Muhammad bin Yahya
Habib Muhammad bin Yahya (bahasa Arab: محمّد بن يحيى , translit. Muḥammad bin Yahyā; pelafalan dalam bahasa Arab: [(ʔ)mʊˈħæmmæd bin jɑħjɑ:] nama lengkap: (bahasa Arab: سيد محمّد بن علي بن حسن بن طه بن يحيى العلوي, translit. Sayyid Muḥammad bin ‘Alī bin Ḥasan bin Ṭāhā bin Yaḥyā al-‘Alawī); 1844 M/1260 H[1] - 17 Februari 1947 M/26 Rabiul awal 1366 H)[2] atau yang lebih dikenal dengan gelar Pangeran Noto Igomo adalah seorang ulama Indonesia kelahiran Hadramaut yang menjadi mufti Kesultanan Kutai Kartanegara ing Martadipura pada masa kekuasaan Sultan Aji Muhammad Alimuddin (1899-1910).[3] Noto Igomo adalah gelar yang diberikan oleh Sultan Aji Muhammad Alimuddin, gelar tersebut adalah gelar tertinggi yang diberikan pihak kesultanan karena jasa-jasanya dalam mengembangkan agama Islam.[4] BiografiKehidupan awalHabib Muhammad bin Yahya lahir pada tahun 1260 Hijriyah (1844 Masehi) di Al-Masilah, sebuah desa kecil di Hadramaut. Muhammad berasal dari keluarga Alawiyyin bermarga Aal bin Yahya, ayahnya bernama Sayyid Ali bin Hasan bin Thaha bin Yahya (w. 1875),[1] sementara ibunya merupakan seorang Syarifah dari keluarga bin Thahir.[5] Ayah dari kakeknya, Habib Thaha bin Muhammad bin Yahya merupakan leluhurnya yang pertama kali masuk ke Nusantara. Dia pertama kali masuk ke Indonesia melalui Pulau Pinang, Malaysia. Ketika di Pulau Pinang, dia bertemu dengan Sultan Hamengkubuwana II (1750-1828) yang diasingkan Belanda, yang kemudian menjadi murid sekaligus mertuanya.[3] Hijrah ke IndonesiaHal yang melatarbelakangi hijrahnya Habib Muhammad bin Yahya ke Indonesia selain untuk mengunjungi kerabatnya di Batavia (sekarang Jakarta) dan Ambon yang lebih dulu hijrah, juga untuk berdagang dan berdakwah. Jalur perjalanannya dari Masilah, Hadramaut menuju Indonesia ada dua versi, pertama, dari Masilah-Tarim-Aden-Batavia-Surabaya-Ambon-Tenggarong; kedua, dari Masilah-Tarim-Aden-Batavia-Surabaya-Ambon-Surabaya-Tenggarong.[1] Dalam perjalanannya dari Masilah ke Indonesia, Habib Muhammad melewati Aden melalui Tarim. Di Tarim, dia menginap di sebuah rumah yang pemiliknya terkena penyakit Hansen (kusta). Dengan izin Allah, pemilik rumah yang terkena penyakit kusta tersebut diobati olehnya dan sembuh. Sebagai rasa syukur, pemilik rumah kemudian menikahkan keponakannya dengan Habib Muhammad. Setelah bertahan di Tarim beberapa lama, Habib Muhammad kemudian melanjutkan perjalanan ke Aden hingga sampai di Batavia.[1] Di Batavia, dia mengunjungi pamannya dari pihak ibu, Habib Abu Bakar Bin Thahir. Setelah melanjutkan perjalanan ke Surabaya, di Boto Putih dia belajar agama kepada Habib Syekh Bafaqih. Selain itu, dia juga menemui saudara sepupunya yang bernama Habib Abdullah bin Ali bin Abdurrahman bin Thahir yang berada di Ambon.[1] Habib Muhammad bin Yahya tiba di Tenggarong pada tahun 1877.[6] Di Tenggarong, dia menikah dengan anak perempuan Sultan Aji Muhammad Alimuddin (Sultan Kutai ke-19) yang bernama Aji Aisyah gelar Aji Raden Resminingpuri.[7] Mufti Kesultanan KutaiSultan Aji Muhammad Alimuddin memberi jabatan penghulu dan mufti kesultanan yang memiliki wewenang penuh untuk mengurus segala persoalan kesultanan yang berkaitan dengan keagamaan kepada Habib Muhammad bin Yahya.