Muhammad Jalaluddin Syah II

Datu Pengantin[1] atau Dewa Pangeran[2][3][4] bergelar Dewa Masmawa Sultan Muhammad Jalaludddin Syah II /Sirie Sulthan Mohamad Djalaloedin (cucu Sultan Tahmidullah 01 Raja Banjar) adalah Sultan Sumbawa ke-9 (memerintah 1762-1765).[5][6][7][8][9][10][11] [12][13]

Nama lahirnya adalah Gusti Mesir Abdurrahman (Sultan Abdurrahman), setelah menikahi Siti Hadijah Datu Bonto Paja, ia bergelar Pangeran Anom Mangku Ningrat atau dengan nama panggilan Datu Pangeran. Pangeran asal Banjar putra Gusti/Pangeran Arya yang merupakan trah Sultan Hidayatullah Bin Rahmatullah Sultan Banjar.[14][15] Menurut adat Banjar, nama panggilan untuk permaisurinya adalah Ratu Sultan (Ratu Sultan Muhammad Jalaluddin).

Alasan pengangkatan Pangeran Anom Mangku Ningrat sebagai Sultan Sumbawa

Ada beberapa alasan mengapa Majelis Pangantong Lima Olas menyetujui pengangkatan Gusti Mesir Abdurrahman Pangeran Anom Mangku Ningrat sebagai Sultan Sumbawa:

  • Telah menikahi Siti Khadijah Datu Bonto Paja (Karaeng Bonto Masugi) Putri Sultanah Siti Aisyah atau Cucu Sultan Jalaluddin Muhammad Syah I.[8][16]
  • Berjasa kepada Kesultanan Sumbawa dalam membasmi Perompak di perairan Sumbawa.
  • Memiliki hubungan darah dengan Dewa Mas Bantan Sultan Harunnurrasyid I.
  • Kemampuannya dalam pemerintahan serta mampu meredam konflik yang terjadi antara Kedatuan Taliwang dengan Kedatuan Jereweh (dimana pada masa tersebut yang menjadi Datu Taliwang adalah Gusti Amin, paman dari Gusti Mesir Abdurrahman).

Sehingga dengan alasan – alasan demikian diperkuat dengan permohonan Lalu Anggawasita maka muluslah jalan bagi Gusti Mesir Abdurrahman Pangeran Anom Mangku Ningrat untuk menduduki tahta Kesultanan Sumbawa. Pada masa Pemerintahannya dilakukan kajian kembali terhadap kitab hukum terutama ketentuan pidana serta ketentuan lainnya.[17][18][19][20][21]

Ada tiga gelar induk atau Puin Kajuluk yang digunakan sebagai nama gelar kesultanan Sumbawa:

  1. Sultan Harun Arrasyid
  2. Sultan Jalaluddin
  3. Sultan Kaharuddin

Gusti Mesir Abdurrahman gelar Pangeran Anom Mangkuningrat merupakan Sultan Sumbawa kedua yang menggunakan gelar Sultan Jalaluddin.

Terlahir sebagai bangsawan Banjar dengan nama Gusti Mesir Abdurrahman, kemudian bergelar Pangeran Anom Mangku Ningrat, sehingga beliau juga dikenal dengan sebutan Datu Pangeran atau Dewa Pangeran (ke-1), sedangkan putera beliau Pangeran Mahmud juga disebut sebagai Dewa Pangeran (ke-2).[22] Gusti Mesir diangkat menjadi sultan Sumbawa ke-9 menggantikan Datu Ungkap Sermin yang melarikan diri karena ancaman pemberontakan yang dipimpin oleh Lalu Anggawasita. Sumber lain menyebutkan bahwa Datu Ungkap Sermin dilucuti oleh tokoh-tokoh kerajaan.

