Muhammad Sangidu
Kiai Haji Muhammad Sangidu atau Kanjeng Raden Penghulu Haji (K.R.P.H.) Muhammad Kamaluddiningrat (1883–1980) adalah Kepala Penghulu[a] Kesultanan Yogyakarta ke-13 yang dilantik pada 1914 untuk menggantikan penghulu sebelumnya, K.R.P.H. Muhammad Khalil Kamaluddiningrat. Sangidu merupakan kerabat Ahmad Dahlan dan menjadi pendukung organisasi Muhammadiyah yang didirikan Dahlan. Dia dikenal sebagai pemegang stamboek (kartu anggota Muhammadiyah) pertama, karena merupakan anggota pertama organisasi Muhammadiyah. Selain itu, dia adalah sosok yang mengusulkan nama "Muhammadiyah" kepada Dahlan. Ketika menjadi Kepala Penghulu Kesultanan Yogyakarta, Sangidu berperan dalam menjadikan ajaran Muhammadiyah sebagai paham yang dominan di Kampung Kauman. Walaupun sebelumnya pernah terjadi ketegangan antara Ahmad Dahlan dan ulama-ulama tradisional di Kampung Kauman, pendekatannya yang kooperatif dengan pihak keraton berhasil menghindarkan konflik. Dia juga memanfaatkan budaya lokal sebagai media berdakwah. Sangidu juga mencoba mengubah adat pernikahan masyarakat agar hanya memberikan suguhan yang sederhana, dan dia pernah mengusahakan ketepatan 1 Syawal (yang merupakan tanggal jatuhnya Idulfitri dalam kalender Hijriah) dengan menggunakan metode rukyat bil aini (mengamati dengan penglihatan) alih-alih perhitungan aboge (tahun Jawa). Selain itu, dia memelopori pendirian sekolah bersistem modern yang kini dikenal dengan nama Madrasah Muallimin Muhammadiyah dan Madrasah Muallimat Muhammadiyah, serta membantu merintis Frobelschool yang merupakan taman kanak-kanak (TK) pertama yang didirikan oleh bangsa Indonesia. Latar belakang keluargaRaden Hariya Muhammad Sangidu adalah putra dari Kiai Ma’ruf Ketib Tengah Amin dan Nyai Sebro (Raden Nganten Ketib Amin).[1] Dia dilahirkan pada 1883 di Kampung Kauman.[b][2] Sangidu merupakan anak pertama dari lima bersaudara yang memiliki adik-adik bernama Raden Hariya Muhsin, Raden Nganten Muhsinah, Raden Hariya Ali, dan Raden Hariya Syarkowi. Ayahnya adalah anak kedua dari sepuluh orang anak Kiai Maklum Sepuh atau Kiai Penghulu Muhammad Maklum Kamaluddiningrat (Kepala Penghulu Kesultanan Yogyakarta ke-9),[1][3] sedangkan ibunya merupakan anak keempat dari Kanjeng Raden Tumenggung Ronodirdjo dari istri ketiganya yang bernama Gentang Pakem. Ronodirdjo sendiri adalah seorang pejabat Bupati Anom Patih Danuredjo atau wakil bupati di Kesultanan Yogyakarta.[4] Sangidu juga merupakan sedulur gawan dengan Ahmad Dahlan yang kelak akan menjadi pendiri Muhammadiyah. Sedulur gawan sendiri merupakan saudara dari hasil pernikahan antara janda dan duda yang masing-masing membawa anak. Anak bawaan tersebut lantas menjadi saudara.[5] PernikahanIstri pertama Sangidu (namanya tidak diketahui) adalah putri dari Muhammad Khalil Kamaluddiningrat (Kepala Penghulu Kesultanan Yogyakarta ke-12).[6] Melalui pernikahan pertamanya itulah dia memiliki tiga orang anak, yaitu Djalaluddin (suami dari Siti Dariyah, mertua Haiban Hadjid), Siti Salmah (istri dari Farid Ma’ruf), dan Siti Nafi’ah (istri dari Masduki, mertua Mukti Ali).