang anti-Jepang dan mendoakan kehancuran Jepang.[3] Ma menjadi ketua (gubernur) Qinghai pada tahun 1938 dan memimpin sekelompok pasukan. Ia diangkat karena memiliki pandangan anti-Jepang,[4] dan sangat mengganggu upaya agen Jepang untuk berhubungan dengan orang-orang Tibet sampai-sampai Ma disebut sebagai "musuh" oleh agen Jepang.[5]

Jepang sendiri mencoba membenarkan invasi ke Tiongkok dengan janji pembebasan dan hak menentukan nasib sendiri kepada umat Muslim Tionghoa. Namun, mereka menolaknya, dan jihad dinyatakan wajib untuk semua orang Muslim Tionghoa dalam perang melawan Jepang. Publikasi Muslim Tionghoa yang berjudul Yuehua mengutip ayat-ayat Quran dan Hadits untuk menjustifikasi kewajiban untuk mengikuti Chiang Kai-Shek selaku pemimpin Tiongkok dan juga membenarkan jihad melawan Jepang.[6][7]

Referensi

  1. ^ Lin, Hsiao-ting (13 September 2010). "4 War and new frontier designs". Modern China's Ethnic Frontiers: A Journey to the West. Routledge Studies in the Modern History of Asia. Routledge. hlm. 66. ISBN 978-1-136-92393-7. 
  2. ^ Frederick Roelker Wulsin; Mary Ellen Alonso; Joseph Fletcher (1979). China's inner Asian frontier: photographs of the Wulsin expedition to northwest China in 1923 : from the archives of the Peabody Museum, Harvard University, and the National Geographic Society. Cambridge, Massachusetts: Peabody Museum of Archaeology and Ethnology, Harvard University. hlm. 50. ISBN 0-674-11968-1. 
  3. ^ Stéphane A. Dudoignon; Hisao Komatsu; Yasushi Kosugi (2006). Intellectuals in the modern Islamic world: transmission, transformation, communication. Taylor & Francis. hlm. 261. ISBN 0-415-36835-9. 
  4. ^ Robert L. Jarman (2001). China Political Reports 1911–1960: 1942–1945. Archive Editions. hlm. 311. ISBN 1-85207-930-4. Diakses tanggal 2010-06-28. 
  5. ^ Hisao Kimura; Scott Berry (1990). Japanese agent in Tibet: my ten years of travel in disguise. Serindia Publications, Inc. hlm. 232. ISBN 0-906026-24-5. Diakses tanggal 2010-06-28. 
  6. ^ Masumi, Matsumoto. "The completion of the idea of dual loyalty towards China and Islam". Diarsipkan dari versi asli tanggal 2011-07-24. Diakses tanggal 2010-06-28. 
  7. ^ Stéphane A. Dudoignon; Hisao Komatsu; Yasushi Kosugi (2006). Intellectuals in the modern Islamic world: transmission, transformation, communication. Taylor & Francis. hlm. 135, 336. ISBN 0-415-36835-9. 


Kembali kehalaman sebelumnya