Liyan (filsafat)

Liyan atau "yang Lain" (bahasa Inggris: the Other) dalam fenomenologi digunakan dalam mengidentifikasi dan membedakan diri dengan yang lain dalam pengakuan mereka untuk menjadi ada. Oleh karena itu, liyan berbeda dan berlawanan dengan diri. Meskipun liyan terpisah dari diri, liyan merupakan realitas ada yang juga mengukuhkan keberadaan diri.[1] Pengalaman ada bersama yang lain ini membawa konsekuensi bahwa diri juga ada bagi yang lain.[2]

Sejarah

Filsafat

Simone de Beauvoir menegaskan bahwa menjadi manusia bebas adalah menjadi subjek. Dia menempatkan perempuan sebagai liyan, karena menurutnya perempuan dikonstruksi oleh budaya melalui penciptaan mitos tentang perempuan yang irasional, kompleks, dan sulit dimengerti, yang tercipta untuk menjadi pelengkap laki-laki.[3] Menurut Beauvoir perempuan menerima ke-liyan­-an mereka sebagai misteri feminin, yang diturunkan dari generasi ke generasi melalui sosialisasi perempuan. Perempuan didefinisikan dengan referensi kepada laki-laki dan bukan referensi kepada dirinya sendiri, dengan demikian perempuan adalah insidental semata, bukan esensial. Laki-laki adalah subjek, sedangkan perempuan adalah orang lain atau liyan.[4] Tetapi, menurut Dorothy Kauffman McCall, opresi perempuan oleh laki-laki terjadi, justru karena perempuan telah menginternalisasi cara pandang asing bahwa laki-laki adalah esensial, sedangkan perempuan tidak esensial.[5]

Psikologi

Dalam pandangan Sigmund Freud, anak laki-laki ingin menyatu dengan ibunya, dan secara tidak sadar ingin mengganti ayahnya. Tetapi karena mengetahui ayahnya kuat, ia takut akan hukum kastrasi. Kecemasan akan kastrasi yang juga pengalaman akan kompleks Oedipus diselesaikan dengan cara menekan perasaan-perasaan seksual terhadap ibunya dengan berhenti bersaing dengan ayahnya. Kemudian mulai mengidentifikasi diri dengan ayahnya. Apabila penyelesaian konflik dalam tahap ini tidak sempurna, anak laki-laki akan semakin membenci ayahnya dan menggeneralisasi perasaan ini kepada semua figur otoritas.[6] Sebaliknya, dalam kasus anak perempuan, Freud berpendapat bahwa anak perempuan menginginkan ayahnya dan secara tidak sadar ingin mengganti ibunya. Akan tetapi, tidak seperti anak laki-laki yang mengalami kecemasan akan kastrasi; anak perempuan menemukan bahwa dirinya tidak memiliki penis, yang menyebabkan adanya perasaan iri terhadap kepemilikan penis ("penis envy"). Kompleks ini disebut kompleks Elektra, yang diambil dari watak Agamemmon yang membujuk saudara laki-laki-nya untuk membunuh ibu mereka, sehingga ia bisa mengawini ayahnya. Kompleks ini diselesaikan dengan menekan keinginan seksual terhadap ayahnya dan berhenti bersaing dengan ibunya, serta mulai mengidentifikasikan diri dengan ibunya. Freud berpendapat bahwa kebanyakan anak perempuan sesungguhnya tidak pernah bisa mengatasi perasaan iri terhadap kepemilikan penis atau benar-benar dapat mengidentifikasi diri dengan ibunya. Akibatnya, Freud menegaskan perempuan pada umumnya memiliki tingkat moralitas lebih rendah daripada laki-laki.[6] Beauvoir menolak pendapat Freud yang menempatkan perempuan sebagai manusia kelas dua, berdasarkan anatomi tubuhnya ini. Menurutnya, perempuan iri terhadap mereka yang memiliki penis, bukan karena mereka ingin penis itu sebagai organ penis; tetapi karena mereka menginginkan keuntungan material dan psikologis yang diberikan kepada pemilik penis. Status sosial laki-laki tidak dapat ditelusuri dari karakteristik tertentu dari anatomi laki-laki; namun, karena adanya 'Nama-Ayah' yang digambarkan sebagai otoritas atau kekuasaan sang Ayah dalam mitos Oedipus. Perempuan adalah liyan bukan karena mereka tidak memiliki penis sebagai organ tubuh, melainkan karena mereka tidak memiliki kekuasaan.[7] Jacques Lacan menjelaskan teorinya tentang tatanan simbolik sebagai fase kompleks Oedipus dalam tahap perkembangan psikoseksual Freud. Dia menafsirkan teori "penis envy" sebagai hasrat ingin mengetahui seperti apa rasanya berada dalam suatu kelompok yang lain;[8] selain itu, dalam tatanan simbolik perempuan disingkirkan dan dipaksa untuk tunduk dalam tatanan ini di luar keinginannya. Karena perempuan menolak menginternalisasi 'Nama-Ayah’, maka hukum ini harus ditekan dari luar. Perempuan diberikan bahasa yang sama seperti yang diberikan kepada laki-laki, yaitu bahasa maskulin. Meskipun demikian, bahasa ini tidak mengekspresikan apa yang dirasakan perempuan. Perempuan harus bergumam atau tetap bisu dalam tatanan simbolik.[9]