[7][8] Sangidu dan mertuanya berbeda haluan karena dia menjadi pendukung gerakan dakwah Ahmad Dahlan yang pada kemudian hari dikenal dengan nama “Muhammadiyah”. Sangidu lantas melakukan pernikahan kedua dengan Siti Jauhariyah (kakak ipar Ahmad Dahlan).[9][10][11] Melalui pernikahan itulah dia dikaruniai sembilan orang anak, yaitu Siti Umniyah, Dariyah, Muhammad Wardan, Darim, Muhammad Jannah, Muhammad Jundi, Jazuri, Burhanah, dan Wardhiyah.[8][12][13] Peran awal pengembangan MuhammadiyahPembaruan keagamaan di Kampung KaumanSebelum resmi berdiri, penyebaran paham Muhammadiyah awalnya hanya berpusat di Langgar Kidul yang digerakkan oleh Ahmad Dahlan dengan penyebaran informasi kepada para ulama yang telah sepaham saja di wilayah sekitar Kampung Kauman.[14] Namun, ajaran tersebut lama-kelamaan mulai menyebar ke tempat lain yang ada di Kampung Kauman, seperti para santri yang belajar di pendopo rumahnya (tempat yang kemudian dikenal sebagai Pendopo Tabligh).[15][16] Upaya Sangidu dalam membela ajaran Ahmad Dahlan dimulai ketika dirinya mengikuti paham baru tersebut dan mengajarkannya kepada beberapa santri Kampung Kauman di Pendopo Tabligh. Meskipun saat itu Muhammadiyah belum terbentuk secara resmi, tetapi dia meminta kepada para santrinya untuk mengamalkan ajaran Islam secara nyata, terutama Surah Al-Ma’un.[c][17][18] Para santri juga diminta untuk beramal secara sosial. Mereka diajak untuk menyantuni para pengemis, memberinya makan, menyuruh mereka mandi dan kemudian memberi mereka pakaian, dan akhirnya mengajak mereka bersembahyang.[19][20] Seperti halnya Dahlan, Sangidu lebih banyak memberikan contoh daripada memberikan ceramah kepada para santrinya. Saat itu, Yogyakarta adalah kota tujuan kaum urban asal kawasan pinggiran untuk mengadu nasib. Tindakan yang dilakukannya sebagai perwujudan dari Surah Al-Ma’un adalah mengumpulkan para pekerja dan fakir miskin yang berasal dari kawasan pinggiran ke pendopo rumahnya untuk belajar ilmu keagamaan bersama dengan para santrinya.[21] Ide-ide dan pemberdayaan rakyat kecil dari Dahlan dan Sangidu tersebut sampai sekarang masih dipahami dengan baik oleh para pegiat Muhammadiyah dan Nasyiatul Aisyiyah (NA).[22] Sebelum Sangidu menjabat sebagai penghulu Kesultanan Yogyakarta, dia menghadapi tantangan dalam menyebarkan dakwah amar makruf nahi mungkar. Apabila Dahlan dituduh sebagai "kiai kafir" dan gerakan pembaruan yang disebarkannya dikatakan "Kristen alus" oleh para ulama yang mempertahankan pola lama, Sangidu dianggap sebagai perusak hubungan persaudaraan di antara masyarakat Kauman. Hal ini disebabkan karena Kiai Djalal dan Sangidu sebagai pimpinan Pendopo Tabligh membela gerakan yang dicetuskan oleh Ahmad Dahlan, sedangkan Muhsin sebagai pimpinan Langgar Dhuwur yang masih bersaudara dengan Kiai Djalal dan Sangidu tidak menyetujui gerakan pembaruan tersebut.[23] Usulan nama "Muhammadiyah"Setelah memahami ajaran kaum reformis, Ahmad Dahlan merasa memerlukan adanya sebuah organisasi yang dapat menunjang misinya dalam menyebarkan paham pembaruan. Dia pun akhirnya memutuskan untuk mendirikan sebuah organisasi yang tidak sekadar mengurus pendidikan saja, tetapi juga menghimpun dan menjadi wadah gerakan kaum pembaru. Maksud tersebut disampaikannya kepada para murid, saudara, dan sahabat yang sepaham dengan gerakan reformasi Islam yang dibawanya di Kauman. Pada 1911, Sangidu mengusulkan nama untuk gerakan yang akan dirintis oleh Ahmad Dahlan itu di Pendopo Tabligh, yaitu "Muhammadiyah".