Maria Catarina Sumarsih

Maria Catarina Sumarsih
Lahir5 Mei 1952 (umur 72)
Salatiga, Jawa Tengah
KebangsaanIndonesia
Nama lainSumarsih
PekerjaanAktivis HAM
Suami/istriAntonius Maria Jamari Arief Priyadi[1]
Anak

Maria Catarina Sumarsih (lahir 5 Mei 1952) adalah ibu dari Benardinus Realino Norma Irawan (Wawan) mahasiswa Universitas Atma Jaya yang tewas saat Tragedi Semanggi I.[2]

Ia menamatkan pendidikan Sekolah Rakyat pada tahun 1963 dan melanjutkan ke tingkat Sekolah Menengah Ekonomi Pertama (SMEP) dan akhirnya menyelesaikan Sekolah Menengah Ekonomi Atas (SMEA) Negeri di Salatiga tahun 1969.[3] Ia menikah dengan Arief Priyadi pada tanggal 5 Desember 1976 dan dikarunia dua orang anak yaitu Bernardinus Realino Norma Irmawan atau Wawan dan Benedicta Rosalia Irma Normaningsih. Pada tahun 1977 ia pindah ke Jakarta. Hingga tahun 1983 ia mengajar di SMP Budi Murni Jakarta Barat, sampai akhirnya ia diterima bekerja di Sekretariat Jendral DPR-RI.

Kehidupan pribadi

Sumarsih merupakan anak pertama dari enam bersaudara yang dibesarkan di keluarga berbudaya Jawa dan orang tua Sumarsih menganut aliran Kejawen.[4] Didorong oleh dampak dari peristiwa pada tahun 1965-1966, warga negara Indonesia diharuskan untuk memeluk salah satu agama yang diakui negara, atau akan dicap sebagai komunis.[4] Berdasarkan hal tersebut, Sumarsih memutuskan untuk memeluk agama Katolik. Pada tahun 1976, Sumarsih menikah dengan Arief Priyadi dan dikaruniai seorang putra, Bernardinus Realino Norma Irawan (Wawan, lahir 15 Mei 1978) dan seorang putri, Benedicta Rosalia Irma Normaningsih (Irma, lahir 14 Januari 1980).[5] Pada tahun 1980-an, Sumarsih bekerja sebagai Pegawai Negeri Sipil di Sekretariat Jenderal DPR-RI, dan Arief, sang suami, bekerja sebagai peneliti di Centre for Strategic and International Studies (CSIS).[6]

Tragedi Semanggi I

Pada hari Jumat, 13 November 1998, Arief mendapat telepon dari Wawan bahwa keadaan sedang genting di depan Universitas Atma Jaya, dengan aparat militer mengepung para mahasiswa yang sedang berunjuk rasa.[7] Lewat telepon itu, Wawan mengabarkan bahwa ia tidak akan pulang. Sekitar pukul 17.00, Sumarsih mendapat telepon yang datang dari teman Wawan bernama Ivon. Dari pembicaraan tersebut, Ivon menanyakan keberadaan Wawan dan ia mengakhiri pembicaraan dengan berjanji mencari keberadaan Wawan. Tidak lama setelah telepon dari Ivon, Sumarsih mendapat telepon dari Romo Sandiyawan Sumardi SJ yang mengabarkan bahwa Wawan telah tertembak dan telah dibawa ke Rumah Sakit Jakarta.[8] Sumarsih bersama dengan Arief, Irma dan adiknya sampai di Rumah Sakit Jakarta dan segera menuju basemen Rumah Sakit. Di ruang jenazah basemen Rumah Sakit Jakarta, Wawan telah diletakkan di keranda terbuka, lubang bekas penembakan di bagian dada kiri terlihat jelas dari kaos putih yang ia kenakan.[7] Dari hasil otopsi yang dilakukan oleh dr. Budi Sampurno, ditemukan bahwa Wawan tewas dengan tembakan peluru tajam.[9] Setelah otopsi, sekitar pukul 00.30, jenazah Wawan diantarkan ke kediamannya.[10]

