Meropenem
Meropenem adalah antibiotik intravena golongan beta laktam yang sering digunakan untuk mengobati berbagai infeksi bakteri.[1] Infeksi bakteri tersebut antara lain meningitis, infeksi intra-abdominal, pneumonia, sepsis, dan antraks.[1] Pada tahun 1983, meropenem resmi dipatenkan.[2] Penggunaannya pada bidang kedokteran disetujui sejak tahun 1996 di Amerika Serikat .[1] Obat ini terdaftar dalam Daftar Obat Esensial Organisasi Kesehatan Dunia.[3] Organisasi Kesehatan Dunia mengkategorikan obat ini sebagai obat yang sangat penting pada pengobatan manusia.[4] Penggunaan medikMeropenem dapat digunakan pada infeksi bakteri Gram-positif dan Gram-negatif (termasuk Pseudomonas) serta bakteri anaerob. Obat ini memiliki spektrum yang hampir mirip dengan imipenem, meskipun meropenem lebih aktif terhadap bakteri Enterobacteriaceae dan kurang aktif terhadap bakteri Gram-positif bila dibandingkan dengan penggunaan imipenem.[5] Obat ini dapat melawan β-laktamase spektrum luas, tetapi lebih rentan terhadap metallo-β-laktamase.[5] Meropenem sering diberikan pada pengobatan demam neutropenia. Kondisi ini sering terjadi pada pasien yang memiliki keganasan hematologi dan pasien kanker yang diberikan obat antikanker yang menekan pembentukan sumsum tulang. Obat ini juga disetujui untuk digunakan pada infeksi intra-abdomen komplikata, infeksi kulit dan infeksi struktur kulit komplikata, dan meningitis bakteri. FDA, pada tahun 2017, menyetujui penggunaan kombinasi meropenem dan vaborbaktam untuk pengobatan orang dewasa dengan infeksi saluran kemih komplikata.[6] Efek sampingMual, diare, sembelit, sakit kepala, serta nyeri dan ruam di tempat suntikan merupakan efek samping yang sering terjadi pada penggunaan meropenem.[1] Efek samping yang serius termasuk Infeksi Clostridioides difficile, kejang, dan reaksi alergi termasuk reaksi anafilaksis .[1] Orang yang alergi terhadap antibiotik beta-laktam lainnya lebih cenderung memiliki alergi terhadap meropenem juga.[1] Penggunaan pada kehamilan tampaknya aman.[1] Meropenem biasanya mengakibatkan kematian bakteri dengan cara mengganggu kemampuan mereka dalam memproduksi dinding sel.[1] Referensi
|