Gusti Mesir pada tahun 1755 telah memperistrikan cucunda dari Raja Sumbawa Sultan Jalaluddin Muhammad Syah I (1702-1723).[23][24][25][26]

Pemerintahan Datu Ungkap Sermin hanya berjalan setahun ( 1761-1762 ). Konon karena ia lari dari istana untuk menghindari perang saudara, atas kekeliruannya menikahi seorang wanita yang telah lama ditinggalkan berlayar oleh suaminya (Lalu Angga Wasita yang terkenal keperkasaannya). Ia menyangka Lalu Angga Wasita sudah meninggal karena tidak pernah ada kabar beritanya. Tapi suatu hari lelaki perkasa itu muncul. Karena raja merasa bersalah maka ia lari pada malam Selasa, pada hari ke 14 Ramadhan waktu bulan purnama raya. Sehingga singgasana kesultanan Sumbawa pun lowong. Tidak diketahui nasib Raja yang dikenal dengan nama Datu Ungkap Sermin itu. Karena kepergian Datu Ungkap Sermin itu membuat lowongnya kursi raja, maka diangkatlah seorang pendatang dari negeri Banjar bernama Gusti mesir Abdurrahman, salah seorang keturunan Raja Banjar. Meski ia bukan trah Dinasti Dewa Dalam Bawa, tetapi memungkinkan untuk diangkat menjadi raja karena telah menikah dengan cucu dari Sultan Muhammad Jalaluddin Syah I. Ia pun diberi gelar Muhammad Jalaluddin Syah II, dan memegang kekuasaan selama 3 tahun (1762-1765).[27][28][29]

Latar belakang dinasti Dewa Dalam Bawa

Kerajaan-kerajaan: Seran, Taliwang, dan Jereweh masing-masing merupakan kerajaan vasal dari kerajaan Sumbawa. Raja Samawa yang pertama dari kerajaan (kecil) Sampar Kemulan bernama Maja Paruwa, dari dinasti Dewa Awan Kuning yang telah memeluk agama Islam. Setelah meninggal, Maja Paruwa diganti oleh Mas Cini Putra Kerajaan Selaparang, lalu kembali lagi ke dinasti awan kuning Putra Dewa Maja Paruwa yaitu Mas Goa. Mas Goa tidak lama memerintah karena pola pikir dan pandangan hidupnya masih dipengaruhi ajaran Hinduisme. Pada tahun 1637 Mas Goa digantikan oleh putera saudara perempuannya, bernama Mas Bantan. Lama pemerintahannya, dari tahun 1675 s.d. 1701. Mas Bantan adalah putera Raden Subangsa, seorang pangeran dari Banjarmasin.[30]

Pengganti Datu Bala Sawo ialah Dewa Ling Gunung Setia. Sumber lain menyebutkan nama Datu Taliwang, bersemayam di Istana Bala Balong. Raja ini, memerintah dari tahun 1726 s.d. 1732. Pada hari Rabu, 26 Ramadan 1145 H (1732 M) Istana Bala Balong dan seluruh kampung disekitarnya habis terbakar. Raja tewas dalam peristiwa kebakaran itu. Selanjutnya, Sumbawa di bawah pemerintahan Datu Poro atau Dewa Mepasunsung, bergelar Sultan Muhammad Kaharuddin I.[31]

Dewa Ling Gunung Satia diganti oleh Dewa Mepasunsung yang memerintah dari tahun 1734 - 1758. Beliau terkenal dengan nama Datu Poro bergelar Sultan Muhammad Kaharuddin I. Beliau seorang raja yang keras hati dan tidak kenal kompromi dengan Belanda. Dengan terang-terangan beliau menolak untuk mengadakan sumpah setia pada Belanda. Oleh karena daerah Sumbawa ditinjau sudut perdagangan kurang begitu penting bagi VOC, maka tujuan VOC menduduki Sumbawa hanya untuk mengurangi pengaruh Gowa saja. Waktu itu VOC di pulau Jawa sedang menghadapi kemelut pemberontakan-pemeberontakan Cina (1740) dan masalah yang ada di kerajaan Mataram, maka sikap Sultan Muhammad Kaharuddin I ini sementara dapat ditolerir oleh VOC Kerajaan Taliwang yang tidak mau membayar upeti atas hasutan Bontolangkasa diserang oleh Sultan Muhammad Kaharuddin I. Datu Taliwang tewas dalam suatu kebakaran. Bontolangkasa yang dibantu oleh isterinya yang dulu puteri dari Mas Madina menimbulkan keonaran di seluruh pulau. Setelah wafatnya Sultan Muhammad Kaharuddin I beliau diganti oleh permaisurinya Dewa Bini Dewa Mapasumsung yang memerintah 1759-1760. Ia lalai melaksanakan sumpah setia. Utusan-utusan yang dikirimnya untuk disumpah ditolak oleh Belanda. Masa pemerintahannya tidak lama karena beliau diturunkan oleh rakyatnya. Selain pemerintahannya sangat lemah, juga masyarakat menghadapi berbagai kesulitan terutama keamanan negeri mulai terancam oleh bajak laut.

