Makhluk mitologis

Beberapa makhluk dalam legenda, karya J.F. Bertuch.[1]
Dari sudut kanan atas (searah jarum jam): gorgon, gigantes, putri duyung, hippokampos, satir, griffin.

Makhluk mitologis, makhluk legenda, atau makhluk fantastis adalah makhluk yang keberadaanya dituturkan dalam kisah-kisah mitologis, legenda maupun fabel. Makhluk tersebut juga terkait dengan folklor suatu suku. Makhluk mitologis pada umumnya bersifat fantastis, baik bentuk maupun kemampuannya. Karena kisahnya merupakan mitos, maka keberadaannya dipercayai oleh masyarakat penganut mitologi bersangkutan. Maka dari itu, orang yang tidak menganutnya dapat menyamakan makhluk mitologis sebagai makhluk imajiner (makhluk khayalan). Pada masa kini, makhluk fantastis yang dilaporkan sebagai penampakan dan rumor dikategorikan sebagai kriptid ("makhluk yang bersembunyi").

Dalam perkembangan zaman, makhluk-makhluk dalam legenda dipakai sebagai lambang dan dekorasi bangunan. Makhluk-makhluk ini juga diadaptasi dalam budaya populer, terlebih dalam permainan, (misalnya Dungeons & Dragons atau Everquest), novel fiksi fantasi, film-film Hollywood, dan bahkan band power metal (misalnya DragonForce).

Mitos

Lukisan oni yang merapalkan doa Buddha, karya Kyosai Kawanabe (1864).

Sebagai mitos, makhluk mitologis dipercaya merupakan makhluk yang benar-benar ada oleh penganut mitologi bersangkutan. Makhluk mitologis berkaitan dengan folklor suatu bangsa, muncul dalam cerita rakyat, karya seni (patung, dekorasi, tari-tarian, dll.), dan sebagainya. Sebagai contoh, makhluk oni dalam mitologi Jepang, yang terdapat dalam cerita rakyat (Issun-Bōshi), lukisan, pertunjukan (topeng noh), dan festival setempat (Setsubun). Beberapa makhluk, misalnya naga, memiliki asal usul yang dituturkan dalam mitologi tradisional mereka, dan kadang kala narasi suatu mitologi berbeda dengan mitologi lainnya, baik mengenai ciri fisik maupun asal-usulnya. Meskipun demikian, tetap ada kesamaan yang diperoleh dan dipelajari dalam mitologi perbandingan.

Beberapa kisah makhluk mitologis berkaitan dengan asal-mula sesuatu. Beberapa kisah makhluk mitologis berkaitan dengan pandangan tentang kosmologi (contoh: sesa dalam mitologi Hindu) dan fenomena alam (contoh: naga dalam mitologi Tiongkok). Ada pula kisah makhluk mitologis yang berkaitan dengan norma suatu masyarakat, contohnya legenda Namahage dari Akita, Jepang yang konon memburu anak nakal dan pemalas.[2]

Makhluk mitologis dapat berupa hewan fantastis, hewan campuran, bahkan makhluk hominoid (berbentuk mirip manusia). Makhluk hominoid dalam mitos dan legenda memiliki kisah asal usulnya masing-masing; beberapa di antaranya memiliki versi yang berbeda-beda tetapi merujuk kepada satu hal yang sama. Dalam mitologi Nordik, para kurcaci dipercaya sebagai makhluk yang muncul dari darah raksasa Brimir dan tulang Bláinn. Makhluk supernatural, misalnya Peri, dipercaya sebagai entitas gaib dan merupakan makhluk khusus yang diciptakan berbeda dengan manusia maupun malaikat, tetapi dalam versi lain menyatakan bahwa mereka adalah makhluk yang jahat, atau demon.[3]

Keberadaan makhluk mitologis erat kaitannya dengan kepercayaan, dan asal usulnya juga dapat ditelusuri dari kitab yang memuat narasi yang diyakini kebenarannya oleh pengikutnya. Misalnya dalam Al-Qur'an (kitab suci Islam) disebutkan bahwa bangsa jin diciptakan dari api sedangkan malaikat diciptakan dari cahaya. Sementara itu dalam mitologi Hindu yang diuraikan dalam kitab Purana diceritakan bahwa para dewa diyakini sebagai keturunan Aditi (sehingga disebut Aditya) sedangkan para raksasa merupakan keturunan Diti (sehingga disebut Detya).

Hibrida

Griffin, makhluk setengah burung setengah singa.