[9][24][25][26] Nama ini lantas dikukuhkan oleh Ahmad Dahlan sebagai nama organisasinya setelah dia berulang kali melakukan Salat Istikharah.[27] Muhammadiyah dinyatakan berdiri pada 8 Dzulhijah 1330 H atau 18 November 1912.[28] Nama Muhammadiyah diambil dari nama Nabi terakhir umat Islam Muhammad, ditambah dengan huruf Arab ya dan ta yang bermakna pembangsaan atau identifikasi. Nama tersebut juga bermaksud untuk menjelaskan bahwa para pendukung organisasi ini adalah umat Muhammad, yang asasnya adalah ajaran Muhammad, yaitu Islam.[29] Ideologi pembaruan Muhammadiyah dipersiapkan dengan keyakinan dan rencana kerja yang berproses ke arah sistematik.[30] Muhammadiyah lantas dikenal sebagai organisasi dakwah dan organisasi sosial kaum terdidik yang mengusung kredo tajdid (pembaruan) pada kemudian hari.[31] Pada 20 Desember 1912, Muhammadiyah mengajukan rechtspersoon (permintaan sebagai badan hukum) kepada pemerintah Hindia Belanda melalui bantuan para pengurus Budi Utomo.[9] Ahmad Dahlan tercantum sebagai pemohon pertama, bersama enam muridnya R.H. Syarkawi, H. Abdulgani, H.M. Sudja, H.M. Hisyam, H.M. Tamim, dan H.M. Fachrudin. Muhammadiyah lantas secara resmi berdiri dengan keluarnya Besluiten van den Gouverneur Generaal van Nederlandsch-Indie 22 den Augustus 1914 (No. 81), dengan syarat ruang lingkupnya dibatasi hanya untuk wilayah Yogyakarta saja.[32] Menurut Mitsuo Nakamura (pengkaji Muhammadiyah dari Dalian, Tiongkok), Sangidu bukanlah orang yang terlalu dikenal di kalangan Muhammadiyah, apalagi kalangan umat Islam di kawasan Hindia Belanda pada awal abad ke-20. Meskipun demikian, dia adalah pemegang stamboek pertama yang turut andil dalam mengembangkan Muhammadiyah.[33] Seperti halnya Ahmad Dahlan, dia bukanlah seorang sarjana atau penulis yang mewariskan buku dan artikel, tetapi dia merupakan seorang organisatoris.[34] Kendati membawa ide pembaruan, pendekatan yang dilakukannya cenderung kultural dalam mengembangkan gagasan Muhammadiyah.[35] Kepala Penghulu Kesultanan YogyakartaSangidu merupakan Kepala Penghulu Kesultanan Yogyakarta ke-13 yang dilantik pada 1914 untuk menggantikan penghulu sebelumnya, yaitu Muhammad Khalil Kamaluddiningrat.[9] Sebelum diangkat menjadi penghulu, gelar yang disandangnya adalah Ketib Anom Kiai (Wakil Kepala Penghulu).[7] Berdasarkan catatan sejarawan Universitas Gadjah Mada, Ahmad Adaby Darban, Sangidu dianugerahi nama kehormatan K.R.P.H. Muhammad Kamaluddiningrat ketika diangkat sebagai penghulu Masjid Agung Yogyakarta.[36] Pengangkatan Sangidu sebagai penghulu membawa pengaruh cukup signifikan bagi Kampung Kauman. Ulama-ulama dan masyarakat yang tidak setuju dengan paham keagamaan Muhammadiyah semakin menyusut. Seiring dengan terputusnya regenerasi kiai lokal-tradisional, paham Muhammadiyah menjadi paham yang dominan di Kauman.[37] Darban mencatat bahwa dengan dilantiknya Sangidu menjadi penghulu keraton, Kawedanan Reh Pengulon (atau Bangsal Pengulon) menjadi tempat yang semakin terbuka bagi gerakan reformasi Islam Muhammadiyah.