Madihin
Madihin (dalam bahasa Banjar)[1] atau dikenali juga sebagai Madīḥ nabawī (dalam bahasa Arab) adalah salah satu genre kesenian religius musik Islam, yang berakar dari kebudayaan musik khas Arab. Madihin secara umumnya berupa pembacaan syair ataupun gazal (bentuk asli pantun sebelum diterjemahkan) yang didedikasikan untuk mengungkapkan pujian, rasa cinta dan pengabdian kepada nabi Muhammad (beserta keluarganya). Di Indonesia, penampilan Madihin biasanya diiringi dengan tabuhan rebana atau tamborin. Madihin dipercayai telah ada sejak tahun 632 Masehi, masa setelah kematian nabi Muhammad. Di Persia, Madihin juga berasimilasi menjadi genre khas Sufisme bagi sastra Arab.[2] Di Indonesia secara khusus, yang merupakan negara berpenduduk Muslim terbesar di dunia, praktik kesenian musik religius Islami semacam ini telah mempengaruhi kebudayaan musik rakyat, khususnya bagi kelompok etnis Banjar yang sebagian besar bermukim di wilayah Banjar di tenggara Kalimantan, yang mama secara lokal dikenal sebagai Madihin dalam bahasa Banjar.[3] Sebagai upaya untuk menjaga tradisi tersebut tetap hidup, pemerintah Indonesia telah menetapkan Madihin sebagai salah satu Warisan Budaya Tak Benda Nasional sejak tahun 2012,[4] yang mana secara umum dikaitkan dengan budaya musik masyarakat etnis Banjar (dan juga kemungkinan diaspora Arab di Indonesia).[3][4] Bentuk fisikMasih menurut Ganie (2006), Madihin merupakan pengembangan lebih lanjut dari pantun berkait. Setiap barisnya dibentuk dengan jumlah kata minimal 4 buah. Jumlah baris dalam satu baitnya minimal 4 baris. Pola formulaik persajakannya merujuk kepada pola sajak akhir vertikal a/a/a/a, a/a/b/b atau a/b/a/b. Semua baris dalam setiap baitnya berstatus isi (tidak ada yang berstatus sampiran sebagaimana halnya dalam pantun Banjar) dan semua baitnya saling berkaitan secara tematis. Madihin merupakan genre/jenis puisi rakyat anonim berbahasa Banjar yang bertipe hiburan. Madihin dituturkan di depan publik dengan cara dihapalkan (tidak boleh membaca teks) oleh 1 orang, 2 orang, atau 4 orang seniman Madihin (bahasa Banjar Pamadihinan). Anggraini Antemas (dalam Majalah Warnasari Jakarta, 1981) memperkirakan tradisi penuturan Madihin (bahasa Banjar: Bamadihinan) sudah ada sejak masuknya agama Islam ke wilayah Kerajaan Banjar pada tahun 1526. Biasanya, kesenian madihin dimainkan pada malam hari, namun pada masa sekarang juga dapat lakukan di siang hari sesuai permintaan. Madihin biasanya dimainkan selama 1 sampai 2 jam. Jika dahulu madihin biasa dilakukan di tempat terbuka, seperti halaman atau lapangan yang luas, dengan panggung ukuran 4x3 meter, sekarang madihin sering ditampilkan di dalam gedung pertunjukan. Struktur MadihinDalam pertunjukannya, madihin mempunyai struktur baku bagi semua pemadihin, yaitu: 1. Pembukaan, dengan menyanyikan sampiran sebuah pantun yang diawali dengan pukulan tarbang yang disebut pukulan membuka. Pada sampiran ini biasanya menyangkut tema yang akan dibawakan pemadihin. 2. Memasang tabi, yakni membawakan syair-syair atau pantun yang isinya menghormati penonton, memberikan pengantar, terima kasih atau permohonan maaf jika nanti ada salah kata dalam membawakan madihin. 3. Menyampaikan isi (manguran), yaitu menyampaikan syair atau pantun yang isinya sesuai dengan tema acara atau permintaan panitia. Sebelum isi dari tema madihin dikupas oleh pamadihinan, sampiran pantun di awal harus disampaikan isinya terlebih dahulu (mamacah bunga). 