Dewa Bini Dewa Mapasumsung diganti oleh Datu Ungkap Sermin yang terkenal juga dengan nama Dewa Lengit Ling Dima. Tetapi pada tahun 1762 beliau dilucuti oleh tokoh-tokoh kerajaan dan mengangkat Datu Jereweh sebagai penggantinya. Kelompok pertama terdiri dari tokoh-tokoh yang menghendaki Datu Jereweh sebagai pengganti raja. Kelompok kedua terdiri dari Datu Taliwang dan Kapitan Jepara Mele Sarapiah, putera Nene Ranga, keturunan raja Gunung Galesa yang tidak setuju kepada kelompok pertama, dan mereka (Datu Taliwang dan Kapitan Japara Mele Sarapiah) pergi ke Banjarmasin untuk mencari pengganti raja Sumbawa, oleh karena keinginan mereka supaya Ungkap Sarmin diganti oleh Datu Taliwang tidak berhasil.[2][3][4]

Kedatangan Gusti Mesir Abdurrahman ke pulau Sumbawa karena ajakan oleh Lalu Anggawasita. Lalu Anggawasita mengajak Gusti Mesir ke Sumbawa. Dalam perjalanan ini Lalu Anggawasita tidak meneruskan pelayarannya ke Sumbawa tapi singgah di Makassar, sedang Gusti Mesir dipersilahkan terus ke Taliwang, kebetulan yang menjadi raja di sana adalah keturunan Raja Banjar juga. Demikianlah setelah keduanya saling berpamitan, lalu Gusti Mesir meneruskan pelayarannya ke Taliwang dan di sana beliau bertempat tinggal di Kampung Banjar. Setelah beberapa lama tinggal di Taliwang, maka pada tahun 1755 Gusti Mesir diambil menantu oleh Sultan Muhammad Kaharuddin, dikawinkan dengan puteri permaisuri beliau, bernama Datu Bonto Paja. Setelah Datu Ungkap Sermin meninggalkan Sumbawa dan di waktu itu tidak ada Pemangku Raja, lalu teringat oleh Kapitan Jepara akan janjinya untuk mengangkat Gusti Mesir Abdurrahman, yang kebetulan telah memperistrikan cucunda dari Sultan Jalaluddin Muhammad Syah I, Datu Bonto Raja. Sebelum menyampaikan maksudnya kepada Gusti Mesir, terlebih dahulu merundingkan dengan Datu Taliwang adalah keturunan Raja Banjar bernama Pangeran Laya Kusuma, setelah mendengar maksud Kapitan Jepara untuk mengangkat Gusti Mesir Abdurrahman menjadi Sultan Sumbawa, beliau mendukung sepenuhnya. Keputusan yang diambil oleh Kapitan Jepara Lalu Anggawasita ini disampaikan kepada Tana' Samawa, yang oleh musyawarah para Menteri akhirnya disetujui.[8]

Akhinya Dewa Pangeran (Gusti Mesir) dari Banjarmasin diangkat sebagai Sultan Sumbawa dengan gelar Sultan Muhammad Jalaluddin II (1763-1766). Beliau menikah dengan Datu Bonto Paja, cucu Sultan Amasa Samawa. Dari perkawinan ini lahir seorang putera bernama Mahmud atau Mahmuddin.[32]

