Manusia Balangoda

Homo sapiens balangodensis
Klasifikasi ilmiah
Kerajaan:
Filum:
Kelas:
Ordo:
Subordo:
Famili:
Subfamili:
Tribus:
Genus:
Spesies:
Homo sapiens
Nama binomial
Homo s. balangodensis

Manusia Bangaloda (Homo sapiens balangodensis[1]) adalah istilah yang merujuk pada hominid yang berasal dari Sri Lanka pada periode akhir zaman kuarter. Istilah ini awalnya digunakan untuk mengklasifikasikan anatomi dari Homo sapiens modern dari sisa-sisa kerangka yang ditemukan di situs arkeologi dekat Balangoda, yang mana situs arkeologi ini merupakan rujukan terhadap perkembangan Kebudayaan Balangoda pada zaman Mesolithikum di Srilanka. Bukti-bukti awal terkait Manusia Balangoda yang ditemukan di gua-gua dan situs lain jika diurutkan secara arkeologis merujuk pada 38.000 BP (~36.000 SM). Sementara, dari bukti berupa sisa-sisa kerangka yang digali merujuk pada kurun waktu yang lebih awal yakni 30.000 BP (28.000 SM), sekaligus menjadi penanda paling awal dari sejarah anatomi manusia modern di Asia Selatan. Benda-benda terkait Kebudayaan Balangoda juga ditemukan bersama sisa-sisa kerangka yang tergali, seperti ujung anak panah dari batu (microlith) yang merujuk pada 28,500 BP(~26.500 SM). Kurun waktu ini sama dengan kurun waktu dari perkakas batu sejenis yang ditemukan di beberapa situs arkeologi di Afrika, sekaligus menjadi kurun waktu paling awal terkait perkakas batu tersebut .

Terdapat penemuan lain seperti berbagai jenis tanaman dan hewan yang dianggap telah menjadi menu makanan Manusia Balangoda; seperti pisang liar, sukun, dan tulang ikan. Terdapat pula benda-benda yang digunakan sebagai ornamen pribadi seperti liontin yang terbuat dari kerang dan manik-manik dari tulang ikan hiu, yang menunjukkan bahwa Manusia Balangoda sesekali melakukan kontak dengan pantai yang jaraknya sekitar 40 km. Ini juga menandakan bahwa Manusia Balangoda pernah mengunjungi dataran Horton yang berada di tengah-tengah dataran tinggi Sri Lanka selama siklus tahunan untuk mengumpulkan makanan berupa tumbuhan-tumbuhan serealia, dan juga berburu hewan; seperti sapi liar, sambur, dan rusa.

Manusia Balangoda diperkirakan memiliki tengkorak yang tebal, dahi yang menonjol, hidung yang pesek atau tertekan, tulang rahang yang tegas, leher yang pendek, serta gigi besar yang mencolok. Penelitian lebih lanjut terhadap keteraturan dan sifat morfometrik dari fragmen tulang yang digali dari gua-gua yang ditempati oleh Manusia Balangoda selama periode waktu yang berbeda, menunjukan keterkaitan biologis yang sedikit, untuk periode sekitar 16.000 tahun. Sedikitnya keterkaitan biologis tersebut juga dapat dihubungkan secara berkelanjutan dengan masyarakat asli Vedda di Srilanka saat ini.

Asal-muasal

Jembatan Adam, yang diyakini sebagai jalan migrasi Homo sapiens ke Sri Lanka pada masa lampau.

Data arkeologis dari zaman pleistosen akhir di Asia Selatan sangat penting untuk memberikan kita pemahaman tentang evolusi perilaku manusia modern dan cara persebaran manusia purba melalui Dunia Lama.[2] Pada zaman prasejarah, pergerakan manusia dan populasi fauna lainnya dari daratan India ke Sri Lanka atau sebaliknya, melalui jembatan darat yang berupa landas benua antara kedua negara. Jembatan darat telah terendam sejak lebih dari 7000 BP (~9.000 SM) di bawah Selat Palk dan disebut sebagai Jembatan Adam .[3][4] Daerah ini hanya memiliki kedalaman sekitar 70 meter, pengurangan ketinggian permukaan laut akibat perubahan iklim (contoh: zaman es), yang terjadi setidaknya pada 500.000 tahun terakhir, secara berkala telah mengakibatkan landas jembatan darat ini muncul kepermukaan dengan lebar lebih dari 100 km dan panjang lebih dari 50 km .