4. Penutup, yakni menyampaikan kesimpulan, sambil menghormati penonton, mohon pamit, dan ditutup dengan pantun penutup. Alat musik pelengkapDalam penyelenggaraan Madihin, seorang pemadihin akan dilengkapi dengan alat musik seperti berikut : Tarbang Masyarakat Banjar menyebutnya alat musik berupa gendang ini dengan Tarbang, yang menjadikannya satu-satunya alat musik pengiring Madihin. Bentuk gendang yang dimainkan berbeda dalam hal ukuran dan kekencangannya. Setiap pemain (sendiri atau banyak pemadihin) diharuskan memukul gendang saat bermadihin. [5] Tarbang untuk Madihin terbuat dari kayu asam hutan atau batang pohon Nangka, kemudian dibungkus dengan kulit kambing atau kulit rusa yang diberikan simpul dengan tali dari rotan dan diberikan pasak kayu yang mengatur kekencangan kulit tarbang tersebut. Bunyi yang dihasilkan hanya ada dua nada, yaitu 'Tak' dan 'Dung'. Nada 'Tak' dihasilkan dari jari kiri yang menekan ujung tepi tarbang bagian kiri dan jari kanan yang memukul ujung tarbang bagian kanan. Sedangkan nada 'Dung' dihasilkan dari jari kiri yang memukul bagian tengah tarbang dan jari kiri yang diam. Status Sosial dan Sistem Mata Pencaharian PamadihinanMadihin dituturkan sebagai hiburan rakyat untuk memeriahkan malam hiburan rakyat (bahasa Banjar Bakarasmin) yang digelar dalam rangka memperintai hari-hari besar kenegaraan, kedaerahan, keagamaan, kampanye partai politik, khitanan, menghibur tamu agung, menyambut kelahiran anak, pasar malam, penyuluhan, perkawinan, pesta adat, pesta panen, saprah amal, upacara tolak bala, dan upacara adat membayar hajat (kaul, atau nazar). Orang yang menekuni profesi sebagai seniman penutur Madihin disebut Pamadihinan. Pamadihinan merupakan seniman penghibur rakyat yang bekerja mencari nafkah secara mandiri, baik secara perorangan maupun secara berkelompok. Setidak-tidaknya ada 6 kriteria profesional yang harus dipenuhi oleh seorang pamadihinan, yakni: (1) terampil dalam hal mengolah kata sesuai dengan tuntutan struktur bentuk fisik Madihin yang sudah dibakukan secara stereotipe, (2) terampil dalam hal mengolah tema dan amanat (bentuk mental) Madihin yang dituturkannya, (3) terampil dalam hal olah vokal ketika menuturkan Madihin secara hapalan (tanpa teks) di depan publik, (4) terampil dalam hal mengolah lagu ketika menuturkan Madihin, (5) terampil dalam hal mengolah musik penggiring penuturan Madihin (menabuh gendang Madihin), dan (6) terampil dalam hal mengatur keserasian penampilan ketika menuturkan Madihin di depan publik. Tradisi Bamadihinan masih tetap lestari hingga sekarang ini. Selain dipertunjukkan secara langsung di hadapan publik, Madihin juga disiarkan melalui stasiun radio swasta yang ada di berbagai kota besar di Kalsel. Hampir semua stasiun radio swasta menyiarkan Madihin satu kali dalam seminggu, bahkan ada yang setiap hari. Situasinya menjadi semakin bertambah semarak saja karena dalam satu tahun diselenggarakan beberapa kali lomba Madihin di tingkat kota, kabupaten, dan provinsi dengan hadiah uang bernilai jutaan rupiah. Tidak hanya di Kalsel, Madihin juga menjadi sarana hiburan alternatif yang banyak diminati orang, terutama sekali di pusat-pusat pemukiman etnis Banjar di luar daerah atau bahkan di luar negeri. Namanya juga tetap Madihin. Rupa-rupanya, orang Banjar yang pergi merantau ke luar daerah atau ke luar negeri tidak hanya membawa serta keterampilannya dalam bercocok tanam, bertukang, berniaga, berdakwah, bersilat lidah (berdiplomasi), berkuntaw (seni bela diri), bergulat, berloncat indah, berenang, main catur, dan bernegosiasi (menjadi calo atau makelar), tetapi juga membawa serta keterampilannya bamadihinan (baca berkesenian). Para Pamadihinan yang menekuni pekerjaan ini secara profesional dapat hidup mapan. Permintaan untuk tampil di depan publik relatif tinggi frekwensinya dan honor yang mereka terima dari para penanggap cukup besar, yakni antara 500 ribu sampai 1 juta rupiah. Beberapa orang di antaranya bahkan mendapat rezeki nomplok yang cukup besar karena ada sejumlah perusahaan kaset, VCD, dan DVD di kota Banjarmasin yang tertarik untuk menerbitkan rekaman Madihin mereka. Hasil penjualan kaset, VCD, dan