Malik Mahmud
Teungku Malik Mahmud Al Haythar (lahir 29 Maret 1939) adalah mantan tokoh pejuang Gerakan Aceh Merdeka yang pernah menjabat sebagai Perdana Menteri GAM pada tahun 2002—2005. Sosok yang menandatangi MoU Helsinki ini sejak 2 November 2012 dikukuhkan menjadi Wali Nanggroë Aceh.[2] BiografiIbunya berasal dari Lampreh, Lambaro, Aceh Besar. Ayahnya bernama Haji Mahmud Haytar, berasal dari Lampuuk, Banda Aceh. Beliau hijrah ke Singapura ketika hendak ditangkap Tentara Indonesia di Aceh, karena diketahui sebagai seorang anggota DI/TII. Almarhum pengusaha Aceh yang sukses, sangat kaya dan punya tanah di Singapore. Haji Mahmud juga salah satu gembong Darul Islam Aceh dan sangat bersahabat dengan Teungku Ilyas Leube serta Teungku Daud Beureueh. Hubungannya dengan Hasan di Tiro hampir seperti anak. Hasan di Tiro selama Darul Islam sangat rapat dengan keluarga Mahmud, terutama dengan Amir Rashid Mahmud (abang Malik Mahmud, salah seorang Mentri dalam kabinet Aceh Merdeka).[3] Haji Mahmud sangat berjasa bagi masyarakat Aceh di Singapura dan juga bagi orang Melayu, yang dikenali sebagai Ayah Aceh. Ketika terjadi "racial clash" di Singapura, orang Melayu seluruh Geylang lari berlindung ke rumahnya. Para pengusaha Aceh Kongsi, Permi dan Permai merupakan perusahaan besar Aceh di Malaya, mereka kabanyakan mendapati hubungan awal di luar negeri melalui Haji Mahmud.[4] Malik Mahmud punya banyak saudara sepupu di Indonesia. Salah satunya Raja Kopi Indonesia, almarhum Mustapha ("Van Mook"), adalah salah seorang sepupunya dari pihak ayah. Saat pertemuan di Stavanger, Nur Djuli mengusulkan kepada Hasan di Tiro untuk mengangkat Malik Mahmud menjadi Perdana Menteri dan Zaini Abdullah sebagai Menteri Luar Negeri Neugara Acheh. Kesepakatan itu tertuang dalam Deklarasi Stavanger pada hari minggu, 2 Juni 2002.[5] Setelah wafat Hasan di Tiro, Malik Mahmud di angkat menjadi pemangku Wali Nanggroë, dan tepat hari Jumat, 2 November 2012, Malik Mahmud resmi menjadi Wali Nanggroë Aceh perioe 2012-2019.[6] Dalam qanun Aceh, Lembaga Wali Nanggroë merupakan pemimpin adat. Diantara tugasnya adalah mengukuhkan Parlemen Aceh dan kepala Pemerintahan Aceh secara adat, memberikan pandangan, arahan, dan nasihat kepada eksekutif dan legislatif.[7][8] Riwayat Pekerjaan
Lihat pulaReferensi
Wikisumber memiliki naskah asli yang berkaitan dengan artikel ini:
|