Kendati hanya selama tiga tahun memerintah namun Gusti Mesir banyak membawa perubahan bagi masyarakat Sumbawa. Sebut saja Ratib Rabana Ode dan Sakeco yang diadopsi dari sebuah kesenian dari Banjar yakni Seni Madihin yang hingga kini keduanya masih dimainkan oleh masyarakat kedua daerah tersebut. Begitu pula SAPU dan SALEMPANG yang menjadi pakaian adat Tau Samawa juga ter-adopsi dari negeri Banjar bahkan penenunnya pun awalnya didatangkan dari Banjar untuk mengajarkan masyarakat Sumbawa membuat Sapu dan Salempang. Penenun asal Banjar inipun mengajarkan masyarakat Sumbawa membuat SESEK BANJAR atau Kain Tenun Khas Banjar yang kemudian berkembang menjadi KRE SESEK khas Sumbawa hingga kini.[33] Di Kalsel sendiri terdapat dua jenis tenunan yaitu asli dari Banjar yang disebut Sarigading yang berasal dari Amuntai dan tenun Pagatan yang dibawa oleh para pendatang dari Bugis, Sulawesi Selatan.

Selain itu motif halilipan (lipan api) yang dikenal dalam busana adat Banjar kemudian menjadi lambang bendera perang di Kesultanan Sumbawa. Demikian pula terdapat pusaka Kesultanan Banjar yang berasal dari Sumbawa diantaranya tombak Kaliblah yang dipegang oleh Demang Lehman.

Kematian

Dewa Mas Muhammad Jalaludddin II mangkat pada tanggal 1 Dzulhijjah 1179 Hijriah (1765 Masehi). Untuk menggantinya diangkatlah putra mahkota yang masih berumur 9 tahun menjadi Raja yaitu Sultan Mahmud . Sedangkan yang menjalankan pemerintahan diangkat Dewa Mapeconga Mustafa Datu Taliwang.

Keluarga dan keturunan

Catatan Kerajaan Bima Bo' Sangaji Kai

Sitti Maryam Rachmat Salahuddin (1999:56) dalam Catatan Kerajaan Bima Bo' Sangaji Kai pada Naskah No. 34 yang ditulis sezaman dengan Sultan Muhammad Kaharuddin II menyebutkan bahwa Siti Khadijah menikah dengan Jalaludddin Syah II dan merupakan trah Raja Taliwang dan Raja Banjar:[1]

Kekerabatan dengan Kesultanan Banjar

Hubungan kekerabatan Sultan Banjar dengan Sultan Sumbawa sudah terjalin sekitar tahun 1700. Sultan Sumbawa yang memerintah pada tahun 1700 adalah Mas Bantan Datu Loka Dewa Dalam Bawa (m. 1674–1701). Di dalam Hikayat Banjar-Kotawaringin disebutkan bahwa Raden Bantan yang tinggal di Sumbawa merupakan anak pasangan Amas Penghulu (disebut sebagai puteri Raja Seleparang) dan Pangeran Taliwang, yang merupakan cicit Raja Sultan Banjar, Hidayatullah I dari Banjar. Dewa Mas Bantan Datu Loka merupakan ayahanda sultan Sumbawa, Amas Madina (m. 1701–1723).[34]

Sedangkan yang memerintah di Banjar tahun 1700 adalah Sultan Suria Alam dari Banjar.[35] Raja Banjar Sultan Tahmidullah merupakan kakek dari Raja Sumbawa Sultan Muhammad Jalaluddin II. Kekerabatan Sultan Banjar dengan Sultan Sumbawa juga diberitakan dalam laporan pelaut Inggris dalam buku Notices of the Indian archipelago & adjacent countries: being a collection of papers relating to Borneo, Celebes, Bali, Java, Sumatra, Nias, the Philippine islands[36]