Menurut kesaksian Ita F. Nadia, seorang senior di Tim Relawan untuk Kemanusiaan (TRuK), sebelum ditembak, Wawan bersama dengan 6 orang kawannya berusaha menetralisir gas air mata dengan menyemprotkan air hydran, saat ia tertembak, tas berisi obat-obatan masih menggantung di lehernya.[9] Pernyataan ini diperkuat oleh Dian, seorang wartawan radio yang berada di samping Wawan pada saat kejadian. Menurutnya, sebelum Wawan pergi menolong salah satu korban, ia telah meminta izin kepada salah satu aparat militer untuk menolong korban dan diperbolehkan. Wawan juga melambaikan bendera putih sebagai simbol posisinya yang netral, akan tetapi ia tetap terkena tembakan di bagian dada saat ia sedang mengangkat korban.[11]

Aktivisme

Sumarsih adalah sosok yang berani. Selama bertahun-tahun Sumarsih berjuang bersama suami, Arief Priyadi, dan para orang tua korban lainnya, menuntut keadilan atas kematian putranya. Kegiatan aktivisme Sumarsih diawali dengan partisipasinya berdemonstrasi aksi damai di bundaran Hotel Indonesia setiap hari Jumat, walaupun aksi damai ini hanya dapat diikuti 2 kali karena aksi tersebut dianggap sebagai bagian dari Gerwani.[12] Sejak saat itu, Sumarsih memulai perjuangan menuntut keadilan bersama dengan kalangan keluarga korban Tragedi Trisakti, Semanggi I dan II (TSS).

Sumarsih dan kalangan keluarga korban melakukan pertemuan dengan Agustin Teras Narang, S.H., yang pada saat itu menjabat sebagai Anggota Fraksi PDI Perjuangan DPR-RI. Pertemuan ini menjadi permulaan diangkatnya kasus Semanggi dan Trisakti, sehingga akhirnya DPR-RI membentuk Panitia Khusus (Pansus) tentang Kasus Trisakti, Semanggi I dan Semanggi II.[9] Pada hari Senin, 9 Juli 2001, Ketua Pansus melaporkan bahwa kasus Trisakti, Semanggi I dan Semanggi II akan dibahas dalam sidang Paripurna DPR-RI, dan dari hasil sidang ini dinyatakan bahwa kasus Trisakti, Semanggi I dan Semanggi II tidak masuk ke dalam klasifikasi pelanggaran HAM berat, sehingga proses penyelesaiannya dapat dilakukan dengan pengadilan militer.[9] Tidak setuju dengan rekomendasi tersebut, Sumarsih melempar 3 butir telur ke arah tempat duduk Fraksi TNI/Polri, Pimpinan sidang dan Fraksi Partai Golkar.[9]

Advokasi Sumarsih dan kalangan keluarga korban juga dibantu oleh rekan-rekan Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) dan TRuK yang melakukan audiensi ke Mahkamah Agung pada tanggal 4 September 2001. Melalui audiensi yang dilakukan, dinyatakan bahwa Rekomendasi DPR-RI mengenai kasus Trisakti, Semanggi I dan II tidak mengikat dan juga tidak memiliki kekuatan hukum.[9] Selain mengunjungi Mahkamah Agung, Sumarsih dan keluarga korban dengan beberapa lembaga lainnya mengunjungi Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) yang akhirnya menghasilkan terbentuknya KPP HAM Trisakti, Semanggi I dan Semanggi II, walaupun mereka tidak berhasil memanggil jenderal yang diduga melakukan pelanggaran HAM.[9]

Pada pergantian periode anggota DPR-RI, Sumarsih dan kalangan korban serta keluarga korban melakukan audiensi dengan Komisi Hukum DPR-RI yang menghasilkan diungkapkannya kembali kasus Trisakti, Semanggi I dan II, akan tetapi kasus Trisakti, Semanggi I dan II tetapi tidak masuk ke dalam agenda pembahasan Rapat Bamus DPR-RI pada tanggal 22 September 2005.[13] Pada tanggal 9 Januari 2007, pertemuan diadakan dengan kehadiran kalangan korban dan keluarga korban bersama Suciwati, yang menjadi awal terbentuknya aksi Kamisan, dengan payung dan atribut hitam.[14] Aksi ini dilangsungkan di depan istana negara selama satu jam, dilanjutkan dengan penyampaian aspirasi-aspirasi para peserta mengenai isu-isu HAM.[15]

Masih banyak kegiatan yang diikuti oleh Sumarsih. Sudah banyak audiensi yang dia lakukan, antara lain ke Presiden, DPR, Komnas HAM, mendatangi Puspom TNI hingga demonstrasi di jalanan. Sudah banyak orasi yang dia lakukan untuk menyuarakan tegaknya HAM. Berbagai diskusi dan kesaksian tentang pelanggaran dia ikuti. Bersama Tim Relawan untuk Kemanusiaan, Sumarsih mendata kondisi korban pelanggaran HAM di Jakarta. Dengan lancar dia bisa bercerita panjang lebar mengenai kondisi-kondisi korban yang lain. Sumarsih juga mendampingi para keluarga korban yang lain, agar mereka lebih kuat dan tetap mau memperjuangkan keadilan yang menjadi hak mereka. Perjuangan Sumarsih ternyata mendapat dukungan dari banyak pihak. Kenyataan itulah yang semakin menguatkan langkahnya untuk membela korban pelanggaran HAM di Indonesia.

