Muhammad Basri (teroris)
Muhammad Basri alias Bagong (lahir 10 Oktober 1976), adalah seorang militan Islam asal Indonesia. Basri terlibat dalam aksi-aksi terorisme pada pertengahan dekade tahun 2000-an ketika dirinya bergabung dengan kelompok Mujahidin Tanah Runtuh Poso yang berafiliasi dengan Jemaah Islamiyah. Basri ditangkap pada awal tahun 2007 dan dijebloskan ke dalam penjara, sebelum berhasil meloloskan diri pada tahun 2013. Ia kemudian bergabung bersama dengan Mujahidin Indonesia Timur (MIT) pimpinan Santoso dan Daeng Koro. Pada tanggal 18 Juli 2016, Santoso tewas dan dirinya berhasil kabur saat mereka dikepung oleh pasukan Satgas Tinombala. Basri kemudian diduga menggantikan posisi Santoso sebagai pemimpin di kelompok MIT bersama dengan Ali Kalora.[1] Basri bersama istrinya ditangkap tanpa perlawanan dan menyerahkan diri kepada pasukan Satgas Tinombala pada tanggal 14 September 2016.[2][3] Kehidupan pribadiBasri dilahirkan dengan nama Mohammad Basri di Kota Poso, Sulawesi Tengah, sebagai anak sulung dari empat bersaudara. Ayahnya bernama Baco Sampe dan ibunya bernama Satinem atau biasanya dipanggil Mbak Sabruk.[4] Basri sempat mengenyam pendidikan formal hanya sampai bangku kelas 3 SMP di SMP Negeri 1 Poso, tetapi tidak sempat tamat. Ia memilih berhenti saat kelas 3 SMP, agar keempat adiknya bisa sekolah. Setelah putus sekolah, dia menghabiskan hari-harinya bekerja di kebun dan membantu ayahnya. Jika panen, Basri selalu memperoleh setengah dari hasil kebun yang dikerjakan bersama ayahnya, dan kemudian dijual oleh ibunya di pasar. Satinem, yang setiap hari berjualan sayur-mayur di Pasar Sentral Poso, menyebut bahwa masa kecil Basri "biasa-biasa saja".[5] Memasuki masa remaja, Basri menumbuhkan ketertarikan terhadap musik. Ia mendirikan grup musik bernama Seledri Rock bersama teman-temannya di Kayamanya. Basri menjadi penabuh drum, sementara Amril Ngiode alias Aat—teman dekatnya yang juga masuk DPO polisi—berposisi sebagai gitaris. Sesuai namanya, grup tersebut memilih genre musik rock sebagai pilihan mereka, dan kerap kali membawakan lagu-lagu milik Genesis, grup musik asal Inggris. Masa remaja juga menjadi saat ketika Basri menato tubuhnya, dan mulai menenggak minuman seperti cap tikus. Ia minum dan mabuk-mabukan sampai pagi.[6] Memasuki usia matang, dia menikah. Basri memiliki dua orang istri. Ia menikahi istri pertamanya, Sunarni, pada tahun 2000 dan memiliki dua orang anak. Setelah menikah, Basri memilih tinggal di rumah mertuanya di Jalan Pulau Jawa I. Keluarganya tidak mengetahui apa aktivitas Basri setelah menikah, dan baru tahu fakta bahwa Basri merupakan DPO polisi dari siaran televisi. Motif terbesar Basri untuk terjerumus ke dalam dunia terorisme adalah karena banyak sanak keluarganya yang dibantai dalam peristiwa pembantaian pesantren Walisongo tahun 2000. Basri menyebut sekitar 26 orang keluarganya dibantai dalam peristiwa tersebut, sedangkan ibunya menyebut lebih dari yang disebutkan Basri.[7] Ia mulai terlibat dalam kasus-kasus dan tindakan terorisme pada pertengahan dekade 2000-an di berbagai wilayah di Sulawesi Tengah, sebelum akhirnya ditangkap pada awal tahun 2007 dan dibawa ke Markas Besar Kepolisian Negara Republik Indonesia di Jakarta untuk menjalani pemeriksaan. Keluarga Basri, menolak pemberian bantuan hukum dari Polri dengan alasan bahwa jika mereka menerimanya, sama saja dengan menukar dua nyawa adik Basri yang juga tewas ditembak polisi.[8] Ia kemudian meninggalkan Sunarni, istri pertamanya untuk bergabung dengan kelompok Mujahidin Indonesia Timur. Sunarni sempat tinggal di kawasan Tanah Runtuh, Kelurahan Gebang Rejo, Kecamatan Poso Kota. Setelah meninggalkan istri pertamanya, Basri kemudian menikah dengan Nurma Usman di Bima. Hal ini dilakukannya pada sekitar bulan April tahun 2013, setelah berhasil melarikan diri dari Lembaga Pemasyarakatan Ampana.