Mangkunegara VIII
[2]Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Arya Mangkunegara VIII (1 Januari 1920 – 3 September 1987)[3] adalah Adipati kedelapan Mangkunagaran yang merupakan penguasa dari Kadipaten Praja Mangkunegaraan dan sempat menjadi wakil Gubernur Daerah Istimewa Surakarta Dari 1945 - 1946. kenaikan takhta tepat pada tanggal 19 Juli 1944 (masa pemerintahaan Jepang) dan bertepatan pada wafat ayahnya yaitu Mangkunegara VII. Mangkunegara VIII memiliki nama B.R.M Natosoeparto dipilih atas dasar karena merupakan anak laki-laki yang tertua dan mempunyai sebuah pengalaman di luar istana.[4] Riwayat HidupMasa kecilPasangan kanjeng gusti pangeran Mangkunegoro VII dengan BRAy Retnaningrum (Garwo Ampil) telah melahirkan anak pertama laki-laki yang bernama B.R.M Natasoeparto. Ia dilahirkan pada hari jumat pahing,1 Januari 1920. Secara garis keturunan, dia merupakan anak istri dari Garwo Ampil bukan Garwo Padmi. Ayahnya Gusti Mangkunegoro VII memiliki 7 orang anak baik dari Garwo Padmi (Permaisuri) maupun dari Garwo Ampil (Selir) [5] B.R.M Saroso pada masa kecil memperoleh pendidikan baik non formal maupun formal. Pendidikan non formal B.R.M Sarosa diberikan secara privat yaitu dengan mendatangkan guru-guru dari keluarga Belanda. Hal ini dilakukan agar kelak setiap putera-puteri Mangkunegoro VII dapat menguasai kemampuan berbahasa Belanda dengan baik untuk berkomunikasi dan berinteraksi dengan keluarga Belanda. Di lingkungan istana Mangkunegaran pendidikan dan pengajaran yang dilakukan serta ruang lingkup aplikasinya bersumber pada cerita yang turun-temurun dari nenek moyangnya. Pelajarannya berupa pencerminan filsafat kejawaan yang pengaruhnya besar sekali pada alam pikiran Jawa. Terdapat pula ajaran Dharma yang dicanangkan Raden Mas Said (pendiri dinasti Mangkunegaran) untuk dipegang setiap warga-negara maupun pemimpin apabila ingin wilayahnya makmur. Tiga pesan Dharma itu secara lengkap berisi sebagai berikut:[6]
B.R.M Sarosa dari kecil oleh Romonya (ayahnya), Mangkunegara VII diberi pegangan hidup nebata tata kerama dan membangun jati diri Mangkunegara. Pegangan hidup itu antara lain
Pendidikan formal B.R.M Sarosa dimulai di usia 7 tahun di ELS (Europeschee Lagere School) Pasar Legi Solo. ELS adalah sekolah dasar pada zaman kolonial di Indonesia. ELS juga menggunakan bahasa Belanda sebagai pengantar dalam proses kegiatan belajar mengajar. ELS tersebut sebenarnya hanya diperuntukkan bagi keturunan Eropa, keturunan timur asing (orang-orang kaya Tionghoa kelas pemodal) atau pribumi dari kelas bangsawan dan tokoh terkemuka. ELS yang pertama didirikan pada tahun 1817 dengan jenjang menempuh pendidikan sekolah selama tujuh tahun. Awalnya sebenarnya ELS hanya terbuka bagi warga Belanda di Hindia Belanda, sejak tahun 1903 kesempatan belajar juga diberikan kepada orang-orang pribumi yang kaya dan juga warga Tionghoa setelah beberapa tahun, pemerintah Belanda beranggapan bahwa hal ini ternyata berdampak negatif pada tingkat pendidikan di sekolah-sekolah dan sekolah ELS kembali dikhususkan kepada warga Belanda saja. Sebagai anak raja (Bangsawan tinggi) B.R.M Sarosa mempunyai hak untuk mengenyam pendidikan yang terbaik. Tetapi dalam faktanya untuk masuk ELS, Sekolah Dasar yang menggunakan bahasa Belanda sebagai pengantar, bermodal latar belakang anak raja saja sebenarnya tidak cukup. Kemampuan berbahasa Belanda dan kecerdasan anak juga menjadi dasar utama. Pada Tahun 1932 B.R.M Sarosa lulus dan memperoleh ijazah pertama dalam hal pendidikan formal. Setelah Tamat ELS, kemudian B.R.M Sarosa melanjutkan Sekolah MULO (Middelbaar Uitgebreid