Dari analisis endapan pesisir di dekat daerah Bundala, distrik Hambantota, Sri Lanka, ahli paleontologi telah mengumpulkan bukti kuat terkait fauna zaman prasejarah di Sri Lanka pada kurun waktu 125.000 BP (~127.000 SM).[5][6] Penggalian di wilayah tersebut juga menemukan perkakas yang terbuat dari batu kuarsa dan rijang yang diyakini berasal dari zaman batu tengah. Akibatnya, beberapa ahli percaya adanya kemungkinan bahwa terdapat manusia prasejarah di Sri Lanka yang berasal dari kurun waktu 500.000 BP atau sebelumnya, dan juga mempertimbangkan kemungkinan bahwasannya manusia ini telah berada di Sri Lanka sejak 300.000 BP. Analisis lebih lanjut terhadap endapan pasir kuno di bagian utara dan selatan dari pulau ini diyakini dapat menghasilkan bukti-bukti lebih lanjut dari keberadaan awal hominid.

Secara umum, di daerah Asia Selatan, terdapat bukti kuat berupa pemukiman awal dari manusia prasejarah. Meskipun tidak dianggap memiliki anatomi yang sama dengan Homo sapiens modern, sebuah tengkorak yang ditemukan di tengah lembah Narmada, Madhya Pradesh, India, yang kini disebut sebagai Manusia Narmada, adalah penemuan tengkorak hominid pertama yang terkonfirmasi berasal dari periode akhir zaman pleistosen tengah (sekitar 200.000 BP), di Asia Selatan. Penemuan ini memicu banyak perdebatan mengenai posisi dari spesies tersebut dalam taksonomi hominid era pleistosen. Sifat-sifat morfometrik dari tengkorak tersebut tidak cocok dengan tengkorak-tengkorak Homo erectus yang telah ditemukan. Alih-alih, tengkorak tersebut memiliki keterkaitan kepada spesimen tengkorak hominid yang disebut Homo sapiens kuno, seperti manusia pre-Neanderthal dari Eropa dan Asia Barat. Terdapat juga klasifikasi lain dari tengkorak tersebut yaitu h. heidelbergensis, dan evolusi lanjut dari Homo erectus, tetapi klasifikasi yang terakhir telah dibantah oleh beberapa ahli dan dianggap tidak memiliki makna taksonomi.

Penemuan-penemuan terkait

Mikrolit Geometris
Trapezoid
Triangular/Segitiga
Lunate/Bulan sabit

Dibandingkan dengan fosil-fosil awal lain yang ditemukan di Sri Lanka sebelumnya, catatan fosil yang bersal dari sekitar 40.000 BP(~42.000 SM) dan setelahnya, jauh lebih lengkap. Penggalian fosil-fosil yang berupa sisa-sisa tulang dan artefak kebudayaan dari periode ini memberikan gambaran paling awal dari anatom Homo sapiens modern di Asia Selatan, sekaligus memberi beberapa bukti awal terkait jenis peralatan batu tertentu yang digunakan.[7][8][9]