[5] Dia juga memperoleh gelar kehormatan dari Sultan dengan gelar "Raden Syarif Penghulu", kemudian gelar tersebut dilanjutkan dengan gelar "Pangeran Noto Igomo". Selama memangku jabatan tersebut, Pangeran Noto Igomo mengajarkan agama Islam seperti hukum-hukum syariat maupun tasawuf kepada masyarakat Tenggarong dan sekitarnya.[5] Bersama para ulama, dia mendorong akselerasi dakwah Islam di Kalimantan. Salah satu rekan berdakwah yang menyokong "jihad"-nya tersebut adalah Habib Alwi bin Abdullah al-Habsy, seorang Kapten Arab di Barabai, Hulu Sungai Tengah, Kalimantan Selatan. Keduanya adalah sahabat dekat selama berada di Hadramaut dan dipertemukan kembali di tanah Kalimantan.[5] Di samping mengurus dan mengajarkan agama, dia juga memperhatikan masalah kesejahteraan rakyat dengan cara mengajak masyarakat menggarap perkebunan. Bersama masyarakat, dia kemudian membuka perkebunan kelapa di Sangkulirang, Kutai Timur; perkebunan rotan di Sandaran, Kutai Timur; dan perkebunan karet di Bukit Jering, Muara Kaman, Kutai Kartanegara.[2] Kehidupan pribadiSelama hidupnya, Habib Muhammad bin Yahya menikah dengan empat orang perempuan. Pertama, dia menikah di Tarim ketika melakukan perjalanan dari Hadramaut ke Aden melalui Tarim,[1] dari pernikahan tersebut dia tidak memiliki keturunan. Kedua, ketika melakukan perjalanan dari Batavia ke Surabaya dia menikah dengan seorang gadis asal Surabaya yang memberinya anak perempuan bernama Syarifah Fatimah. Ketiga, dia menikah di Ambon ketika melakukan perjalanan dari Surabaya ke Ambon untuk menemui saudara sepupunya, Habib Abdullah bin Ali bin Abdurrahman bin Thahir, dari pernikahan tersebut dia memiliki anak laki-laki bernama Sayyid Ali. Keempat, dia menikah di Tenggarong dengan Aji Aisyah gelar Aji Raden Resminingpuri, anak perempuan Aji Muhammad Alimuddin (Sultan Kutai ke-19) dan kakak Aji Muhammad Parikesit (Sultan Kutai ke-20). Dari pernikahannya dengan Aji Aisyah, dia dianugerahi 9 orang anak, 6 orang laki-laki (Sayid Ahmad, Sayid Umar, Sayid Ali, Sayid Barri, Sayid Abdul Maula, dan Sayid Husein) dan 3 orang perempuan (Syarifah Sehhah, Syarifah Nur, dan Syarifah Fatimah).[8] Karena pernikahnnya dengan bangsawan Kutai, para keturunannya kemudian diberi gelar Aji Sayid untuk laki-laki dan Aji Syarifah untuk perempuan.[9] Aji Raden Sayid Fadly, seorang aktor Indonesia asal Samarinda merupakan salah seorang keturunannya.[butuh rujukan] WafatPada tanggal 26 Rabiul Awal tahun 1366 Hijriyah atau bertepatan dengan 17 Februari 1947 Masehi, Habib Muhammad bin Yahya gelar Raden Syarif Pangeran Noto Igomo wafat. Jenazahnya dimakamkan di komplek Makam kelambu kuning, Melayu, Tenggarong, Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur. Peristirahatan terakhirnya tersebut berdekatan dengan makam istri dan mertuanya, Sultan Aji Muhammad Alimuddin.[2][5] Saat ini, Komplek pemakaman Sultan Aji Muhammad Alimuddin and Pangeran Noto Igomo telah dijadikan sebagai bangunan cagar budaya oleh pemerintah Kabupaten Kutai Kartanegara.[10] Haul atau peringatan hari wafatnya selalu diperingati setiap tahunnya di Masjid Jami' Hasanuddin, Tenggarong. Haul Pangeran Noto Igomo sering disekaliguskan bersama dengan haul Sultan Aji Muhammad Sulaiman, Sultan Kutai ke-18.[7][11] ReferensiCatatan kaki
Daftar pustaka
|