[38] Muhammadiyah mulai diizinkan masuk ke Bangsal Pengulon yang sebelumnya menjadi tempat tabu bagi masyarakat awam dan tempat tersebut lalu menjadi pusat penggemblengan kader-kader mubalig Muhammadiyah.[7][39] Sangidu juga telah mempermudah Dahlan dalam mengenalkan pemahaman Islam modern dalam konteks masyarakat Islam tradisionalis di Yogyakarta pada awal abad ke-20.[40] Sebagai abdi dalem Kesultanan Yogyakarta, Sangidu tidak menunjukkan sikap antagonistik terhadap pihak keraton dalam kaitannya dengan kelahiran Muhammadiyah, meskipun sebelumnya pernah terjadi ketegangan antara ulama-ulama senior di Kampung Kauman dengan Ahmad Dahlan tentang masalah arah kiblat dan amalan-amalan agama Islam lainnya.[14][41][42] Kesultanan Yogyakarta sendiri umum dipandang sebagai pusat tradisi kejawen yang penuh mistik,[43][44] sedangkan organisasi Muhammadiyah lebih mengidentifikasikan diri sebagai gerakan puritan yang gencar memberantas takhayul (percaya terhadap sesuatu yang sebenarnya tidak ada), bidah (perbuatan yang dikerjakan tidak berdasarkan contoh yang sudah ditetapkan, termasuk menambah atau mengurangi ketetapan), dan khurafat (ajaran yang tidak masuk akal) pada kemudian hari.[45] Walaupun begitu, latar belakang Sangidu secara politis-struktural sebagai bagian dari ulama keraton dan penghulu Masjid Agung Yogyakarta membentuk sikap yang kooperatif dengan kekuasaan kesultanan.[7] Menurut Siti Ruhaini Dzuhayatin (anggota Majelis Tarjih dan Pengembangan Pemikiran Pimpinan Pusat Muhammadiyah 2000–2005), sikap inilah yang nantinya mewarnai corak Muhammadiyah sebagai organisasi yang responsif-adaptif terhadap pemerintah.[46] Dengan memanfaatkan kultur lokal sebagai medium berdakwah, Sangidu mencoba membangun paradigma baru mengenai Muhammadiyah dalam hal tanzih (purifikasi), yaitu berupa sikap inklusif yang mencerminkan Muhammadiyah sebagai Islam moderat.[47] Terkait dengan sikap Sangidu yang kooperatif dengan kekuasaan kesultanan, sejarawan Harry Jindrich Benda menegaskan jika strategi dakwah yang dilakukan oleh Sangidu merupakan salah satu langkah dalam membangun budaya baru di tengah paradigma tradisionalisme masyarakat saat itu.[35] Sangidu dalam hal ini justru telah mengubah posisinya dari ulama yang hanya bisa "disentuh" oleh orang-orang tertentu, seperti para santri dan orang-orang yang dekat dengan golongan bangsawan, menjadi seseorang yang dekat dengan masyarakat di sekitarnya. Sikap kooperatif dan gagasannya yang moderat ini dalam pandangan sejarawan M.T. Arifin menyebabkan pemikiran-pemikirannya dapat diterima oleh kalangan kesultanan. Sikap tersebut dilakukan berkenaan dengan masalah-masalah yang tidak bertentangan secara substantif dengan akidah yang diyakininya.[48] Sebagai salah satu keturunan Sangidu, Widiyastuti turut menilai bahwa posisi yang diberikan oleh pihak kesultanan kepada kakeknya tersebut dimaksudkan untuk memberikan suasana yang stabil.[49] Selain itu, posisi ini juga dimaksudkan agar ide-ide pemurnian Islam dapat berkembang di dalam keraton. Menurut sejarawan M.C. Ricklefs, sikap Sangidu ternyata efektif mendorong para kerabat keraton untuk mengikuti ajarannya.