Mpande kaSenzangakhona
Mpande (1798–1872) adalah Raja Kerajaan Zulu yang berkuasa dari tahun 1840 hingga 1872, sehingga menjadikannya raja Zulu yang paling lama berkuasa dalam sejarah. Ia adalah saudara tiri Sigujana, Shaka dan Dingane, dan ketiganya juga merupakan pendahulu Mpande. Ia mulai berkuasa setelah berhasil menjatuhkan Dingane pada tahun 1840. Walaupun masa kekuasaannya berlangsung lama, pada masa akhir kekuasaannya gelar raja hanya menjadi gelar saja. Anaknya Cetshwayo menjadi penguasa de facto pada tahun 1856. Mpande sendiri mengklaim bahwa ia lebih ingin hidup tenang dan hanya menjadi raja karena dipaksa. Kehidupan awalMpande lahir di Babanango, Kerajaan Zulu, dan merupakan anak kandung Senzangakhona kaJama (1762–1816) dan istri kesembilannya Songiya kaNgotsha Hlabisa. Ia dianggap sebagai laki-laki yang lemah bila dibandingkan dengan rekan-rekan sejawatnya. Saat Dingane membunuh Shaka untuk menjadi raja pada tahun 1828, ia dibiarkan hidup sementara saudara-saudara tiri lainnya dimusnahkan. Mpande juga tidak tertarik dengan dunia perpolitikan Zulu.[1] Mpande mulai menjadi tokoh yang penting setelah Dingane mengalami kekalahan besar dalam Pertempuran Sungai Darah pada Desember 1838, walaupun jumlah pasukan Boer sangat kecil bila dibandingkan dengan pasukan Zulu yang besar. Akibat dari kekalahan tersebut, terjadi kerusuhan, dan Dingane mencoba mengendalikan situasi dengan membunuh calon-calon penerus seperti Mpande. Pada September 1839, Mpande membangkang ketika Dingane meminta bantuan dari Mpande untuk melancarkan perang melawan suku Swazi. Mpande merasa khawatir bahwa ia akan dibunuh apabila ia bergabung dengan Dingane, sehingga Mpande memutuskan untuk memimpin ribuan orang Zulu ke Republik Natalia. Orang-orang Boer yang dipimpin oleh Andries Pretorius dan Gert Rudolph memutuskan untuk membantu Mpande dengan maksud agar mereka dapat memperoleh imbalan apabila Mpande berhasil menjatuhkan Dingane. Pada Januari 1840, pasukan Mpande yang dipimpin oleh Nongalaza berhasil mengalahkan Dingane dalam Pertempuran Maqongqo. Mpande kemudian tiba dengan pasukan Pretorious dan ia diproklamirkan sebagai raja. Setelah menghukum mati jenderalnya yang bernama Ndlela kaSompisi, Dingane melarikan diri, tetapi kemudian tewas dibunuh di Hutan Hlatikhulu. Mpande kini tidak lagi memiliki saingan. Mpande kemudian mengklaim bahwa ia dipaksa menjadi raja meskipun sebenarnya ia tidak mau.[1] Orang-orang Boer langsung meminta wilayah yang luas sebagai balas jasa atas bantuan mereka. Masa kekuasaan awalPada Oktober 1843, komisioner Britania Henry Cloete menegosiasikan perjanjian yang menetapkan perbatasan antara Koloni Natal dengan wilayah Zulu. Mpande juga bernegosiasi dengan orang-orang Boer dan menyerahkan wilayah di sekitar Sungai Klip pada tahun 1847. Britania menganggap tindakan ini sebagai pelanggaran perjanjian, sehingga Mpande terpaksa menduduki kembali wilayah tersebut dengan pasukannya. Mpande berhasil menghindari sengketa dengan Britania dan pada saat yang sama tetap berhubungan baik dengan orang-orang Boer.[2] Pada tahun 1843, Mpande memerintahkan agar saudaranya Gqugqu dihukum mati karena ia diduga berencana membunuh sang raja. Istri-istri dan anak-anak Gqugqu juga dibunuh. Pembantaian ini memicu gelombang pengungsi ke Natal.[2] Mpande menerapkan kebijakan yang berupaya memperluas wilayah kerajaannya pada awal tahun 1850-an. Pada awalnya ia melakukan serangan di sekitar wilayah Zulu. Kemudian ia melancarkan invasi ke Swaziland pada tahun 1852. Suku Swazi sebelumnya sudah tunduk kepada Zulu, tetapi masih tetap merdeka di bawah kepemimpinan Raja Mswati II. Menurut sejarawan Philip Bonner, Mpande ingin menguasai Swaziland karena ia takut diserang oleh Boer dari Natal. Ia "ingin mengubah Swaziland menjadi tempat suaka apabila ia berkonflik dengan Natal, dan tidak mau yang lain selain kendali efektif".