Beberapa makhluk mitologis merupakan hibrida, yaitu gabungan dari dua binatang atau lebih, atau manusia dengan sebagian anggota tubuhnya merupakan tubuh hewan tertentu. Sebagai contoh: centaurus adalah gabungan antara manusia dengan kuda; minotaurus adalah gabungan antara manusia dengan banteng; putri duyung, merupakan gabungan antara wanita dengan ikan; dan dhampir merupakan gabungan antara vampir dengan manusia. Penggambaran manusia dengan unsur-unsur hewani telah bermula sejak zaman Paleolitik, dan dipercaya merupakan usaha agar manusia memperoleh kekuatan hewan yang diinginkan.[4]

Beberapa hibrida merupakan gabungan dari beberapa unsur-unsur sifat hewan yang ideal. Hibrida seperti griffin (setengah elang, setengah singa) melambangkan kekuasaan atau kejayaan di langit (burung elang) dan di darat (singa). Hibrida lainnya kemungkinan merupakan metafora (perumpamaan) yang terinspirasi dari suatu hal, misalnya mitos Khimaira dengan Gunung Chimera di Lycia. Khimaira digambarkan sebagai makhluk berbadan kambing, berekor ular, dan berkepala singa (dalam beberapa versi berkepala kambing dan singa), dan menyemburkan api. Hal ini ada kemiripan dengan gunung Chimera yang merupakan gunung berapi, dengan singa di bagian puncak gunung tersebut, kambing merumput di tengah gunung, dan ada banyak ular di bawah gunung.

Umumnya hibrida memiliki etimologi yang menggambarkan ciri-cirinya, misalnya mermaid (putri duyung) gabungan dari mere (laut) dan maid (wanita). Hal ini tidak selalu berarti gabungan spesies yang berbeda secara harfiah. Pada zaman dahulu, para sarjana dan pengelana barat mencoba menceritakan makhluk yang tak lazim mereka jumpai dengan membandingkan ciri-ciri fisiknya dengan makhluk yang mereka ketahui. Sebagai contoh, jerapah, pernah disebut camelopard, dan diduga sebagai makhluk setengah unta (Inggris: camel), setengah macan tutul (Inggris: leopard). Leopard sendiri disebut demikian karena dulu dipercaya sebagai makhluk setengah singa (Latin: "leo") setengah panter (Latin: "pardus"). Penggunaan istilah tersebut masih bertahan hingga sekarang, meskipun secara zoologi tidaklah akurat.

Kekeliruan

Ilustrasi pohon anak domba dari Tartaria oleh Friedrich Johann Justin Bertuch.

Beberapa sosok makhluk mitologis berdasarkan kenyataan, yang mungkin faktanya diputarbalikkan oleh kisah para pengembara; misalnya "Pohon anak domba dari Tartaria".[5] Konon pohon tersebut memiliki bagian menyerupai anak domba, diduga merupakan bagian dari pohon tersebut atau buahnya yang menyerupai anak domba.

Fenomena alam di perairan, yaitu pulau lenyap dan pelepasan gas metana akibat aktivitas gunung berapi bawah laut, diduga sebagai penjelasan kisah Hafgufa. Hafgufa adalah monster laut raksasa, lebih besar daripada paus, yang sering dikira sebagai sebuah pulau. Makhluk tersebut bersendawa untuk menarik perhatian ikan-ikan di sekelilingnya dan setelah mulutnya penuh, ia akan menelan semuanya sekaligus. Monster laut lainnya yang mirip dengan Hafgufa disebut Lyngbakr, juga diduga merupakan fenomena pulau lenyap.

Beberapa tokoh mengaku melihat makhluk dalam legenda. Marco Polo, seorang penjelajah asal Italia, mengaku pernah menjumpai Unikorn atau kuda bertanduk satu saat mengunjungi pulau Jawa, Indonesia. Ia mendeskripsikannya sebagai makhluk yang lebih kecil daripada gajah, dengan kepala mirip babi hutan, bertanduk satu di dahinya, dan berwajah jelek; hal tersebut bertentangan dengan sosok Unikorn (dalam mitologi Eropa) yang mirip kuda berwarna putih dan jinak terhadap gadis perawan. Sesungguhnya yang dilihat Marco Polo adalah sosok badak jawa.[6][7] Namun cerita Marco Polo tidak menciptakan mitos tentang Unikorn; ia menyangka telah menyaksikan keberadaan Unikorn, tetapi tidak seperti yang diuraikan dalam legenda.