[50] Sejalan dengan pandangan Arifin dan Widiyastuti, pengkaji Muhammadiyah Deliar Noer, mengomentari posisi Sangidu dalam kaitannya dengan pengembangan pembaruan Islam yang digagas oleh Ahmad Dahlan ini pada dasarnya tidak bisa steril dari peran Hamengkubuwana VII sebagai sultan saat itu. Noer menambahkan bahwa pihak kesultanan tidak mempersulit gerakan Muhammadiyah yang turut disebarkan oleh Sangidu. Hamengkubuwana VII paling tidak "memberikan angin" kepada ide pembaruan Muhammadiyah agar berkembang dalam kehidupan warganya, khususnya Kampung Kauman.[51] Pembaruan dalam bidang kebudayaanPercobaan pertama Sangidu untuk mengubah adat masyarakat menyangkut upacara pernikahan. Ketika menikahkan putrinya yang bernama Siti Umniyah, dia mengubah tata cara adat yang tidak sesuai dengan ajaran Islam (karena banyak membawa pemborosan) dengan walimah (suguhan yang sederhana), tetapi seluruh undangan serta para fakir miskin dapat menikmatinya. Sebagian dari biaya yang telah direncanakan untuk pesta pernikahan tersebut sisanya lantas dibagi menjadi tiga, yaitu untuk walimah, modal hidup pengantin baru, dan sumbangan kepada Muhammadiyah.[52] Setelah penyederhanaan upacara pernikahan itu berhasil, Muhammadiyah memutuskan bahwa setiap anggotanya diperintahkan untuk mengatur rencana biaya keseluruhan apabila akan mengadakan acara hajat (pernikahan ataupun sunat). Biaya tersebut sebaiknya dibagi menjadi tiga seperti yang dilakukan oleh Sangidu. Keputusan ini dilaksanakan dengan cara berikut: setiap kali akan ada hajat, pengurus Muhammadiyah mendatangi pemilik hajat dan menerangkan kebijakan yang telah ditetapkan. Melalui jalur pendekatan kekeluargaan, masyarakat Kampung Kauman sedikit demi sedikit dapat mengikuti perubahan tersebut.[53] Sumbangan pemikiran lain yang dilakukan oleh Sangidu untuk mengubah adat kebiasaan masyarakat adalah mengusahakan ketepatan 1 Syawal (yang merupakan tanggal jatuhnya Idulfitri) berdasarkan kalender Hijriah. Hal ini dilakukan karena pada waktu itu masyarakat masih memakai perhitungan aboge (tahun Jawa).[54] Para ahli hisab Muhammadiyah, termasuk Dahlan dan Sangidu, mengadakan penyelidikan dengan metode rukyat bil aini (mengamati dengan penglihatan). Mereka menetapkan bahwa 1 Syawal terjadi satu hari lebih dahulu dari Grebeg Syawal. Hasil perhitungan dengan metode hisab dan rukyat bil aini tidaklah berbeda.[52] Sangidu lantas mengantar Dahlan menghadap Hamengkubuwana VII untuk menyampaikan maksud mengadakan Salat Idulfitri sehari sebelum dilaksanakannya Grebeg Syawal dan membenarkan arah saf di Masjid Agung Yogyakarta. Maksud tersebut diterima oleh sultan, tetapi Grebeg Syawal tetap dilaksanakan memakai perhitungan aboge. Sultan mengatakan kepada Dahlan, "Berlebaranlah kamu menurut hisab atau rukyat, sedangkan grebeg di Yogyakarta tetap bertradisi menurut hitungan aboge".[9][55][56][57] Sebagai seorang khatib, jabatan Ahmad Dahlan berada di bawah kepala penghulu dalam struktur lembaga Kepenghuluan Keraton Yogyakarta. Dia tidak mungkin bisa masuk ke dalam keraton dan bertemu langsung dengan sultan tanpa melewati otoritas kepala penghulu. Dengan demikian, peristiwa bertemunya Dahlan dan sultan ini kemungkinan terjadi sesudah tahun 1914 ketika Sangidu telah menjabat sebagai penghulu Kesultanan Yogyakarta.