Masuknya Kesultanan Utsmaniyah ke kancah Perang Dunia I
Keputusan Utsmaniyah ini pada akhirnya mengarah pada kematian ratusan ribu warganya, genosida Armenia, bubarnya kesultanan, dan berakhirnya Kekhalifahan Islam tersebut.[2][3][4] Latar belakangPada awal abad ke-20, Kesultanan Utsmaniyah memiliki reputasi sebagai "pesakitan Eropa", setelah seabad mengalami kemunduran yang perlahan-lahan dan terus-menerus. Kesultanan ini dilemahkan oleh ketidakstabilan politik, kekalahan militer, perselisihan sipil dan pemberontakan oleh minoritas nasional.[5] Sumber daya ekonomi Kesultanan Utsmaniyah terkuras habis oleh biaya Perang Balkan Pertama pada tahun 1912 dan Perang Balkan Kedua pada tahun 1913. Prancis, Inggris, dan Jerman telah menawarkan bantuan keuangan, di mana, faksi pro-Jerman yang dipengaruhi oleh Enver Pasha, mantan atase militer Utsmaniyah di Berlin, menentang mayoritas pro-Inggris di kabinet Utsmaniyah dan mencoba mengamankan hubungan yang lebih dekat dengan Jerman.[6][7][8] Pada bulan Desember 1913, Jerman mengirim Jenderal Otto Liman von Sanders dan misi militer ke Konstantinopel. Posisi geografis Kesultanan Utsmaniyah menyebabkan Rusia, Prancis, dan Inggris saling berkepentingan pada netralitas Turki, seandainya terjadi perang di Eropa.[6] Pada tahun 1908, Turki Muda merebut kekuasaan di Konstantinopel dan melantik Sultan Mehmed V sebagai kepala negara pada tahun 1909. Rezim baru ini menerapkan program reformasi untuk memodernisasi sistem politik dan ekonomi kekaisaran dan untuk mendefinisikan kembali karakter rasialnya. Turki Muda mengembalikan konstitusi Utsmaniyah tahun 1876 dan membentuk kembali parlemen Utsmaniyah, yang secara efektif memulai Era Konstitusional Kedua. Anggota gerakan Turki Muda yang dulunya bergerak secara sembunyi-sembunyi (bernama komite, kelompok, dll.) pun mendirikan (mendeklarasikan) partai-partai mereka. Di antaranya, "Komite Persatuan dan Kemajuan" (CUP) dan "Partai Kebebasan dan Kesepakatan" yang juga dikenal sebagai Persatuan Liberal atau Entente Liberal (LU), keduanya menjadi partai-partai besar. Pemilihan umum diadakan pada bulan Oktober dan November 1908 dan CUP menjadi partai mayoritas. Jerman, pendukung antusias rezim baru, menyediakan modal investasi. Para diplomat Jerman memperoleh pengaruh dan para perwira Jerman membantu dalam pelatihan dan perlengkapan kembali angkatan darat Utsmaniyah, tetapi Inggris tetap menjadi kekuatan dominan di wilayah tersebut.[9] Selama periode ini, Angkatan Darat Utsmaniyah menghadapi banyak tantangan termasuk Perang Italo-Turki (1911), Perang Balkan (1912-13), kerusuhan di wilayah pinggiran (seperti di Vilayet Yaman dan Pemberontakan Druze Hauran), dan kerusuhan politik yang terus menerus di dalam negeri. seperti Insiden 31 Maret, dan kudeta pada tahun 1912 dan 1913. Karenanya, pada Perang Dunia Pertama baru dimulai, tentara Utsmaniyah sebenarnya sudah terlibat dalam pertempuran yang terus menerus yang terjadi sejak tiga tahun sebelumnya. Iklim politik internasional pada awal abad ke-20 bersifat multipolar, tanpa ada satu atau dua negara yang mendominasi. Multipolaritas secara tradisional telah memberikan Utsmaniyah kemampuan untuk mempermainkan kekuatan yang satu dengan kekuatan yang lain, yang mereka lakukan beberapa kali dengan keterampilan yang brilian, demikian menurut penulis Michael Reynolds.[10] Jerman sendiri sebelumnya telah mendukung rezim Abdul Hamid II dan memperoleh pijakan yang kuat. Mulanya, CUP dan LU yang baru dibentuk menoleh ke Inggris. Kesultanan berharap untuk dapat mematahkan genggaman Perancis dan Jerman dan memperoleh otonomi yang lebih besar bagi Porte dengan mendorong Inggris untuk bersaing melawan Jerman dan Perancis. Permusuhan terhadap Jerman meningkat ketika sekutunya, Austria-Hungaria, mencaplok Bosnia dan Herzegovina pada tahun 1908. Tanin yang pro CUP melangkah lebih jauh dengan menyatakan bahwa motif Wina dalam melakukan tindakan ini adalah untuk menyerang rezim konstitusional tersebut dan memicu reaksi agar rezim tersebut kolaps.[11] Dua anggota CUP terkemuka, Ahmed Riza dan Dr. Nazim, dikirim ke London untuk mendiskusikan kemungkinan kerja sama dengan Sir Edward Grey (Menteri Luar Negeri Inggris) dan Sir Charles Hardinge (seorang pejabat senior Kantor Luar Negeri). Referensi
|