Fosil

Kisah makhluk mitologis, seperti naga dan griffin, dipercaya sebagai interpretasi dari penemuan fosil hewan purba, misalnya dinosaurus. Fosil dinosaurus terutama diduga sebagai bukti keberadaan naga. Selain fosil dinosaurus, fosil gajah kerdil (sudah punah) yang ditemukan di Eropa Selatan, diduga sebagai basis mitologi tentang Kiklops, yaitu raksasa bermata satu. Tengkorak gajah tersebut memiliki lubang rongga hidung lebar (untuk saluran belalai) yang dikelirukan sebagai rongga mata, karena berkesan terletak di dahi.[8]

Pada zaman dahulu di Tiongkok, fosil dinosaurus dianggap sebagai tulang naga sehingga naga dipercaya benar-benar ada. Penggalian fosil dinosaurus dianggap sebagai penemuan tulang naga dan bahkan didokumentasikan dalam suatu dokumen (abad ke-3 SM) oleh Chang Qu sebagai penemuan "tulang naga" di Sichuan.[9] Dalam bahasa Tionghoa, naga disebut konglong (恐龍, berarti "naga menakutkan"), dan penduduk Tiongkok Tengah telah lama menggali "tulang naga" untuk pengobatan tradisional, dan praktik tersebut berlangsung hingga sekarang.[10]

Menurut teori, interpretasi keliru tentang penemuan suatu fosil telah menginspirasi munculnya mitos griffin—makhluk berbadan singa dan berkepala burung, atau makhluk setengah singa setengah burung. Suatu teori yang dipostulatkan terutama oleh Adrienne Mayor, menyatakan bahwa asal usul griffin berbasis pada perjalanan para pedagang Eropa menempuh Jalur Sutra dan melintasi gurun Gobi. Di sana fosil-fosil Protoceratops dan sarang mereka terekspos secara natural. Menurut teori, karena bentuk fosil Protoceratops mirip paruh burung, kemungkinan besar fosil-fosil tersebut ditafsirkan sebagai bukti keberadaan makhluk setengah burung setengah hewan buas (berkaki empat).[11][12]

Kriptid

Ilustrasi oleh ahli moluska, Pierre Dénys de Montfort (1801) tentang kisah gurita gigantik yang menyerang kapal dagang Prancis di perairan Angola.

Beberapa makhluk dalam mitos dan legenda suatu masyarakat diyakini masih ada sampai sekarang, dan disaksikan oleh orang luar masyarakat tersebut. Makhluk mitologis dianggap sebagai hewan yang bersembunyi atau sulit diamati dan dicari bukti keberadaannya oleh manusia. Makhluk tersebut diamati oleh sekelompok masyarakat dan menjadi suatu mitos karena keberadaannya belum diekspos. Dalam kasus ini penampakannya dianggap sebagai kemunculan kriptid (hewan tersembunyi).

Pribumi Kongo memiliki kisah tentang mokele-mbembe ("sesuatu yang menahan aliran sungai"). Menurut legenda, makhluk tersebut hidup di perairan sungai Kongo, berleher panjang dan lebih besar dari gajah. Para sarjana dan pengelana barat mendeskripsikannya sebagai makhluk mirip dinosaurus yang hidup pada masa kini.[13] Sementara itu, di Skotlandia ada legenda monster air yang diusir oleh seorang santo bernama Santo Columba (abad ke-6).[14] Pada masa sekarang, kisah tersebut menjadi sejarah bagi penampakan monster Loch Ness dan dalam budaya populer sering ditampilkan mirip plesiosaurus (dinosaurus air berleher panjang).

Selain makhluk air, makhluk mitologis yang sering diketahui sebagai kriptid memiliki ciri-ciri primata. Keberadaannya diselidiki namun belum ditemukan bukti kuat, hanya berdasarkan kesaksian penampakan. Contohnya penampakan Bigfoot, makhluk berkaki dua yang diyakini sebagai "manusia hutan" atau Sasquatch yang diceritakan dalam legenda orang asli Amerika Utara.[15] Primata misterius terkenal lainnya adalah legenda Yeti dari Tibet, yang disebut Michê ("manusia beruang") oleh penduduk asli di sana.[16] Penampakannya disaksikan oleh banyak pengelana dari barat namun tidak ada bukti yang ditemukan. Di Indonesia juga terdapat mitos Orang bunian dan Orang pendek di Sumatra, yang konon memiliki ciri-ciri mirip manusia, tetapi bukti kuat mengenai keberadaannya tidak ditemukan.