[58] Rintisan pendidikanPada 1918, Sangidu memelopori pendirian sekolah tingkat lanjut yang dinamakan dengan Al-Qismul Arqo. Sekolah ini menggunakan sistem modern dan memberikan pendalaman agama Islam kepada murid-muridnya. Pada perkembangan selanjutnya, sekolah tersebut berganti nama menjadi Madrasah Muallimin Muhammadiyah dan Madrasah Muallimat Muhammadiyah sejak tahun 1932.[59] Sangidu juga menjalin kerja sama dengan cikal bakal organisasi angkatan muda wanita Muhammadiyah, yaitu Siswo Proyo Wanito (SPW). Pada 1919, Sangidu dan SPW merintis pendidikan bagi anak-anak usia dini di Kawedanan Reh Pengulon dengan nama Frobelschool.[60][61] Sekolah yang diselenggarakan untuk anak-anak berusia minimal empat tahun ini merupakan TK pertama yang didirikan oleh bangsa Indonesia.[62] Berkat bantuan dari Sangidu, materi pelajaran di Frobelschool semakin berkembang.[63] Materi yang diajarkan bagi anak-anak tersebut adalah bimbingan dasar-dasar agama Islam melalui nyanyian dan cerita. Selain itu, pelajaran di sekolah ini juga diselingi dengan permainan anak-anak di dalam maupun di luar ruangan. Dalam perkembangan selanjutnya, amal usaha rintisan Sangidu dan para wanita muslim Kampung Kauman tersebut diteruskan sebagai pedoman gerak langkah organisasi Nasyiatul Aisyiyah.[64] Pada 1924, Siti Djuhainah (sekretaris SPW) dan Siti Zaibijah (bendahara SPW) mengubah Frobelschool menjadi Taman Kanak-Kanak Aisyiyah Bustanul Athfal (TK ABA) Kauman. Adapun Bustanul Athfal sendiri berarti "kebun anak-anak".[65] TK yang didirikan oleh Sangidu dan para anggota SPW ini lantas diserahkan kepada Aisyiyah sejak tahun 1926, sedangkan nama SPW diganti dengan Nasyiatul Aisyiyah pada 1931.[39][66] Akhir masa jabatanPosisi Sangidu sebagai penghulu Kesultanan Yogyakarta digantikan oleh Muhammad Nuh pada 1940. Ketika diangkat sebagai penghulu Masjid Agung Yogyakarta pada 1 Agustus 1941, Nuh mendapatkan gelar K.R.P. Muhammad Nuh Kamaluddiningrat. Beberapa tahun kemudian, Nuh diberhentikan dengan terhormat dari jabatannya oleh pihak Kesultanan Yogyakarta. Sultan Yogyakarta saat itu, Hamengkubuwana IX, lantas mengangkat Muhammad Wardan, salah satu putra Sangidu, sebagai penghulu selanjutnya pada 28 Januari 1956. Dikarenakan penghulu yang digantikan masih hidup, hal ini turut berpengaruh terhadap pemberian nama gelar kepada Muhammad Wardan. Dia tidak memakai gelar Kamaluddiningrat, melainkan memakai gelar Diponingrat sebagai penghulu Kesultanan Yogyakarta ke-15. Dia menjadi penghulu kesultanan selama 35 tahun (1956–1991). Sebelum menjadi seorang penghulu, Wardan telah membantu ayahnya sejak tahun 1936 sampai dengan wafat dalam melaksanakan tugas-tugas kepenghuluan.[67] Inilah yang membuat Wardan seperti napak tilas dan mewarisi tugas yang pernah dijalankan oleh ayahnya sebagai penghulu Masjid Agung Yogyakarta.[68] Akhir kehidupanMenurut keterangan dalam majalah Hoedyana Wara, Sangidu meninggal dunia sekitar tahun 1980 karena faktor usia. Jenazahnya disemayamkan di Permakaman Karangkajen.[2] Budaya populer
Lihat pulaKeterangan
Rujukan
Daftar pustakaBuku
Buku lama
Majalah
Jurnal
Bacaan lanjutan
Pranala luarWikimedia Commons memiliki media mengenai Muhammad Sangidu.
|