DVD tersebut ternyata sangatlah besar. Pada zaman dahulu kala, ketika etnis Banjar di Kalsel masih belum begitu akrab dengan sistem ekonomi uang, imbalan jasa bagi seorang Pamadihinan diberikan dalam bentuk natura (bahasa Banjar: Pinduduk). Pinduduk terdiri dari sebilah jarum dan segumpal benang, selain itu juga berupa barang-barang hasil pertanian, perkebunan, perikanan, dan peternakan. Keberadaan Madihin di Luar Daerah KalselMadihin tidak hanya disukai oleh para peminat domestik di daerah Kalsel saja, tetapi juga oleh para peminat yang tinggal di berbagai kota besar di tanah air kita. Salah seorang di antaranya adalah Pak Harto, Presiden RI di era Orde Baru ini pernah begitu terkesan dengan pertunjukan Madihin humor yang dituturkan oleh pasangan Pamadihinan dari kota Banjarmasin Jon Tralala dan Hendra. Saking terkesannya, dia ketika itu berkenan memberikan hadiah berupa ongkos naik haji plus (ONH Plus) kepada Jon Tralala. Selain Jhon Tralala dan Hendra, di daerah Kalimantan Selatan ada bermukim Pamadihinan terkenal, antara lain: Mat Nyarang dan Masnah pasangan Pamadihinan yang paling senior di kota Martapura), Rasyidi dan Rohana(Tanjung), Imberan dan Timah (Amuntai), Nafiah dan Mastura Kandangan), Khair dan Nurmah (Kandangan), Utuh Syahiban Banjarmasin), Syahrani (Banjarmasin), dan Sudirman(Banjarbaru). Madihin mewakili Kalimantan Timur pada Festival Budaya Melayu.[5] Pada zaman dahulu kala, Pamadihinan termasuk profesi yang lekat dengan dunia mistik, karena para pengemban profesinya harus melengkapi dirinya dengan tunjangan kekuatan supranatural yang disebut Pulung. Pulung ini konon diberikan oleh seorang tokoh gaib yang tidak kasatmata yang mereka sapa dengan sebutan hormat Datu Madihin. Pulung difungsikan sebagai kekuatan supranatural yang dapat memperkuat atau mempertajam kemampuan kreatif seorang Pamadihinan. Berkat tunjangan Pulung inilah seorang Pamadihinan akan dapat mengembangkan bakat alam dan kemampuan intelektualitas kesenimanannya hingga ke tingkat yang paling kreatif (mumpuni). Faktor Pulung inilah yang membuat tidak semua orang Banjar di Kalsel dapat menekuni profesi sebagai Pamadihinan, karena Pulung hanya diberikan oleh Datu Madihin kepada para Pamadihinan yang secara genetika masih mempunyai hubungan darah dengannya (hubungan nepotisme). Datu Madihin yang menjadi sumber asal usul Pulung diyakini sebagai seorang tokoh mistis yang bersemayam di Alam Banjuran Purwa Sari, alam pantheon yang tidak kasatmata, tempat tinggal para dewa kesenian rakyat dalam konsep kosmologi tradisonal etnis Banjar di Kalsel. Datu Madihin diyakini sebagai orang pertama yang secara geneologis menjadi cikal bakal keberadaan Madihin di kalangan etnis Banjar di Kalsel. Konon, Pulung harus diperbarui setiap tahun sekali, jika tidak, tuah magisnya akan hilang tak berbekas. Proses pembaruan Pulung dilakukan dalam sebuah ritus adat yang disebut Aruh Madihin. Aruh Madihin dilakukan pada setiap bulan Rabiul Awal atau Zulhijah. Menurut Saleh dkk (1978:131), Datu Madihin diundang dengan cara membakar dupa dan memberinya sajen berupa nasi ketan, gula kelapa, 3 biji telur ayam kampung, dan minyak likat baboreh. Jika Datu Madihin berkenan memenuhi undangan, maka Pamadihinan yang mengundangnya akan kesurupan selama beberapa saat. Pada saat kesurupan, Pamadihinan yang bersangkutan akan menuturkan syair-syair Madihin yang diajarkan secara gaib oleh Datu Madihin yang menyurupinya ketika itu. Sebaliknya, jika Pamadihinan yang bersangkutan tidak kunjung kesurupan sampai dupa yang dibakarnya habis semua, maka hal itu merupakan pertanda mandatnya sebagai Pamadihinan telah dicabut oleh Datu Madihin. Tidak ada pilihan bagi Pamadihinan yang bersangkutan, kecuali mundur teratur secara sukarela dari panggung pertunjukan Madihin Referensi
Bibliografi
Pranala luar |