Marcella Althaus-Reid
Riwayat HidupAlthaus-Reid lahir di Rosario, Santa Fe, Argentina pada tahun 1952.[1] Selama masa remaja dan dewasanya, ia tinggal Buenos Aires.[1] Ia menempuh studi teologi di Instituto Superior Evangelico de Estudios Teologicos (ISEDET).[1] Salah satu teologi yang dipilihnya adalah Teologi Pembebasan.[1] Dia belajar mengenai teologi pembebasan dengan teolog-teolog pembebasan lainnya, seperti Jose Miguez Bonino dan Jose Severino Croatto.[1] Ia adalah anggota dari Gereja Methodis di Buenos Aires.[2] Ia sangat suka dengan aksi-aksi sosial.[3] Sikap ini ia miliki terinspirasi dari pemikiran Paulo Freire.[3] Ia mengikuti metode pedagogi dari Paulo Freire saat ia menjadi relawan di Skotlandia.[3] Ia pun melanjutkan studi doktoralnya di Universitas St. Andrew, Skotlandia.[3] Setelah menyelesaikan studinya, ia diangkat menjadi dosen teologi kontekstual di New College, Universitas Edinburgh.[3] Selain mengajar, ia juga aktif dalam penulisan buku dan artikel.[3] Ia banyak menulis artikel dan menjadi editor di berbagai jurnal.[3] Salah satu jurnal yang ditanganinya ada jurnal Concillium.[3] Karya-karyanya tidak hanya mengenai teologi pembebasan, tetapi juga teologi feminis dan teologi queer.[3] Salah satu bukunya berjudul Indecent Theology dan membawa era baru bagi perkembangan teologi queer.[3] Dari buku ini pula, ia menjadi salah satu pelopor pergerakan queer di Eropa.[3] Ia juga aktif dalam berbagai organisasi.[3] Ia sempat menjabat sebagai direktur Asosiasi Teologi Queer Internasional dan Proyek Teologi Queer di Universitas Edinburgh.[3] Ia juga aktif sebagai anggota dari Metropolitan Community Church.[3] Ia menghembuskan nafas terakhir pada 20 Februari 2009 di Edinburgh, Skotlandia.[3] Pemikiran Marcella Althaus-ReidAllah QueerDalam bukunya berjudul Queer God, Althaus-Reid mengungkapkan realitas sosial di Argentina dan kaitannya dengan teologi.[4] Realitas sosial di Argentina dalam pandangannya sangat dominan kepada pemerintah.[4] Ia melihat bahwa pemahaman masyarakat dibentuk oleh keinginan pemerintah.[4] Pemahaman yang otoriter itu selanjutnya malah menjadi sebuah doktrin atau ajaran dalam agama, khususnya Kristen.[4] Pemahaman ini pula membuat gereja ikut dalam lingkaran pemerintah.[4] Salah satu efek dari otoritas pemerintah tersebut adalah pemahaman bahwa seksualitas manusia yang dianggap benar adalah hubungan lain jenis atau heteroseksual.[4] Pemahaman ini diperkuat dengan pernyataan dari Alkitab bahwa Allah hanya menciptakan laki-laki dan perempuan, serta menugaskan mereka untuk berkembang biak.[4] Pemahaman ini membuat gereja menolak keberadaan homoseksual dan menganggap mereka berdosa. Bagi mereka, Allah juga menolak kehadiran mereka di tengah dunia.[4] Dari pemahaman-pemahaman tersebut, kaum homoseksual mendapatkan sikap dan perilaku yang tidak adil dari masyarakat.[4] Mereka sangat ditolak di dalam gereja, bahkan ada beberapa diantaranya dibunuh.[4] Pemahaman dan sikap inilah yang ditentang oleh Marcella Althaus-Reid.[4] Ia mengungkapkan bahwa Allah sendiri memiliki cinta yang tidak terbatas. Cinta yang tidak terbatas itu juga ada bagi kaum homoseksual.[4] Allah sendiri adalah queer, dan keberadaan diri-Nya tidak dibatasi hanya oleh satu pemahaman.[4] Ia mengangkat pemahaman ini dengan memakai konsep-konsep yang sesuai dengan realitas di Argentina.[4] Salah satunya adalah tarian salsa.[4] Menurut pemahamannya, cinta Allah kepada manusia bagaikan orang menari salsa.[4] Tiada henti dan penuh irama.[4] Keindahan tarian salsa bagi masyarakat Argentina dianggap vulgar.[4] Namun, Althaus-Reid memiliki pandangan lain. Baginya, tarian salsa justru menunjukkan cinta Allah yang erat dan dekat dengan manusia.[4] Indecent TheologyIndecent Theology, atau yang secara harafiah berarti teologi tidak sopan, adalah judul dari salah satu buku karya Marcella Althaus-Reid. Buku ini merupakan salah satu buku yang memberi warna baru bagi teologi queer.[5] Pemahamannya dalam buku ini berangkat dari pandangan mengenai Bunda dari Guadalupe.[5] Gambaran Bunda dari Guadalupe yang suci dan kudus menguasai pikiran masyarakat di Argentina.[5] Khususnya perempuan, pemahaman bahwa Bunda dari Guadalupe sebagai sosok perempuan yang suci dan kudus terus dipertahankan oleh gereja.[5] Hal ini membuat pemahaman masyarakat tentang perempuan Amerika Latin semakin menguat.[5] Mereka memahami bahwa perempuan yang baik adalah perempuan yang hidup seperti Bunda dari Guadalupe.[5] Hidup mereka selayaknya suci, kudus, dan menghindari hal-hal yang vulgar.[5] Pemahaman ini juga mempengaruhi teologi yang dimiliki gereja.[5] Pemahaman ini yang ditolak oleh Althaus-Reid.[5] Ia memahami bahwa teologi dan Allah melebihi dari apa yang dapat dibayangkan manusia. Ia memulai tulisannya dari lukisan Bunda dari Guadalupe versi Yolanda Lopez.[5] Lukisan tersebut berbeda dengan gambaran Bunda dari Guadalupe selama ini.[5] Lukisan tersebut melukiskan perempuan muda yang enerjik dan memakai sepatu kets, serta menggenggam ular dii tangan kanannya.[5] Gambaran inilah yang ingin ditunjukkan oleh Marcella Althaus-Reid.[5] Baginya, gambaran perempuan selama ini malah mengontrol seksualitas perempuan.[5] Perempuan diatur di dalam doktrin gereja dan teologi yang berlaku di masyarakat.[5] Marcella Althaus-Reid memahami bahwa teologi selama ini justru memihak dan dominan hanya kepada satu pihak.[5] Teologi menjadi jawaban bagi masyarakat, sehingga teologi tidak memihak dan bersikap adil.[5] Ia menawarkan bentuk pemahaman Indecent Theology atau teologi tidak sopan sebagai bentuk teologi yang menolak dominasi dan diskriminasi.[5] Hasil Karya
Referensi
|