[3] Serangan Zulu cukup berhasil karena Swazi hampir mengalami "disintegrasi dan keruntuhan". Selama invasi ini, anak laki-laki tertua Mpande yang bernama Cetshwayo berhasil membuktikan kecakapannya sebagai pemimpin.[3] Namun, Mpande terpaksa mundur akibat tekanan dari Britania. Konflik penerusKeberhasilan Cetshwayo sebagai pemimpin memicu konflik dengan anak laki-laki kedua Mpande yang juga merupakan anak kesayangannya, Mbuyazi.[2] Walaupun Cetshwayo adalah anak laki-laki tertua, ia bukan penerus resmi karena ibunya belum dinyatakan sebagai istri agung raja. Masing-masing dapat menjadi penerus apabila Mpande memilih ibu mereka sebagai istri agung.[4] Cetshwayo merasa bahwa ayahnya pilih kasih terhadap Mbuyazi, dan masing-masing mulai memperoleh pengikut. Mpande menyerahkan wilayah di Sungai Tugela kepada Mbuyazi dan wilayah tersebut menjadi markas Mbuyazi dan pengikutnya. Mbuyazi juga berupaya memperoleh dukungan dari pemukim-pemukim Eropa yang dipimpin oleh John Dunn. Cetshwayo yang telah memperoleh dukungan dari sebagian besar kepala suku memutuskan untuk menyelesaikan urusan ini dengan cara militer. Ia menyerbu wilayah Mbuyazi dan menghancurkan pasukannya dalam Pertempuran Ndondakusuka. Ia juga membantai orang-orang yang selamat dari amukan perang, termasuk lima saudaranya.[2] Dunn melarikan diri dan kemudian menjadi penasihat Cetshwayo. Setelah itu Cetshwayo menjadi penguasa de facto Zulu, walaupun ayahnya masih menjalankan peran resmi sebagai raja. Cetshwayo meneruskan kebijakan ayahnya dengan membina hubungan dengan Britania dan Boer dan menyeimbangkan pemberian konsesi kepada keduanya. Cetshwayo juga merasa waswas dengan istri-istri baru ayahnya karena dapat menghasilkan saingan baru, sehingga ia memerintahkan pembunuhan istri favorit ayahnya Nomantshali beserta keturunannya pada tahun 1861. Walaupun dua anak laki-laki berhasil melarikan diri, anak laki-laki termuda Nomantshali dibunuh di hadapan raja.[4] Menurut Gibson, "pada hari-hari akhirnya ia menjadi sangat gendut hingga ia tidak dapat berjalan".[5] Tanggal kematian Mpande pada akhir tahun 1872 masih belum diketahui karena Cetshwayo merahasiakan kematian ayahnya agar transisi kekuasaan tetap berjalan lancar.[6] PenilaianSifat Mpande yang pasif telah ditafsirkan dari sudut pandang yang berbeda. Ia sering dianggap sebagai orang yang "bodoh" atau "orang bodoh di keluarga".[7] Namun, James O. Gump mendeskripsikannya sebagai "orang lihai yang berhasil bertahan di dunia perpolitikan Machiavellian Zulu".[2] JY Gibson sendiri mengatakan bahwa pada masa mudanya, Mpande adalah tokoh yang mengesankan; seorang saksi Prancis mengatakan bahwa Mpande memiliki pembawaan seorang raja sehingga "seseorang dari Paris mungkin akan percaya bahwa Umpende, pada masa mudanya, sering mendatangi istana raja-raja".[5] Namun, terdapat bukti bahwa ia memiliki sifat "lesu dan acuh tak acuh" saat memimpin, termasuk pada masa awal kekuasaannya ketika keputusan-keputusan diambil oleh anak laki-lakinya.[1] Para misionaris Kristen memiliki pandangan yang positif mengenai Mpande. Mpande memberikan izin kepada John Colenso untuk mencatat tata bahasa Zulu dan menerjemahkan Alkitab ke dalam bahasa Zulu.[8] Rekan Colenso yang merupakan seorang Kristen Zulu, Magema Fuze, menulis catatan sejarah Zulu yang terinspirasi dari Alkitab dengan judul The Black People and Whence they Came. Menurut catatan tersebut, Tuhan telah menghukum pemimpin-pemimpin yang jahat seperti Shaka dan Dingane, tetapi Zulu berkembang di bawah "kekuasaan Mpande yang damai dan tercerahkan". Cetshwayo sendiri dicela karena ia telah membunuh Nomantshali.[9] Referensi
|