Gua Fa Hien yang terletak di distrik Kalutara, Sri Lanka, yang juga merupakan salah satu gua terbesar di pulau ini, telah menghasilkan beberapa sampel dari fosil-fosil manusia awal tersebut. Penanggalan radiometrik yang dilakukan terhadap sampel arang yang digali dari gua ini menunjukkan bahwa, gua tersebut telah ditempati dari kurun tahun 34.000-5.400 BP (~36.000 - 7.400 SM), sebuah periode yang konsisten dengan periode penempatan lain dari beberapa gua-gua lain di pulau ini. Penanggalan lain yang diperoleh dari pengurutan artefak-artefak kebudayaan di gua ini menunjukan bahwa gua ini dihuni pada periode yang sedikit lebih awal, yakni mulai dari 38.000 BP(~40.000 SM). Sisa-sisa kerangka tertua yang digali dari Gua Fa Hien merupakan tengkorak dengan usia anak-anak dan berasal dari kurun tahun 30.000 BP (~32.000 SM). Gua-gua di Batadomba lena, Provinsi Sabaragamuwa, Sri Lanka, yang berada pada ketinggian 460 m di atas permukaan laut di kaki gunung Sri Pada (adam's Peak), juga telah menghasilkan beberapa peninggalan kuno yang penting. Penggalian lantai gua pertama kali di akhir tahun 1930-an menghasilkan penemuan berupa fragmen tulang anak-anak dan beberapa orang dewasa. Penggalian pada tahun 1981 terhadap stratum keenam dari lantai gua (lapisan internal konsisten sedimen tanah atau batuan), menghasilkan kerangka manusia yang lebih lengkap dan menurut penanggalan radiokarbon berasal dari kurun tahun 16.000 BP (~18.000 SM). Penggalian stratum ketujuh pada tahun berikutnya menghasilkan sisa-sisa tulang manusia, sampel arang, dan 17 mikrolit geometris; memiliki panjang 1–4 cm dan berbentuk segitiga panjang, trapesium, dan berbentuk bulan sabit yang terbuat dari batu atau rijang, yang digunakan sebagai ujung dari senjata berburu seperti tombak dan panah. Penanggalan radiometrik pada sampel arang menunjukan alat-alat ini berasal dari kurun waktu 28,500 BP (~30.500 SM).

Sejalan dengan penemuan di beberapa situs lain di Afrika, mikrolit geometris yang berkaitan dengan jenis sebelumnya ditemukan memiliki penanggalan pada kurun tahun 27.000 BP (~29.000 SM), mikrolit jenis ini ditemukan juga dari gua-gua di wilayah Belilena, Kitulgala, dan Batadombalena, dan juga dari dua situs arkeologi di pantai Bundala yang memiliki penanggalan mikrolit geometris tertua di dunia. Penanggalan paling awal yang ditemukan terkait dengan penggunaan mikrolit di India adalah pada kurun waktu 24,500 BP (~26.500 SM), di situs arkeologi Patne, Maharashtra, India; sedikit lebih lambat dari yang ditemukan di Sri Lanka. Bukti-bukti awal seperti industri pembuatan mikrolit yang ditemukan di berbagai situs arkeologi di Asia Selatan, mendukung pandangan bahwa, industri pembuatan mikrolit ini muncul secara regional, hal ini mungkin saja disebabkan oleh tantangan iklim dan kondisi sosial-demografis, yang membuat pembuatan mikrolit lebih efektif daripada harus membawanya dari tempat lain.[10] Di Eropa, penanggalan paling awal dari mikrolit yang ditemukan yaitu dari sekitar periode 12.000 BP (~14.000 SM), meskipun demikian, sejak periode 20.000 BP (~22.000 SM), terdapat kecenderungan produksi perkakas batu yang mengarah pada pembuatan pisau mikrolit.

Situs arkeologi era mesolitikum di Provinsi Sabaragamuva dan Uva, Sri Lanka, menegaskan lebih lanjut bahwa teknologi pembuatan mikrolit berkembang di pulau ini, meskipun dengan frekuensi yang lebih rendah, hingga timbulnya periode sejarah, pada abad ke-6 SM. Pengurutan kebudayaan zaman batu menunjukkan bahwa, mickrolit secara bertahap digantikan oleh perkakas batu jenis lain seperti penggilingan batu, alu, lumpang, dan martil batu, saat periode akhir dari zaman pleistosen; 13,000-14,000 BP (~14.000-16.000 SM).

Situs arkeologi lainnya yang mengungkap keberadaan sisa-sisa dari kerangka manusia kuno berada di gua Belilena dan Bellanbandi Palassa, distrik Ratnaputra, Sri Lanka. Sampel karbon terkait penemuan tersebut memiliki penanggalan masing-masing pada periode 12.000 BP (~14.000 SM) untuk situs Belilena, dan 6.500 BP (~8.500 SM) untuk situs Bellanbandi Palassa. Ini menunjukkan bahwa, manusia pada periode ini menempati Sri Lanka secara berkelanjutan.