Laager Onderwijs). Pada tahun 1936 dengan masa pendidikan tiga tahun, B.R.M Sarosa lulus dan mendapatkan ijazah pendidikan ke dua setelah ELS. Setelah lulus dari MULO. B.R.M Saroso ingin melanjutkan sekolah AMS di Jakarta, hidup mandiri dan merasakan kehidupan di luar keraton dengan menimba ilmu (sekolah) di luar kota, hal ini dikabulkan oleh Sri Paduka Mangkunegoro VII, dengan pertimbangan usia B.R.M Sarosa yang cukup matang berusia 16 tahun, ayahnya memberikan kesempatan kepada B.R.M Sarosa meninggalkan keraton Mangkunegaran tetapi tetap dalam pengawasannya. Penobatan Sri Mangkunegoro VIII Sebagai RajaPada masa Pemerintahan Jepang, wilayah Surakarta merupakan wilayah yang mempunyai status istimewa atau yang disebut dalam bahasa jepang dengan nama Kochi (daerah istimewa). Maka dari itu, Mangkunegara VIII diberi gelar tambahan Koo seperti Mangkunegara Koo. Pengaruh Jepang di Surakarta cukuplah kuat, Jepang membatasi hegemoni kekuasaan feodalime di Surakarta berbagai kebijakan yang keluar dari dalam keraton akan mendapatkan pengawasan dari pemerintahan Jepang kehidupan politik rakyat diatur oleh pemerintah Jepang[8] Pada awalnya pemerintah mengalami kesulitan, yang pertama susah mencari orang yang mengerti tentang pabrik disebabkan politik era Belanda dulu, dimana bangsanya harus hidup lebih tinggi kedudukannya dari bangsa Indonesia di dalam segala hal, baik hal kemanusiaan maupun gajinya, pangkat dan derajatnya, pemerintah Belanda tidak mengijinkan orang Jawa (Indonesia) menjabat pangkat pembesar. Kedua: perkakas-perkakas pabrik yang rusak itu susah didapat gantinya. Kesulitan-kesulitan itu dapat dihindarkan atas pertolongan pemerintah Dai Nippon dan semangat kekerasan hati Mangkunegaran kotji yang berhasil menemukan Soeperintendan handal yaitu Mr Soenaria seorang ahli ekonomi pernah menjabat sebagai guru besar dalam ilmu ekonomi pada sekolah tinggi kasusteraan[9] Pada penobatan Mangkunegaran VIII sebagai penguasa, Pemerintah Jepang tetap menghargai berbagai upacara-upacara adat penobatan raja, seperti ritual menyembelih kerbau (Mahesa Lawong), dan berbagai tarian khusus seperti, Beksan Anglir mendung, terdapat pula doa bersama untuk kelangsungan Puro mangkunegaran agar mendapat perlindungan dan diberi keberkahan oleh sang pencipta[10]. Perjuangan Mangkunegara VIII dalam krisis keberadaan Pura Mangkunegaran dijalaninya dengan menempuh jalan yang formal seperti ketika mempersoalkan aset-aset Mangkunegaran yang diambil alih pengelolaannya oleh pemerintah tanpa pembicaraan. Meski kemudian ternyata kalah dalam pengadilan, Mangkunegara VIII tetap menjalankan roda monarki Mangkunegaran dengan berbagai upaya dan usaha. Pada saat heboh masa Gerakan Anti Swapraja yang dimotori Barisan Banteng di Surakarta, Pangeran Adipati Mangkunegara VIII menghindari upaya penculikan dan berhasil mempertahankan Praja Mangkunegaran dari serangan kelompok Anti Swapraja.[11] Riwayat Hidup Mangkunegara VIIIMangkunegara VIII dalam kancah kesenian sangat berjasa dalam menggali kembali Tari Bedaya Anglir Mendung, sebuah tarian ciptaaan Mangkunegara I yang sempat menghilang. Pada tahun 1970 oleh Mangkunegara VIII digali kembali dan dihidupkan. Selain menggali kembali Tari Bedaya Anglir Mendung, ia juga menciptakan sebuah tarian kerakyatan yang disebut Tari Gambyong Retno Kusumo. Ia juga pernah menjadi Anggota DPR RI hasil Pemilihan umum 1971[12] dan 1977[3] Selain itu, Ia juga dikenal aktif mendukung serta menjadi anggota Muhammadiyah.[13] Mangkunegara VIII wafat tahun 1987 dan digantikan oleh putra keduanya, GPH. Sujiwakusuma, sebagai KGPAA. Mangkunegara IX. Rujukan
|