Jenis kelamin dan gender

Pengertian jenis kelamin merupakan pembagian dua jenis kelamin manusia yang ditentukan secara biologis yang melekat pada jenis kelamin tertentu. Misalnya, manusia dengan jenis kelamin laki-laki adalah manusia yang memiliki penis, jakun, dan memproduksi sperma, sedangkan manusia dengan jenis kelamin perempuan adalah manusia yang memiliki rahim, payudara, vagina, dan indung telur. Organ biologis tersebut terdapat pada manusia laki-laki dan perempuan secara permanen dan tidak dapat dipertukarkan karena merupakan ketentuan biologis atau kodrat.[10] Sedangkan gender adalah suatu bentuk kebudayaan dengan ciri-ciri kelompok yang dibentuk berdasarkan kebutuhan dan tingkah laku yang diberikan pada anak perempuan atau laki-laki.[11] Persoalan distingsi antara tubuh dan hubungannya dengan konstruksi masyarakat di kemukakan oleh Gayle Rubin, di mana gender adalah konstruksi masyarakat yang menempatkan, memosisikan Subjek pada tubuh perempuan dengan 'keharusan' untuk memiliki gender yang sama dengan tubuhnya. Gender bagi subjek perempuan adalah feminin, namun femininitas ini tidaklah kodrati dan karena itu dapat berbeda-beda dari satu budaya ke budaya lain.[12] Pendekatan penubuhan Beauvoir mempertanyakan kembali pembedaan jenis kelamin dan gender, serta pembedaan berdasarkan oposisi biner alami/budaya, tubuh/pikiran, aktif/pasif, dan sebagainya, di mana tubuh perempuan lebih dari sekadar faktisitas adalah bagian dari dirinya sebagai manusia. Di sini terjadi kontradiksi pada perempuan, di mana sebagai seorang manusia dia adalah Subjek, yaitu suatu kesadaran, tetapi sebagai seorang perempuan dia juga adalah 'Liyan yang Mutlak' atau objek. Kontradiksi antara menjadi subjek, yang pada saat yang sama dihadapkan pada objektifikasi. Pada situasi tertentu seorang perempuan mungkin mendapati dirinya menjadi kaki tangan kejahatan terhadap dirinya sendiri, dengan cara melarikan diri dari tanggung jawab menjadi manusia yang bebas atau Subjek. Tetapi karena Beauvoir tidak percaya pada keajegan suatu situasi, tidak ada subjek yang dalam pandangannya dapat menjadi subjek tanpa suatu objek, dan tidak ada subjektivitas yang cukup aman, karena selalu saja ada kemungkinan terjadi perubahan posisi.[13]

Catatan kaki

  1. ^ Hondreich 1995, hlm. 637.
  2. ^ Sartre 1973, hlm. 445.
  3. ^ Tong 2010, hlm. 265-266.
  4. ^ Beauvior 2004, hlm. 568.
  5. ^ Tong 2010, hlm. 262.
  6. ^ a b Semiun 2006, hlm. 46.
  7. ^ Sumiarni 2004, hlm. 264–265.
  8. ^ Lukman 2011, hlm. 94.
  9. ^ Kurniasih 2006, hlm. 320.
  10. ^ Tri Marheni 2008, hlm. 3.
  11. ^ Humm 1955, hlm. 106-107.
  12. ^ Priyatna 2006, hlm. 221-222.
  13. ^ Priyatna 2006, hlm. 223-224.

Daftar pustaka

  • Beauvior, De Simone. (2004). The Second sex dalam buku A Passion for wisdom. New Jersey: Upper Saddle River. 
  • Hondreich, Ted. (1995). The Oxford Companion to Philosophy. United Kingdom: Oxford University Press. 
  • Humm, Maggie. (1955). The Dictionary of Feminist Theory. Ohio, Columbus: Ohio State University Press. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2017-11-07. Diakses tanggal 2017-10-30. 
  • Kurniasih (2006), "Lacan dan Cermin Hasrat Cala Ibi", dalam Adlin, Alfathri, Menggeledah Hasrat : Sebuah Pendekatan Multi Perspektif, Yogyakarta: Jalasutra, ISBN 979368450X 
  • Lukman, Lisa. (2011). Proses Pembentukan Subjek: Antropologi Jacques Lacan. Yogyakarta: Penerbit Kanisius. 
  • Priyatna, Aquarini. (2006), "Feminisme sebagai Tubuh, Pemikiran, dan Pengalaman", dalam Adlin, Alfathri, Resistensi Gaya Hidup : Teori dan Realitas, Yogyakarta: Jalasutra, ISBN 979-3684-57-7 
  • Sartre, Jean-Paul. (1973). Being and Nothingness (diterjemahkan dari karya Jean-Paul Sartre: L’être et le néant oleh; Hezel E. Barnes). New York: Pocket Books. 
  • Sumiarni, Dr. Endang (2004). Jender dan Feminisme. Yogyakarta: Wonderful Publishing Company. 
  • Tong, Rosemarie Putnam. (2010). Feminist Thought. Yogyakarta: Jalasutra. 
  • Tri Marheni, Pudji Astuti. (2008). Konstruksi Gender. Semarang: UNNES Press. 
  • Yustinus, Semiun. (2006). Teori Kepribadian Dan Terapi Psikoanalitik Freud. Yogyakarta: Penerbit Kanisius. 

Pranala luar

Kembali kehalaman sebelumnya