Ciri-ciri fisik dan praktik-praktik kebudayaan

Dari beberapa sampel tertentu, diperkirakan tinggi badan Manusia Balangoda sekitar 174 cm untuk jenis kelamin laki-laki dan 166 cm untuk wanita,[11] dan lebih tinggi secara signifikan jika dibandingkan dengan tinggi badan rata-rata dari populasi Sri Lanka saat ini. Manusia Banlagonda juga memiliki tulang tengkorak yang tebal, dahi yang menonjol, hidung yang kecil atau pesek, rahang yang tegas, leher yang pendek, serta gigi besar yang mencolok.

Terlepas dari penemuan mikrolit, kapak genggam yang terbuat dari tulang kaki gajah dan berasal dari periode meso-neolitikum ditemukan di Bellanbandi Palassa. Selain itu, ditemukan juga belati atau baji yang terbuat dari tanduk sambar. Dari periode yang sama, situs arkeologi ini dan juga situs lainnya telah menghasilkan bukti-bukti dari penggunaan luas dari oker atau boreh, domestikasi anjing, pembedaan penggunaan ruang, penguburan, dan penggunaan api untuk keperluan sehari-hari.

Dataran Horton, yang diyakini sebagai salah satu pusat aktivitas awal manusia di Sri Lanka

Penemuan-penemuan lain yang berkaitan dengan kebudayaan manusia pada periode meso-neolitikum adalah pernak pernik pribadi dan hewan yang digunakan sebagai makanan seperti: tulang ikan, manik-manik dan liontin dari kulit kerang dan tulang hiu, kerang laut, sisa-sisa hewan moluska, pisang liar yang telah menjadi arang, kulit buah sukun, dan perkakas tulang yang telah dipoles.[12][13]

Penemuan benda-benda yang terkait hewan laut di situs arkeologi yang berupa gua-gua menunjukan bahwa, penghuni gua kemungkinan besar telah melakukan kontak langsung dengan pantai yang berjarak sekitar 40 km; Penemuan di situs Belilena juga menunjukkan tanda-tanda bahwa terdapat garam yang dibawa dari pantai.

Kebudayaan dan tradisi manusia yang berkaitan dengan mikrolit terlihat memiliki periode yang sama dengan mobilitas tinggi, penggunaan sumber daya hutan, dan adaptasi terhadap perubahan iklim dan lingkungan. Penemuan mikrolit geometris di Horton Plains, yang terletak pada bagian tengah-selatan dataran tinggi Sri Lanka, menunjukkan bahwa, daerah tersebut telah dikunjungi oleh manusia prasejarah pada zaman Mesolitikum. Salah satu teori yang mungkin menyatakan bahwa, dalam suatu siklus tahunan untuk mencari makanan, pemburu-pengumpul pada zaman prasejarah tinggal di gua-gua batu yang berada di dataran rendah rock-tempat penampungan dan secara berkala mengunjungi dataran Horton untuk berburu—dapat berupa sapi liar, sambur dan rusa—dan mengumpulkan makanan dari tumbuh-tumbuhan serealia liar. Dataran Horton kemungkinan hanya dipakai sebagai tempat tinggal sementara, dan tidak ditemukan lebih lanjut bukti yang menunjukan bahwa dataran Horton digunakan untuk tempat tinggal yang lebih permanen. Sejak akhir periode pleistosen dan holosen, terdapat bukti-bukti terkait penggunaan tanaman-tanaman hutan hujan seperti sukun, pisang liar, dan kacang-kacangan yang berasal dari tumbuh-tumbuhan canarium.

Transisi kebiasaan manusia dari berburu-meramu menjadi bercocok tanam dengan menggunakan tanaman serealia dan tanaman lainnya yang telah didomestikasi diperkirakan telah dimulai di beberapa daerah tropis pada awal zaman holosen. Sampai saat ini, manusia mungkin telah menggunakan lahan basah, padang rumput, dan hutan hujan, yang terdapat di dataran Horton menggunakan teknik-teknik perladangan dan pembuatan sawah dengan terbatas.

Kaitan dengan masyarakat asli saat ini

Masyarakat asli Vedda di desa Wanniyala-Aetto, Sri Lanka (1910).

