Loetoeng Kasaroeng
Loetoeng Kasaroeng adalah film pertama yang diproduksi di Indonesia (dahulu Hindia Belanda). Film bisu ini dirilis pada 1926 oleh NV Java Film Company. Disutradarai dan diproduseri oleh L. Heuveldorp, sedangkan sinematografernya adalah G. Krugers. Film ini dibintangi oleh para pemeran pribumi, menjadikannya sebagai film pertama yang menampilkan penduduk asli. Pemutaran film perdananya di kota Bandung dari tanggal 31 Desember 1926 sampai 6 Januari 1927. Film ini dibuat berdasarkan cerita rakyat Sunda yaitu, Lutung Kasarung. Bercerita tentang seorang gadis yang jatuh cinta pada seekor lutung. Pada akhirnya, diketahui bahwa lutung itu adalah seorang pangeran titisan Sunan Ambu. SinopsisPurbasari dan Purbararang adalah kakak beradik yang saling berkompetisi. Purbararang, sang kakak, menhina Purbasari karena mempunyai kekasih seekor lutung bernama Guru Minda. Sementara, Purbararang sendiri mempunyai kekasih seorang manusia bernama Indrajaya, yang sangat ia banggakan. Pada akhirnya, terungkap bahwa Guru Minda adalah seorang pangeran tampan titisan dewi Sunan Ambu.[1] ProduksiPemutaran film pertama di Hindia Belanda adalah pada tahun 1900.[2] Selama 20 tahun berikutnya, film produksi asing—umumnya dari Amerika Serikat—diimpor dan ditayangkan di seluruh negeri.[3] Produksi film dokumenter dalam negeri telah dimulai pada 1911,[4] tetapi tidak mampu bersaing dengan karya-karya impor.[3] Pada 1923, produksi film fitur lokal yang dipelopori oleh Middle East Film Co. diumumkan, tetapi pengerjaan film itu tidak selesai.[5] Di bawah tekanan film-film impor, pada 1926, N.V. Java Film memilih untuk membuat film fitur yang dibuat berdasarkan cerita rakyat Sunda yaitu Lutung Kasarung. N.V. Java Film adalah sebuah rumah produksi yang berpusat di Batavia (sekarang Jakarta). Sebelumnya, mereka telah memproduksi sebuah film dokumenter tunggal berjudul Inlanders op de Krokodillenjacht (bahasa Indonesia: Pemburu Buaya Pribumi).[6][1] Pemilik perusahaan, L. Heuveldorp, bertindak sebagai sutradara dan produser. Sementara itu, kepala laboratorium bernama , G. Krugers yang bertanggung jawab atas sinematografi dan pemrosesan.[6][1] Hanya sedikit informasi biografis yang tersedia mengenai latar belakang kedua orang tersebut, meskipun dikabarkan bahwa Heuveldorp sebelumnya memiliki pengalaman bekerja di Amerika Serikat.[7] Semua pemeran berasal dari golongan priayi, di bawah koordinasi kepala sekolah Kartabrata.[6] Di antara para pemeran adalah anak-anak Wiranatakusumah V, bupati Bandung.[1] Ia telah setuju untuk membantu mendanai film ini guna mempromosikan budaya Sunda;[8] sebelumnya, ia telah mengangkat cerita ini ke atas panggung.[9] Subsidi lainnya datang dari Kementerian Pertahanan, yang menyumbangkan sejumlah truk untuk memudahkan pembuatan film.[10] Syuting dimulai pada bulan Agustus 1926,[6] ketika beberapa adegan diambil di sebuah gua yang telah digali untuk keperluan produksi di Bukit Karang.[10] Awalnya, para pemeran berakting tanpa arahan. Namun, hasilnya mengecewakan. Kartabrata lantas berdiri di belakang kameramen dan memberi arahan. Ia juga meminta setiap pemeran untuk berlatih sebelum syuting dilakukan. Setiap shot yang dilakukan di gua dan tebing membuat beberapa aktris berlatih dengan keras karena medan yang sulit.