Silsilah

Lihat pula

Rujukan

  1. ^ a b Rachmat Salahuddin, Sitti Maryam (1999). Henri Chambert-Loir, ed. Bo' Sangaji Kai: catatan kerajaan Bima. Indonesia: Ecole française d'Extrême-Orient : Yayasan Obor Indonesia. hlm. 57. ISBN 9794613398.  ISBN 9789794613399
  2. ^ a b "Proyek Penelitian dan Pencatatan Kebudayaan Daerah". Sejarah Daerah Nusa Tenggara Barat. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Pusat Penelitian Sejarah dan Budaya, Proyek Penelitian dan Pencatatan Kebudayaan Daerah. 1977. hlm. 55. 
  3. ^ a b "Proyek Penelitian dan Pencatatan Kebudayaan Daerah". Sejarah Daerah Nusa Tenggara Barat. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Pusat Penelitian Sejarah dan Budaya, Proyek Penelitian dan Pencatatan Kebudayaan Daerah. 1978. hlm. 55. 
  4. ^ a b "Masyarakat Linguistik Indonesia". Linguistik Indonesia. Masyarakat Linguistik Indonesia. 1991. hlm. 21. 
  5. ^ "Ensiklopedia Kebudayaan Sumbawa, Sultan-sultan Sumbawa". Universitas Teknologi Sumbawa. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2019-05-18. Diakses tanggal 18 Mei 2019. 
  6. ^ Sejarah Daerah Nusa Tenggara Barat. Direktorat Jenderal Kebudayaan. hlm. 56. 
  7. ^ Corpus dplomaticum Neerlando-Indicum: verzameling van politieke contracten en verdere verdragen door de Nederlanders in het Oosten gesloten, van privilegebrieven, aan hen verleend, enz (dalam bahasa Belanda). 6. Nijhoff. 1955. hlm. 269. 
  8. ^ a b c Mantja, Lalu (1984). Sumbawa pada masa dulu: suatu tinjauan sejarah. Indonesia: Rinta. 
  9. ^ Clive Parry (1981). The Consolidated Treaty Series (dalam bahasa Inggris). 231. Oceana Publications. hlm. 124. 
  10. ^ G. Kolff (1901). Dagh-register gehouden int Casteel Batavia vant passerende daer ter plaetse als over geheel Nederlandts-India (dalam bahasa Belanda). hlm. 168. 
  11. ^ Anthony Marinus Hendrik Johan Stokvis (1888). Manuel d'histoire, de généalogie et de chronologie de tous les états du globe, depuis les temps les plus reculés jusqu'à nos jours (dalam bahasa Prancis). Brill. hlm. 380. 
  12. ^ "Mencari Surat-Surat :: Sejarah Nusantara". Arsip Nasional Republik Indonesia. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2020-07-23. Diakses tanggal 2020-07-23. 
  13. ^ Sudrajat Martadinata (2021). Saat Kekayaan Serupa Bintang: Studi Etnografi Istana Dalam. hlm. 38. 
  14. ^ J. Noorduyn (1987). J. Noorduyn, ed. Bima en Sumbawa (Volume 129 dari Verhandelingen van het Koninklijk Instituut voor Taal-, Land- en Volkenkunde) (dalam bahasa Belanda). 129. Indonesia: BRILL. hlm. 11. ISBN 9067652296. ISSN 1572-1892.  ISBN 9789067652292
  15. ^ Martin Baier, August Hardeland, Hans Schärer (1987). Wrterbuch Der Priestersprache Der Ngaju-dayak:. hlm. 11. 
  16. ^ Sudrajat Martadinata (1 Maret 2016). Saat Kekayaan Serupa Bintang: Studi Etnografis pada Istana Dalam Loka. Indonesia: Yayasan Rumah Peneleh. hlm. 43. ISBN 602741975X.  ISBN 9786027419759
  17. ^ "Ensiklopedia Kebudayaan Sumbawa, Pemerintahan Sultan Bagian 1". Universitas Teknologi Sumbawa. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2019-05-18. Diakses tanggal 18 Mei 2019. 
  18. ^ "Ensiklopedia Kebudayaan Sumbawa, Pemerintahan Sultan Bagian 2". Universitas Teknologi Sumbawa. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2019-05-18. Diakses tanggal 18 Mei 2019. 
  19. ^ Ben Cahoon. "Indonesian Traditional States II". WORLD STATESMEN.org. Diakses tanggal 3 Juni 2019. 