Seperti manusia prasejarah lainnya, sumber-sumber sejarah menggambarkan penduduk asli Sri Lanka— masyarakat Vedda—sebagai pemburu-pengumpul. Mereka juga digambarkan mendiami gua-gua alam dan memperdagangkan hasil buruan dan madu yang mereka miliki dengan desa lainnya untuk mendapatkan anak panah dan ujung tombak dari logam. Penduduk desa ini sebagian besar berasal dari populasi manusia di Timur Tengah, Eropa dan daratan India, di mana untuk periode yang berbeda-beda melewati jembatan daratan atau tiba melalui India untuk sampai ke Sri Lanka.[14] Selama bertahun-tahun, di saat beberapa populasi masyarakat Vedda masih menetap di gua-gua, terdapat populasi lainnya yang dapat berasimilasi dengan desa tetangga, atau bahkan bergabung dengan pasukan militer yang dipimpin oleh raja-raja pada masa Kerajaan Kandy, di akhir abad ke-15 hingga awal abad ke-19. Istilah Vedda juga telah diberikan/diadopsi kepada/oleh beberapa populasi petani di Sri Lanka, dan masih belum jelas apakah mereka memiliki kaitan dengan masyarakat Vedda asli yang memiliki kegiatan khas berupa berburu dan meramu.

Penelitian lebih lanjut terhadap keteraturan dan sifat morfometrik dari sisa-sia tulang yang digali dari gua-gua di Sri Lanka menunjukan kemiripan anatomi yang mengindikasikan terdapat keberlanjutan biologois antara pemburu-pengumpul pada zaman prasejarah dengan masyarakat Vedda, dan keterkaitan biologis ini terhitung sangat dekat untuk periode 16.000 tahun. Hal ini tidak mengherankan, mengingat pulau Sri Lanka relatif terisolasi secara geografis hingga abad kelima SM, sampai akhirnya pemukim baru tiba dari daratan India. Oleh karena itu, masyarakat Vedda merupakan subjek yang relevan untuk dijadikan sebagai subjek pertanyaan dan penelitian terkait tingkat isolasi relatif terhadap Homo sapiens kuno dan modern di Sri Lanka, dari populasi Homo sapiens lainnya di India bagian selatan.

Masyarakat Vedda pada umumnya memiliki perawakan yang relatif lebih kecil, tulang tengkorak yang lebih kuat, perbedaan struktur gigi; termasuk didalamnya berupa ukuran kepala gigi geraham yang lebih besar, dan struktur tengkorak yang lebih bervariasi dari yang ditemui pada populasi manusia di India bagian selatan.[3][15] Walaupun perbedaan ini juga ditemukan pada masyarakat Sinhala dan Tamil yang juga dikenal telah lama menghuni Sri Lanka, dan juga dari orang-orang Sri Lanka yang memiliki garis keturunan Portugis, Belanda, atau Inggris,[3] beberapa ahli berpendapat bahwa ciri-ciri yang dimiliki oleh masyarakat Vedda, termasuk ciri genetik, dapat ditemukan diantara masyarakat Sri Lanka modern. Hal ini menunjukan bahwa mereka memiliki keterkaitan leluhur yang merupakan penghuni paling awal Sri Lanka.[5][14]

Penelitian terbaru menunjukan bahwa masyarakat asli Vedda kemungkinan merupakan penghuni paling awal dari Sri Lanka.[16] Urutan mtDNA yang dimiliki masyarakat Vedda ditemukan lebih menyerupai mtDNA yang dimiliki oleh masyarakat Sinhala ketimbang masyarakat Tamil India. Saat ini, tidak terdapat penelitian DNA kuno yang terisisa di Sri Lanka untuk periode paleolitikum dan mesolitikum.