Penemuan dan fakta

Beberapa makhluk fantastis (yang dulu dituturkan dalam mitos dan legenda) merupakan makhluk yang benar-benar ada, tetapi masih dianggap mitologis atau semi-legendaris sebelum ditemukannya spesimen makhluk bersangkutan untuk diekspos pada masa kini; misalnya cumi-cumi raksasa. Gurita gigantik (lebih besar daripada gurita raksasa) diduga hidup di lautan yang dalam namun bukti keberadaannya belum didapatkan hingga sekarang; keberadaannya diketahui dari catatan pelayaran pada zaman dahulu. Sama halnya seperti cumi-cumi raksasa, gurita gigantik diduga menjadi basis cerita mengenai monster laut.

Sementara itu di Afrika, penduduk pribumi Kongo bercerita kepada para pelancong Eropa tentang keberadaan binatang yang wujudnya seperti perpaduan antara zebra dan jerapah. Ketika para pelancong menganggap bahwa itu hanya cerita rakyat belaka, pada tahun 1901, Sir Harry Johnston membawa sebuah kulit binatang yang membuktikan keberadaan makhluk tersebut, yang kini disebut Okapi.[17]

Lihat pula

Referensi

  1. ^ Bertuch, J.F. (1806), Kinderbuch Fabelwesen, 2 
  2. ^ "秋田県男鹿市の民俗行事「なまはげ」の由来" (snippet). Shūkan shinchō. 41 (1). 1996. , p.40 "「ウォー、泣く子いねがあ」; "鬼どもに一夜のうちに村から五社堂まで一千段の石段を築くこと、という条件を出す。石段が完成する直前に、村人が一番鶏の.."
  3. ^ Lewis, C.S. (1994), The Discarded Berkas: An Introduction to Medieval and Renaissance Literature, Cambridge: Cambridge University Press, ISBN 0-521-47735-2 
  4. ^ Steiger, B. (1999). The Werewolf Book: The Encyclopedia of Shape-Shifting Beings. Farmington Hills, MI: Visible Ink. ISBN 1-57859-078-7. 
  5. ^ Large, Mark F. (2004). Tree Ferns [ILLUSTRATED]. Portland, Oregon: Timber Press, Incorporated. hlm. 360. ISBN 978-0-88192-630-9. 
  6. ^ Eco, Umberto (1998), Serendipities: Language and Lunacy., New York: Columbia University Press 
  7. ^ "Fun facts about the unicorn". Diakses tanggal 7 Oktober 2012. 
  8. ^ Meet the original Cyclops, Globalnet, diakses tanggal 18 Mei 2007 
  9. ^ Dong Zhiming (1992). Dinosaurian Faunas of China. China Ocean Press, Beijing. ISBN 3-540-52084-8. OCLC 26522845. 
  10. ^ "Dinosaur bones 'used as medicine'". BBC News. 6 Juli 2007. 
  11. ^ Protoceratops, Wikidino, diarsipkan dari versi asli tanggal 2011-12-13, diakses tanggal 2 Januari 2012 
  12. ^ BBC Four television program Dinosaurs, Myths and Monsters, 8.00–0.00 pm Sat 10 Dec 2011 and 9.55–10.55 pm Tue 13 Dec 2011
  13. ^ Clark, Jerome (1993), Unexplained! 347 Strange Sightings, Incredible Occurrences, and Puzzling Physical Phenomena, Visible Ink Press, ISBN 0-8103-9436-7 
  14. ^ Carruth, J. A. (1950), Dinsdale, Tim, ed., "Loch Ness Monster", Abbey Press, hlm. 33–35  Parameter |chapter= akan diabaikan (bantuan)
  15. ^ Daegling (2004), Bigfoot Exposed: An Anthropologist Examines America's Enduring Legend, Altamira Press, hlm. 62–63, ISBN 0-7591-0539-1 
  16. ^ Swan, Lawrence W., (18 April 1958). "Abominable Snowman". Science New Series. 127 (3303): 882–884. 
  17. ^ Sharps, Matthew J., Justin Matthews & Janet Asten. 2006. Cognition and Belief in Paranormal Phenomena: Gestalt/Feature-Intensive Processing Theory and Tendencies Toward ADHD, Depression, and Dissociation. The Journal of Psychology: Interdisciplinary and Applied. 140 (6), pp. 579–590 DOI:10.3200/JRLP.140.6.579-590

Pranala luar


Kembali kehalaman sebelumnya