[9] Keterlibatan dalam terorismeMujahidin Tanah RuntuhSelama tahun 2002 hingga 2006 Basri bergabung dengan kelompok Mujahidin Tanah Runtuh Poso yang berafiliasi dengan Jamaah Islamiyah (JI). Sebelumnya, dia telah mengikuti pelatihan militer (tadrib 'asykari) pada tahun 2003 dan masuk angkatan Uhud II. Basri termasuk dalam lima orang tersangka dalam kasus penembakan pendeta Susianti Tinulele di Palu, yang terjadi pada tanggal 18 Juli 2004. Ia melakukan aksinya bersama dengan Haris, Irwanto Irano, Ardin, dan Anang Muhtadin alias Papa Enal. Penembakan bermula dari survei para tersangka di Gereja Effatha di Jalan Banteng, Kelurahan Tatura Selatan, Kecamatan Palu Selatan. Basri tidak ikut dalam survei tersebut. Para pelaku kemudian menetapkan waktu penembakan pada hari minggu malam sekitar pukul 19.00 WITA—saat jemaat Gereja Effatha sedang melaksanakan ibadah. Basri sendiri ditunjuk sebagai eksekutor.[10] Pada malam kejadian, Basri yang turun dari motor langsung menuju pintu utama di depan gereja, memasuki gedung dan mulai melepas tembakan. Tembakan itu tepat mengenai Pendeta Susianti yang sedang berkhutbah di atas mimbar. Susianti akhirnya tewas di tempat dengan luka tembak pada bagian dahi.[11] Basri tertangkap tanggal 1 Februari 2007 dalam sebuah penyerbuan yang dilakukan Densus 88 di wilayah Tanah Runtuh, Poso. Setelah tertangkap, Basri mengakui keterlibatannya dalam 17 kasus kriminal yang dilakukannya di Palu dan Poso. Tindak kriminal yang terjadi di Palu, termasuk pembunuhan pendeta Susianti Tinulele, perampokan toko emas, penembakan di Gedung GKST Anugerah, dan lainnya. Di sisi lain, tindakan kriminal yang dilakukannya di Poso, termasuk pembunuhan terhadap Kepala Desa Pinedapa, mutilasi tiga siswi beragama Kristen, penembakan terhadap Ivon dan Siti, dan beberapa kasus bom di Poso, seperti Bom Kawua.[12] Menurutnya, motif utamanya melakukan aksi-aksi seperti itu, selain dendam karena keluarganya banyak yang terbunuh dalam peristiwa pembantaian di sebuah pesantren tahun 2000, juga karena terpengaruh doktrin yang diajarkan oleh ustad-ustad dari Jawa yang didatangkan Jamaah Islamiyah di Pesantren Amanah Tanah Runtuh. Doktrin-doktrin tersebut ditanamkan kepada mereak, seperti diperbolehkan untuk membunuh orang kafir saja, juga disuruh mencari fa'i, yakni harta benda yang dirampas dari pihak kafir dan pemerintah yang tidak berdasarkan syariat Islam.[13] Basri dimasukkan ke dalam Lembaga Pemasyarakatan (LP) di Ampana, tetapi dia berhasil melarikan diri dengan menyisakan satu tahun masa tahanan, sebelum bergabung dengan Santoso.[14] Mujahidin Indonesia TimurBasri bergabung dengan Santoso setelah kabur dari penjara pada bulan April 2013. Mereka bersembunyi di sekitar Gunung Biru di wilayah Poso Pesisir. Di dalam MIT, Basri berperan sebagai tangan kanan dan orang kepercayaan Santoso. Kebersamaannya dengan Santoso berakhir saat Santoso tertembak pada Juli 2016.[15][16][17] Bersama dengan Ali Kalora, dia diduga menggantikan posisi Santoso sebagai pemimpin MIT. Pada tanggal 14 September 2016, Basri bersama istrinya ditangkap oleh Satgas Tinombala. Mereka ditangkap tanpa melakukan perlawanan sama sekali.[18] Ia dan istrinya kemudian di bawa ke Palu untuk diperiksa atas keterlibatannya dalam kelompok Santoso. Meski demikian, Komjen. Pol. Suhardi Alius dari BNPT memastikan bahwa proses hukum terhadap Basri tetap berjalan, apalagi ia pernah kabur dari tahanan.[19] Referensi
Bibliografi
Sumber
|