Margonda
Margonda (01 Maret 1918 – 16 November 1945)[1], meninggal di usia 27 tahun dalam pertempuran ketika pasukannya menyerang tentara Inggris di Kali Bata pada 16 November 1945)[2] adalah salah seorang pejuang kemerdekaan. Namanya diabadikan sebagai nama jalan utama di Kota Depok yaitu Jalan Margonda Raya.[3] Riwayat hidupMargonda lahir dan besar di Bogor, pada usia 2 tahun ia dan keluarganya pindah dari Jonggol untuk tinggal di Jalan Ardio (sekarang Bogor Tengah). Waktu masih sekolah, Margonda terkenal sebagai atlet berprestasi. Nama aslinya adalah Margana. Dia menikah dengan Maemunah, keponakan M.S. Mintaredja yang pernah menjadi menteri sosial dalam kabinet kepresidenan Soeharto sekaligus ketua umum Partai Persatuan Pembangunan.[4] Margonda adalah nama seorang pemuda yang belajar sebagai analisis kimia dari Balai Penyelidikan Kimia Bogor. Lembaga ini dulunya bernama Analysten Cursus (sekarang SMKāSMAK Bogor). Didirikan sejak permulaan Perang Dunia I oleh Indonesiche Chemische Vereniging, perusahaan milik Belanda. Memasuki paruh pertama tahun 1940-an, Margonda mengikuti pelatihan penerbang cadangan di Luchtvaart Afdeeling, atau Departemen Penerbangan Belanda. Namun tidak berlangsung lama, karena pada tanggal 5 Maret 1942 Belanda menyerah kalah, dan bumi Nusantara beralih kekuasaannya ke Jepang.[5] PerjuanganSaat Jepang takluk dengan bom atom Amerika di Nagasaki dan Hiroshima pada tahun 1945, Margonda ikut aktif dengan gerakan kepemudaan yang membentuk laskar-laskar. Margonda bersama tokoh-tokoh pemuda lokal di wilayah Bogor dan Depok mendirikan Angkatan Muda Republik Indonesia (AMRI) yang bermarkas di Jalan Merdeka, Bogor, umur AMRI di bawah pimpinan Margonda relatif singkat. Mereka pecah dan anggotanya bergabung dengan Badan Keamanan Rakyat (BKR), Pemuda Sosialis Indonesia, dan kelompok kecil sejenis lainnya. Margonda masuk anggota BKR di Bogor. Setelah mengikuti pendidikan kemiliteran secara singkat, ia dimasukkan ke Batalyon Kota Bogor dengan pangkat letnan muda. Dari Bogor, ia naik kereta api dan bergabung dengan pasukan Batalyon I di Depok. Ketika gugur di Kali Bata, bersama rekannya Sutomo, jenazahnya dibawa ke Bogor tempat kelahirannya. Keduanya dimakamkan di depan stasiun Bogor. Makam keduanya kemudian dipindahkan ke Taman Makam Pahlawan Dreded, Bogor.[6] Gedoran DepokPeristiwa terjadinya Gedoran Depok tak lepas dari sejarah awal berdirinya Depok oleh Cornelis Chastelein saudagar Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC) generasi awal yang memerdekakan orang Depok. Sejak itulah Cornelis Chastelein menjadi tuan tanah, yang kemudian menjadikan Depok memiliki pemerintahan sendiri, lepas dari pengaruh dan campur tangan dari luar.[7] Cornelis Chastelein mewariskan seluruh tanahnya kepada 12 marga budaknya yang berasal dari berbagai suku di Indonesia dan memerdekakan mereka dalam wasiat yang dibuatnya sebelum meninggal. Meski bermuka pribumi dan berkulit coklat, 12 marga dan keturunan mereka bergaya hidup seperti orang Eropa, buah didikan sang tuan. Mereka inilah yang disebut sebagai Belanda Depok. Sehari-hari mereka menggunakan bahasa Belanda. Sejarah juga menyebut, Depok sudah lebih dulu merdeka sejak 28 Juni 1714. Mereka punya tatanan pemerintahan sendiri yakni Gemeente Bestuur Depok yang bercorak republik. Pimpinannya seorang presiden yang dipilih tiga tahun sekali melalui pemilihan umum. Pemerintah Belanda di Batavia menyetujui pemerintahan Chastelein ini dan menjadikannya sebagai kepala negara Depok yang pertama. Tak ayal jika mereka enggan bergabung dengan republik baru bernama Indonesia. Mengingat mereka sudah merdeka dan sudah punya presiden sendiri sebelum proklamasi 17 Agustus 1945 yang dikumandangkan oleh Soekarno-Hatta.[8] Karena Depok tidak mengakui proklamasi kemerdekaan Indonesia, akibatnya wilayah yang berjarak hanya beberapa kilometer dari Jakarta diserbu para pejuang kemerdekaan. Depok dikepung dari seluruh penjuru mata angin. Depok dijarah takluk di bawah todongan senjata, orang Depok dipaksa mengibarkan bendera merah putih dan teriak merdeka. Siapapun yang membangkang kena hantam, tak sedikit korban berjatuhan.[9] Huru-hara yang meletus pada tanggal 11 Oktober 1945 itu dikenal dengan Peristiwa Gedoran Depok untuk merebut Depok dari penjajah oleh para pejuang kemerdekaan. Namun tak berlangsung lama, Nederlandsch Indische Civiele Administratie (NICA) kembali menguasai Depok. Pasukan NICA yang datang membonceng sekutu menyerbu Depok untuk membebaskan orang Depok yang ditawan Tentara Keamanan Rakyat (TKR). Pejuang berhasil dipukul mundur. Tawanan wanita dan anak-anak Depok dibebaskan, dibawa ke kampung pengungsian di Kedunghalang, Bogor.[10] Semenjak itu, kantor Gemeente Bestuur Depok yang tadinya dijadikan markas TKR berubah menjadi markas NICA. Memasuki bulan November, para pejuang yang tercerai-berai kembali menjalin koordinasi dan menyusun kekuatan. Mereka berencana merebut kembali Depok dari tangan NICA. Para pejuang bersepakat menyerbu Depok tanggal 16 November 1945. Sandi perangnya saat itu serangan kilat.[11] Pada saat itulah Margonda berencana kembali merebut Depok bersama para pejuang lain. Diantara ratusan pejuang yang gugur hari itu, terdapat Margonda, pimpinan tentara Angkatan Muda Republik Indonesia (AMRI). Margonda gugur 16 November 1945 di Kali Bata Depok. Daerah bersungai di kawasan Pancoran Mas dan bermuara di Kali Ciliwung itu menjadi saksi gugurnya Margonda. Peristiwa Gedoran Depok ini sering disebut sebagai revolusi sosial di pinggiran Jakarta. Melalui peristiwa inilah lahir tokoh-tokoh, seperti Margonda, Tole Iskandar, dan Mochtar. Nama pejuang itu kini diabadikan sebagai nama jalan utama di Kota Depok.[12] Lihat pulaReferensi
Pranala luar |