Daftar situs-situs prasejarah di Sri Lanka

Referensi

  1. ^ Deraniyagala, P. E. P. A. R. (1955). "Some aspects of the prehistory of Ceylon". Spolia Zeylanica. 27 (2): 295–303. 
  2. ^ James, Hanna V. A. & Petraglia, Michael D. (2005). "Modern human origins and the evolution of behavior in the later pleistocene record of South Asia". Current Anthropology. The University of Chicago Press. 46: S3–S27. doi:10.1086/444365. 
  3. ^ a b c Kennedy, Kenneth A. R. (2013). Abraham, Shinu; Gullapalli, Praveena; Raczek, Teresa P.; Rizvi, Uzma Z., ed. Connections and complexity: New approaches to the archaeology of South Asia. hlm. 35–44. 
  4. ^ Milinkovitch, Madhava (2004). "Local Endemism Within the Western Ghats-Sri Lanka Biodiversity Hotspot". Science. 306 (5695): 479–481. Bibcode:2004Sci...306..479B. doi:10.1126/science.1100167. PMID 15486298. 
  5. ^ a b Deraniyagala, Siran U. (1996). "Pre- and Protohistoric settlement in Sri Lanka". Congress of the International Union for Prehistoric and Protohistoric Sciences. 5 (16): 277–285. 
  6. ^ Kenndy, Kenneth A. R. (2000). God-apes and Fossil Men: Paleoanthropology of South Asia. University of Michigan Press. hlm. 180–181. 
  7. ^ Kourampas, Nikos; Simpson, Ian A.; Perera, Nimal; Deraniyagala, Siran U.; Wijeyapala, W.H. (2009). "Rockshelter sedimentation in a dynamic tropical landscape: Late Pleistocene-Early Holocene archaeological deposits in Kitulgala Beli-lena, southwestern Sri Lanka". Geoarchaeology. Wiley Subscription Services, Inc. 24 (6): 677–714. doi:10.1002/gea.20287. 
  8. ^ Kennedy, Kenneth A. R. & Deraniyagala, Siran U. (1989). "Fossil remains of 28,000-year-old hominids from Sri Lanka". Current Anthropology. 30 (3): 394–399. doi:10.1086/203757. 
  9. ^ Kennedy, Kenneth A. R.; Deraniyagala, Siran U.; Roertgen, William J.; Chiment, John & Disotell, Todd (1987). "Upper Pleistocene Fossil Hominids From Sri Lanka". American Journal of Physical Anthropology. 72 (4): 441–461. doi:10.1002/ajpa.1330720405. PMID 3111269. 
  10. ^ Clarkson, Chris; Petraglia, Michael; Korisettar, Ravi; Haslam, Michael; Boivin, Nicole; Crowther, Alison; Ditchfeld, Peter; Fuller, Dorian; Miracle, Preston; Harris, Clair; Connell, Kate; James, Hannah & Koshy, Jinu (2009). "The oldest and longest enduring microlithic sequence in India: 35,000 years of modern human occupation and change at the Jwalapuram Locality 9 rockshelter". Antiquity. 83 (320): 326–348. 
  11. ^ Deraniyagala, S. U. (1992). The prehistory of Sri Lanka: an ecological perspective. Department of Archaeological Survey, Government of Sri Lanka. 
  12. ^ Deraniyagala, P. E. P. (1963). "Prehistoric Archaeology in Ceylon". Asian Perspectives. 7: 189–192. 
  13. ^ Premathilake, Rathnasiri, Rathnasiri (2012). "Human used upper montane ecosystem in the Horton Plains, central Sri Lanka–a link to Lateglacial and early Holocene climate and environmental changes". Quaternary Science Reviews. 50: 23–42. Bibcode:2012QSRv...50...23P. doi:10.1016/j.quascirev.2012.07.002. 
  14. ^ a b Kshatriya, GK; Gautam Kumar (1995). "Genetic Affinities of Sri Lankan Populations". Human Biology. 67 (6): 843–866. PMID 8543296. 
  15. ^ Stock, Jay T.; Mirazón Lahr, Marta & Kulatilake, Samanti (2007). "Cranial diversity in South Asia relative to modern human dispersals and global patterns of human variation". The Evolution and History of Human Populations in South Asia. Vertebrate Paleobiology and Paleoanthropology Series: 245–268. doi:10.1007/1-4020-5562-5_11. ISBN 978-1-4020-5561-4. 
  16. ^ Mitochondrial DNA history of Sri Lankan ethnic people: their relations within the island and with the Indian subcontinental populations.

Pranala luar

Kembali kehalaman sebelumnya