MasresMasres merupakan sebutan untuk kesenian teater dari tanah kebudayaan Cirebon yang meliputi Karawang, Subang, Indramayu, Majalengka, Kuningan, Kota dan Kabupaten Cirebon serta sebagian wilayah Brebes. Masres sebenarnya adalah jenis benang yang dipergunakan oleh para nelayan untuk menangkap ikan,[1] benang ini disulam untuk dijadikan sebuah kain yang bertekstur halus, kain Masres ini kemudian dijadikan layar (bahasa Cirebon: Kelir) yang dituangkan lukisan-lukisan kehidupan masyarakat didalamnya dengan tujuan memperkuat cerita yang dibawakan oleh para pemerannya.[2] Sejarah awalPada awalnya kain Masres hanya diwarnai satu warna saja seperti merah, kuning dan lainnya sebelum menemukan bentuknya seperti yang sekarang dipenuhi lukisan-lukisan kehidupan masyarakat. Awal alkulturasi Masres dengan budaya eropa diperkirakan terjadi pada tahun 1500an, Portugis pada masa itu mempengaruhi kesenian teater Masres dari cara penataan panggungnya[3] namun dengan tetap mempertahankan penggunaan ritme musik tradisional Cirebon. Belanda kemudian mempengaruhi kesenian teater Masres pada awal abad ke 20, terutama saat grup teater Dardanella yang terkenal di Hindia Belanda pada masa itu mementaskan pagelarannya disekitar tahun 1920an. Dardanella dibentuk oleh Willy A. Piedro (nama aslinya Willy Klimanoff), seorang aktor keturunan Rusia kelahiran Penang, Malaysia. Istrinya, Dewi Dja juga bergabung sebagai seorang pemain, selain itu grup ini juga diisi oleh Tan Tjeng Bok (seorang penyanyi keroncong), Ferry Kock dan Astaman.[4] Dardanella memperkenalkan sebuah gaya kesenian teater yang lebih banyak menekankan pada gaya berdialog sementara mengurangi penggunaan musik pengiring pada pagelarannya, gaya teater ini kemudian dikenal dengan nama Toneel atau dalam bahasa Cirebon disebut Tonil.[5] Penggunaan bahasa Cirebon (termasuk seluruh ragam dialeknya) dan musik-musik tradisional Cirebon pada hasil adaptasi Toneel dengan Masres membuat gaya berteater yang menimialisirkan penggunaan musik ini juga dipandang sebagai bagian dari gaya-gaya pagelaran Masres. Kesenian Masres sebenarnya juga masuk ke wilayah Purwakarta sekarang (yang pada masa itu merupakan bagian dari wilayah Karawang yang menjadi bagian dari wilayah bekas kesultanan Cirebon) di wilayah Purwakarta gaya teater dengan menekankan pada gaya-gaya berdialog dan mengurangi penggunaan musik juga disebut dengan istilah Tonil, hanya saja penggunaan bahasa Sunda dan beragam musik ritme Sunda yang lebih kental membuat pagelaran teater semacam ini di wilayah Purwakarta dipandang berbeda dengan wilayah-wilayah bekas kesultanan Cirebon yang masih menggunakan bahasa Cirebon. PelestarianPelestarian pada kesenian teater Masres terkendala dari lambatnya regenerasi yang dilakukan oleh sanggar-sanggar teater Masres ditambah kurangnya penabuh gamelan yang mengiringi Masres membuat usaha pelestarian teater Masres sedikit tersendat[6] Referensi
|