Penghargaan

Sumarsih mendapatkan penghargaan Yap Thiam Hien Award Tahun 2004, pada hari Jumat tanggal 10 Desember 2004.

Film

Film dokumenter berdurasi 28 menit ini bercerita tentang perjuangan orang tua korban Tragedi Trisakti (1998), Semanggi I (1998), dan II (1999) dalam upaya mereka meraih keadilan.

Referensi

  1. ^ "Salinan arsip". Diarsipkan dari versi asli tanggal 2019-02-22. Diakses tanggal 2019-09-11. 
  2. ^ Soebijoto, Hertanto, ed. (2011-03-11). "Sumarsih: Semoga Saya Masih Kuat..." Kompas.com (dalam bahasa Inggris). Diarsipkan dari versi asli tanggal 2012-09-29. Diakses tanggal 2018-05-20. 
  3. ^ -, KontraS (2009). Ingatan Yang Menjadi Peluru; Sumarsih, Keluarga Korban Peristiwa Semanggi I. Jakarta: KontraS. hlm. 1. 
  4. ^ a b -, KontraS (2009). Ingatan Yang Menjadi Peluru; Sumarsih, Keluarga Korban Peristiwa Semanggi I. Jakarta: KontraS. hlm. 2. 
  5. ^ -, KontraS (2009). Ingatan Yang Menjadi Peluru; Sumarsih, Keluarga Korban Peristiwa Semanggi I. Jakarta: KontraS. hlm. 2–3. 
  6. ^ -, KontraS (2009). Ingatan Yang Menjadi Peluru; Sumarsih, Keluarga Korban Peristiwa Semanggi I. Jakarta: KontraS. hlm. 3. 
  7. ^ a b Chamim, Mardiya (2009). Saatnya Korban Berbicara: Menatap Derap Merajut Langkah. Jakarta: Jaringan Solidaritas Untuk Kemanusiaan. hlm. 71–73. 
  8. ^ -, KontraS (2009). Ingatan Yang Menjadi Peluru; Sumarsih, Keluarga Korban Peristiwa Semanggi I. Jakarta: KontraS. hlm. 5. 
  9. ^ a b c d e f g 1976-, Hamid, Usman,; (Indonesia), Komisi Untuk Orang Hilang dan Tindak Kekerasan (2006). Melawan pengingkaran (edisi ke-Cet. 1). Menteng, Jakarta: KontraS. ISBN 9799822580. OCLC 191731057. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2024-08-14. Diakses tanggal 2018-05-20. 
  10. ^ -, KontraS (2009). Ingatan Yang Menjadi Peluru; Sumarsih, Keluarga Korban Peristiwa Semanggi I. Jakarta: KontraS. hlm. 7. 
  11. ^ -, KontraS (2009). Ingatan Yang Menjadi Peluru; Sumarsih, Keluarga Korban Peristiwa Semanggi I. Jakarta: KontraS. hlm. 10–11. 
  12. ^ -, KontraS (2009). Ingatan Yang Menjadi Peluru; Sumarsih, Keluarga Korban Peristiwa Semanggi I. Jakarta: KontraS. hlm. 12–13. 
  13. ^ Chamim, Mardiya (2009). Saatnya Korban Berbicara: Menatap Derap Merajut Langkah. Jakarta: Jaringan Solidaritas Untuk Kemanusiaan. hlm. 91–94. 
  14. ^ paguyuban pamitnya meeting (2017-12-06), KAMIS, diarsipkan dari versi asli tanggal 2024-08-14, diakses tanggal 2018-05-20 
  15. ^ -, KontraS (2009). Ingatan Yang Menjadi Peluru; Sumarsih, Keluarga Korban Peristiwa Semanggi I. Jakarta: KontraS. hlm. 21. 

Pranala luar

Kembali kehalaman sebelumnya