Mariah al-Qibthiyah
BiografiTahun pengutusanPada tahun 6 SH (627 – 628 M), Muhammad disebutkan menulis surat kepada para penguasa Timur Tengah, yang membahas ajaran Islam dan mengajak mereka untuk bergabung. Isi dari sebagian surat-surat itu tertulis dalam kitab Tarikh at-Tabari karya Muhammad bin Jarir at-Tabari, yang diriwayatkan 250 tahun setelah peristiwa tersebut. Tabari menulis bahwa seorang utusan dikirimkan kepada penguasa Mesir, Al-Muqawqis. Catatan dalam edisi State University of New York karya Tabari menjelaskan bahwa hal tersebut tampak sama dengan versi Koresh dari Kaukasus, yang merupakan Partiark Bizantium dari Alexandria.[3] Catatan tersebut menambahkan bahwa Koresh tidak menjadi Patriark hingga tahun 631, dan sebuah laporan yang menyatakan bahwa ia ditempatkan di Mesir tiga hingga empat tahun lebih awal masih dipertanyakan. Tabari, walaupun begitu, menceritakan kedatangan Mariah dari Mesir sbb.:
Dari Mesir ke YastribRasulullah mengirim surat kepada Muqawqis melalui Hatib bin Balta'ah, menyeru penguasa itu agar memeluk Islam. Al-Muqauqis menerima Hatib dengan hangat, namun dengan ramah ia menolak memeluk Islam, justru ia mengirimkan Mariah, Sirin, dan seorang budak bernama Maburi, serta hadiah-hadiah hasil kerajinan dari Mesir untuk Rasulullah. Di tengah perjalanan Hatib merasakan kesedihan hati Mariah karena harus meninggalkan kampung halamannya. Hatib menghibur mereka dengan menceritakan Rasulullah dan Islam, kemudian mengajak mereka memeluk Islam. Mereka pun menerima ajakan tersebut. Rasulullah telah menerima kabar penolakan Muqawqis dan hadiahnya. Ia mengambil Mariyah untuk dirinya dan menyerahkan Sirin kepada penyairnya, Hasan bin Tsabit. Istri-istri Nabi yang lain sangat cemburu atas kehadiran orang Mesir itu sehingga Rasulullah menitipkan Mariyah di rumah Haritsah bin Nu’man yang terletak di sebelah masjid. Pernikahan dengan MuhammadBanyak sumber Muslim mengatakan bahwa Muhammad kemudian memerdekakan dan menikahi Mariah, namun ini tidak jelas apakah ini fakta historis atau apologi. Budak tidak secara otomatis merdeka karena masuk Islam, sehingga tidak begitu jelas apakah Mariah dimerdekakan atau tidak. Muhammad tinggal dalam rumah bata lumpur dekat dengan masjid Madinah, dan setiap istrinya memiliki ruang tersendiri dalam rumah bata itu, yang dibangun dalam bentuk barisan yang dekat dengan ruangannya. Mariah walau begitu tetap ditempatkan di rumah di tepi Madinah. Mariah juga tidak dikategorikan sebagai istri dalam beberapa sumber paling awal, seperti dalam catatan Ibnu Hisyam dalam Sirah Ibnu Ishaq.[4] Sumber-sumber Muslim sepakat bahwa ia mendapatkan kehormatan yang sama sebagai istri Muhammad, dengan anggapan bahwa ia juga mendapat gelar yang sama seperti istri-istri Muhammad lainnya, yaitu "Ibu orang-orang Mu'min." Mariah melahirkan seorang putra, yaitu Ibrahim bin Muhammad. Selain Mariah, hanya Khadijah saja istri Muhammad yang telah memberikannya anak. Ibrahim meninggal ketika masih dalam masa pertumbuhan. Perhatian Muhammad terhadap Mariah diyakini menyebabkan kecemburuan di antara istri-istri yang lain, hingga turunnya surah ke-66 dalam Al-Qur'an. Berikut bagian surah tersebut:
