Londe

Model dari sebuah londi dengan layar tanja, 1889.

Londe atau londi adalah perahu tradisional dari Sulawesi Utara, Indonesia. Mereka diperkirakan telah ada sejak tahun 1500-an,[1] dikembangkan dari perahu kuno pulau Sangir yang disebut bininta yang sekarang diabadikan dalam lambang wilayah Kabupaten Kepulauan Sangir.[2]

Deskripsi

Bininta, jenis perahu yang telah digunakan sebelum kedatangan orang Eropa.

Panjangnya sekitar 5 m,[2] umumnya mereka didorong oleh dayung pendek tetapi layar juga dapat digunakan.[3][4] Londe modern dapat dilengkapi dengan mesin tempel.[4] Layarnya dapat berasal dari jenis tanja, lete, atau layar lug.[5] Kadang-kadang panjangnya 25-30 kaki (7,6-9,1 m) dengan lebar 30 inci (76,2 cm).[6] Mereka biasanya dioperasikan oleh 1-3 orang,[2][4] tapi yang besar bisa membawa 5 orang.[7] Londe dapat diidentifikasi dengan haluan dan buritannya yang unik. Semacam "tanduk" menyembul keluar dari dasar haluan yang menjulur ke depan dan melengkung ke atas seperti gading gajah. Di buritan, tanduknya tidak begitu menonjol tetapi bentuknya bisa dilihat, menonjol ke belakang.[8] Pendahulunya, bininta, memiliki tanduk haluan dan buritan yang menusuk ke depan dan belakang.[2] Fitur lain yang membedakan dari perahu cadik lainnya, londe memiliki bahateng (cadik) yang berbeda di bagian depan dan belakang.[8] Cadik depan berupa sepotong kayu melengkung kuat ke atiq (katir atau pelampung cadik yang terbuat dari bambu) tanpa sebuah tadiq (bagian yang menghubungkan antara bahateng dan atiq).[3][8] Atiq dibuat oleh dua atau tiga potong bambu tebal yang diikat bersama.[3] Sementara cadik belakangnya adalah sepotong kayu lurus yang dihubungkan dengan atiq dengan tadiq melengkung dari rotan, yang biasa disebut penghubung Halmahera berbentuk S.[3][8] Londe dibangun dengan papan tambahan di sisi mahera-nya (mahera berarti bagian dasar perahu lesung).[8] Bahan utamanya adalah kayu nantu/nato, kayu gopasa, atau kayu kapuraca.[9] Dengan angin sepoi-sepoi, londe bisa bergerak sangat cepat tetapi agak sulit untuk melakukan gerakan tack dan tidak bisa berlayar sangat dekat dengan angin.[6]

Distribusi

Jenis londe dari pulau Sangir.

Dalam dekade 80-an perahu londe masih banyak ditemukan di sepanjang pantai Manado dari Ranayapo, Poopo, Sario (Manado), Likupang sampai ke Batulubang dekat Bitung. Juga ditemukan di Barangka, Tahuna, Naha dan Lirung di Kepulauan Sangihe. Perahu londe pada waktu itu adalah perahu layar yang digunakan secara luas di permukiman nelayan orang-orang Sangir.[10] Pada 2012, di Pulau Miangas, pulau terluar di perbatasan dengan Filipina, masih ada banyak perahu londe.[11] Namun, pada tahun yang sama, di pulau Marore di Kepulauan Talaud londe tidak lagi ditemukan yang menurut penduduk setempat ada banyak di pulau itu di masa lalu.[11][12]

Kepunahan perahu londe bukan karena nelayan tidak lagi membutuhkan perahu dengan ukuran dan fungsi yang sama. Jenis londe mulai punah karena nelayan sekarang tidak lagi membutuhkan fungsi "tanduk"nya, sehingga mereka tidak lagi memesan perahu seperti itu. Tanduk digunakan sebagai tempat untuk menahan atau untuk melihat ke laut pada saat mengumpulkan atau menangkap ikan dengan menyelam.[10]

Lihat juga

Referensi

  1. ^ Walukow, Alffian (2009). Kebudayaan Sangihe. Lenganeng. 
  2. ^ a b c d Salam (2018). p. 4.
  3. ^ a b c d Haddon, Alfred Cort (1920). The Outriggers of Indonesian Canoes. London: Royal Anthropological Institute of Great Britain and Ireland. 
  4. ^ a b c Kearifan Tradisional Masyarakat Nelayan Kampung Batunderang Yang Berkaitan dengan Pemeliharaan Lingkungan Alam di Kabupaten Kepulauan Sangihe - Sulawesi Utara. Direktorat Jenderal Kebudayaan. 2007-01-01. 
  5. ^ Salam (2018). p. 7.
  6. ^ a b Hickson, Sydney John (1889). A naturalist in north Celebes : a narrative of travels in Minahassa, the Sangir and Talaut Islands, with notices of the fauna, flora and ethnology of the districts visited. London: J. Murray. 
  7. ^ "Ini Program Pemberdayaan Nelayan Pengganti Tradisi Bahari 'Seke-Maneke' di Kepulauan Sangihe [2]". Mongabay Environmental News (dalam bahasa Inggris). 2019-12-29. Diakses tanggal 2020-05-02. 
  8. ^ a b c d e Salam (2018). p. 6.
  9. ^ Majalah Tabea. steven. 
  10. ^ a b Masengi W. K. A. and Keishi Shibata (1990). JIN. 83. p. 203–211.
  11. ^ a b Hoetagaol S. M., N. S. A. Sumampouw, J. Parauba, R. Tuage and M. Pontororing (2012). Studi tentang Aspek-aspek Sosial-budaya Masyarakat Daerah Perbatasan: Studi Kasus Masyarakat di Pulau Miangas. Manado: KEPEL Press Balai Pelestarian Nilai Budaya Manado.
  12. ^ Ulaen A. J., P. Nugrahini, C. Setiawan, A. Dukalang and Alinabur (2012). Studi tentang Sosial Budaya Masyarakat Daerah Perbatasan: Studi Kasus Masyarakat Pulau Marore Kabupaten Kepulauan Sangihe. Manado: KEPEL Press Balai Pelestarian Nilai Budaya Manado.

Bacaan lanjutan

  • Salam, Aziz (2018). "Technological Adaptation in Traditional Fisheries: Way to Survive". IOP Conf. Series: Earth and Environmental Science. 139.
Kembali kehalaman sebelumnya