[11] Perilisan dan tanggapanFilm ini diputar pada tanggal 31 Desember 1926 di Bioskop Oriental dan Elita di Bandung.[1][10] Loetoeng Kasaroeng menjadi film fitur pertama yang diproduksi di dalam negeri dan yang pertama menampilkan pemeran pribumi.[12][13] Iklan-iklannya dimuat dalam publikasi berbahasa Belanda dan Melayu. Film ini hanya ditayangkan selama seminggu disertai pertunjukan gamelan Sunda secara langsung sebagai musiknya,[14] setelah itu Loetoeng Kasaroeng digantikan oleh film-film Hollywood.[10] Pada tanggal 14 hingga 17 Februari 1927, film ini diputar di bioskop Mignon di Cirebon.[15] Meskipun kinerja box office-nya tidak tercatat, diperkirakan hasilnya buruk.[16] Sebuah ulasan oleh "Bandoenger" di majalah Panorama menilai film ini memiliki kualitas teknis yang buruk dibandingkan dengan film impor, yang menunjukkan bahwa produksi film ini kekurangan dana. Ulasan tersebut juga menyatakan bahwa beberapa pemeran tidak dibayar atas penampilan mereka.[14][17] Seorang koresponden Buitenzorg dari Java-Bode melaporkan secara pribadi pada gubernur jenderal mengenai film ini, ia menulis: "Gambar-gambarnya tidak fokus dan keseluruhan film berkesan suram dan gelap. Penyutradaraan yang kikuk, set dan kostum sederhana. Dari sekian banyak pemeran, tidak ada satu pun yang aktingnya menarik perhatian."[18] Sejarawan film Indonesia, Misbach Yusa Biran menulis bahwa Loetoeng Kasaroeng tidak akan diterima dengan baik di luar Jawa Barat, karena budaya dan tarian Sunda tidak dianggap menarik bagi kelompok etnis lain, terutama orang Jawa.[14] William van der Heide, seorang dosen studi film di Universitas Newcastle di Australia, mencatat bahwa kecenderungan para pembuat film Eropa untuk menggambarkan penduduk asli sebagai kaum primitif barangkali juga mempengaruhi penjualan tiket yang buruk.[13] LegasiWalaupun Heuveldorp tidak tercatat terlibat dalam produksi film fiksi lagi,[7] Krugers masih aktif dalam industri perfilman. Ia menyutradarai beberapa film, termasuk film bersuara pertama di Hindia Belanda, Karnadi Anemer Bangkong (1931). Beberapa tahun kemudian ia meninggalkan negara itu pada 1936.[19] Salah satu pemeran, Oemar, tercatat masih terus berakting.[20] Selanjutnya, cerita Lutung Kasarung diadaptasi menjadi film sebanyak dua kali, yaitu pada tahun 1952 dan 1983.[1] Setelah Loetoeng Kasaroeng dirilis, banyak film domestik yang dibuat. Produksi domestik kedua, Eulis Atjih (1927), disutradarai oleh Krugers dan dirilis lebih luas.[12] Perilisan Lily van Java (bahasa Indonesia: Lili dari Jawa) pada 1928 menandai keterlibatan etnis Tionghoa dalam industri film. Pada 1940, sutradara pribumi telah menjadi hal yang umum.[21] Bagaimanapun, sejatinya film pertama Indonesia adalah Darah dan Doa karya Usmar Ismail pada 1950.[22][23] Film tersebut dirilis setelah Belanda mengakui kemerdekaan Indonesia pada 1949.[24] Loetoeng Kasaroeng tampaknya termasuk film yang hilang. Antropolog visual Amerika, Karl G. Heider menulis bahwa semua film Indonesia dari sebelum tahun 1950 telah hilang.[25] Namun, Katalog Film Indonesia karya JB Kristanto mencatat bahwa beberapa film masih tersimpan di Sinematek Indonesia. Biran juga menulis bahwa beberapa film propaganda Jepang masih tersimpan di Dinas Informasi Pemerintah Belanda.[26] Lihat pulaReferensi
Pranala luar
|