Sebagian penulis Barat, seperti Gilchrist dan Rodinson, merasa bahwa "kisah sang kekasih" merupakan versi yang telah mengalami pengurangan terhadap kisah Mariah.[5][6] Ibrahim bin MuhammadAllah menghendaki Mariah al-Qibthiyah melahirkan seorang putra Rasulullah setelah Khadijah. Betapa gembiranya Rasulullah mendengar berita kehamilan Mariah, terlebih setelah putra-putrinya, yaitu Abdullah, Qasim, dan Ruqayah meninggal dunia. Mariah mengandung setelah setahun tiba di Madinah. Kehamilannya membuat istri-istri Rasul cemburu karena telah beberapa tahun mereka menikah, namun tidak kunjung dikaruniai seorang anak pun. Rasulullah menjaga kandungan istrinya dengan sangat hati-hati. Pada bulan Dzulhijjah tahun kedelapan hijrah, Mariyah melahirkan bayinya yang kemudian Rasulullah memberinya nama Ibrahim demi mengharap berkah dari nama bapak para nabi, Ibrahim. Lalu ia memerdekakan Mariah sepenuhnya. Kaum muslimin menyambut kelahiran putra Rasulullah dengan gembira. Akan tetapi, di kalangan istri Rasul lainnya api cemburu tengah membakar, suatu perasaan yang Allah ciptakan dominan pada kaum wanita. Rasa cemburu semakin tampak bersamaan dengan terbongkarnya rahasia pertemuan Rasulullah dengan Mariah di rumah Hafshah sedangkan Hafshah tidak berada di rumahnya. Hal ini menyebabkan Hafshah marah. Atas kemarahan Hafshah itu Rasulullah mengharamkan Mariah atas diri dia. Kaitannya dengan hal itu, Allah telah menegur lewat firman-Nya: “Hai Muhammad, mengapa kamu mengharamkan apa yang Allah menghalalkannya bagimu; kamu mencari kesenangan hati istri-istrimu? Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. “ (QS. At-Tahriim:1) Aisyah mengungkapkan rasa cemburunya kepada Mariyah, “Aku tidak pernah cemburu kepada wanita kecuali kepada Mariah karena dia berparas cantik dan Rasulullah sangat tertarik kepadanya. Ketika pertama kali datang, Rasulullah menitipkannya di rumah Haritsah bin Nu’man al-Anshari, lalu ia menjadi tetangga kami. Akan tetapi, ia sering kali di sana siang dan malam. Aku merasa sedih. Oleh karena itu, Rasulullah memindahkannya ke kamar atas, tetapi ia tetap mendatangi tempat itu. Sungguh itu lebih menyakitkan bagi kami.” Di dalam riwayat lain dikatakan bahwa Aisyah berkata, “Allah memberinya anak, sementara kami tidak dikaruni anak seorang pun.” Beberapa orang dari kalangan golongan munafik menuduh Mariah telah melahirkan anak hasil perbuatan serong dengan Maburi, budak yang menemaninya dari Mesir dan kemudian menjadi pelayan bagi Mariah. Akan tetapi, Allah membukakan kebenaran untuk diri Mariah setelah Ali menemui Maburi dengan pedang terhunus. Maburi menuturkan bahwa dirinya adalah laki-laki yang telah dikebiri oleh raja. Pada usianya yang kesembilan belas bulan, Ibrahim jatuh sakit sehingga meresahkan kedua orang tuanya. Mariah bersama Sirin senantiasa menunggui Ibrahim. Suatu malam, ketika sakit Ibrahim bertambah parah, dengan perasaan sedih Nabi bersama Abdurrahman bin Auf pergi ke rumah Mariyah. Ketika Ibrahim dalam keadaan sekarat, Rasulullah bersabda, “Kami tidak dapat menolongmu dari kehendak Allah, wahai Ibrahim.” Tanpa dia sadari, air mata telah bercucuran. Ketika Ibrahim meninggal dunia, dia kembali bersabda, “Wahai Ibrahim, seandainya ini bukan perintah yang haq, janji yang benar, dan masa akhir kita yang menyusuli masa awal kita, niscaya kami akan merasa sedih atas kematianmu lebih dari ini. Kami semua merasa sedih, wahai Ibrahim… Mata kami menangis, hati kami bersedih, dan kami tidak akan mengucapkan sesuatu yang menyebabkan murka Allah.” Demikianlah keadaan Nabi ketika menghadapi kematian putranya. Walaupun tengah berada dalam kesedihan, dia tetap berada dalam jalur yang wajar sehingga tetap menjadi contoh bagi seluruh manusia ketika menghadapi cobaan besar. Rasulullah mengurus sendiri jenazah anaknya kemudian dia menguburkannya di Baqi’. CatatanReferensi
|