  20. ^ "Rulers in Asia (1683 – 1811): attachment to the Database of Diplomatic letters" (PDF). Arsip Nasional Republik Indonesia (dalam bahasa Inggris). hlm. 57. Diakses tanggal 2019-01-05. 
  21. ^ "Sejarah Kesultanan Sumbawa". Website Resmi Pemerintah Kabupaten Sumbawa. Diakses tanggal 2019-08-06. 
  22. ^ https://ihinsolihin.wordpress.com/sastra/silsilah-kesultanan-sumbawa/
  23. ^ http://kemassamawimultiproduction.blogspot.co.id/2009/08/sumbawa-barat-dalam-pencarian-identitas.html
  24. ^ http://sumbawa-beritaphoto.blogspot.co.id/2009/04/kabupaten-sumbawa-memang-lahir-tanggal.html
  25. ^ http://kesultananbanjar.com/id/?p=1279
  26. ^ http://kesultananbanjar.com/id/?p=1288
  27. ^ "Salinan arsip". Diarsipkan dari versi asli tanggal 2018-10-27. Diakses tanggal 2019-06-23. 
  28. ^ https://ihinsolihin.wordpress.com/2016/01/14/gusti-mesir-sultan-muhammad-jalaluddin-syah-ii/
  29. ^ (Indonesia)Muhammad Saleh E. BUDAYA ‘ILA’: HARGA DIRI ORANG SAMAWA (PDF). Indonesia. 
  30. ^ Peninggalan sejarah dan kepurbakalaan Nusa Tenggara Barat. Indonesia: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kantor Wilayah Propinsi Nusa Tenggara Barat, Bagian Proyek Pembinaan Permuseuman Nusa Tenggara Barat. 1997. 
  31. ^ (Indonesia)"Bagian Proyek Pembinaan Permuseuman Nusa Tenggara Barat". Peninggalan sejarah dan kepurbakalaan Nusa Tenggara Barat. Indonesia: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kantor Wilayah Propinsi Nusa Tenggara Barat, Bagian Proyek Pembinaan Permuseuman Nusa Tenggara Barat. 1997. hlm. 38. 
  32. ^ (Indonesia) Sejarah Daerah Nusa Tenggara Barat. Direktorat Jenderal Kebudayaan. hlm. 55. 
  33. ^ http://bangmek.blogspot.co.id/2016/01/gusti-mesir-sultan-muhammad-jalaluddin.html
  34. ^ Tijdschrift voor Nederlandsch Indië (1861). "Tijdschrift voor Nederlandsch Indië (Geschiedkundige aanteekcningen omtrent zuidelijk Borneo)". 51. Ter Lands-drukkerij: 212. 
  35. ^ "Salinan arsip". Diarsipkan dari versi asli tanggal 2018-01-11. Diakses tanggal 2019-06-23. 
  36. ^ J. H. Moor (1837). "Notices of the Indian archipelago & adjacent countries: being a collection of papers relating to Borneo, Celebes, Bali, Java, Sumatra, Nias, the Philippine islands" (dalam bahasa Inggris). F.Cass & co.: 99. 
  37. ^ (Melayu)Ras, Johannes Jacobus (1990). Hikayat Banjar diterjemahkan oleh Siti Hawa Salleh. Malaysia (Selangor Darul Ehsan): Percetakan Dewan Bahasa dan Pustaka. ISBN 9789836212405. ISBN 983-62-1240-X
  38. ^ Tijdschrift voor Nederlandsch Indië (1861). "Tijdschrift voor Nederlandsch Indië" (dalam bahasa Belanda). Becht: 207. 
  39. ^ http://kesultananbanjar.com/id/hubungan-kesultanan-sumbawa-dengan-kesultanan-banjar/
  40. ^ "Tijdschrift voor Indische taal-, land- en volkenkunde" (dalam bahasa Belanda). 14. Perpustakaan Negeri Bavarian. 1864: 503. 
  41. ^ (Belanda) Almanak van Nederlandsch-Indië voor het jaar. 44. Lands Drukkery. 1871. hlm. 222. 
  42. ^ "Salinan arsip". Diarsipkan dari versi asli tanggal 2018-03-21. Diakses tanggal 2019-06-23. 
  43. ^ "Salinan arsip". Diarsipkan dari versi asli tanggal 2011-04-21. Diakses tanggal 2019-07-21. 
  44. ^ M. Idwar Saleh (1 Jan 1993). Pangeran Antasari. Indonesia: Proyek lnventarisasi dan Dokumentasi Sejarah Nasional: Pusat Penelitian Sejarah dan Budaya, Direktorat Jenderal Kebudayaan, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. hlm. 75. 

Pranala luar

Kembali kehalaman sebelumnya