Literasi digital atau kemelekan digital (melek digital) dan disebut juga literasi media digital, adalah pengetahuan dan kecakapan dalam menggunakan media digital, alat-alat komunikasi, atau jaringan dalam menemukan, mengevaluasi, menggunakan, membuat informasi, dan memanfaatkannya secara sehat, bijak, cerdas, cermat, tepat, dan patuh hukum sesuai dengan kegunaannya untuk komunikasi dan interaksi dalam kehidupan sehari-hari.[2] Literasi digital juga dapat didefinisikan sebagai "kemampuan menggunakan teknologi informasi dan komunikasi (TIK), untuk menemukan, mengevaluasi, memanfaatkan, membuat dan mengkomunikasikan konten / informasi, dengan kecakapan kognitif maupun teknikal".[3][4]
Banyaknya pengguna intenet di Indonesia menjadikan Indonesia sebagai salah satu negara dengan aktivitas digital terpadat sedunia. Tingginya arus lalu lintas digital tersebut tidak hanya membawa dampak positif, tetapi juga menyimpan dan membawa potensi bahaya. Pada era lndustri tranformasi digital saat ini, digitalisasi merupakan suatu fenomena yang harus dihadapi. Seluruh komponen industri, pemerintahan, maupun institusi pendidikan harus memiliki kapabilitas yang mampu memanfaatkan fenomena digital sebagai sarana mendapatkan kinerja yang baik secara individu maupun organisasi.
Oleh karena itu, diperlukan literasi digital. Literasi digital adalah seperangkat kemampuan untuk memanfaatkan dan memahami informasi digital, teknologi, dan media untuk mencari, mengevaluasi, membuat, dan berkomunikasi (Techataweewan dan Prasertsin, 2017). Menurut UNESCO, literasi digital merupakan kemampuan untuk mengakses sumber berita dan mengevaluasi secara kritis dan menciptakan informasi melalui teknologi digital. Melalui literasi digital, seseorang tidak sekadar memiliki kemampuan untuk mengoperasikan peralatan teknologi, tetapi juga harus memiliki kemampuan lain, seperti accessing, managing, evaluating, integrating, creating, dan communicating information.[5]
Definisi
Gilster (1997) mendefinisikan literasi digital sebagai kemampuan untuk memahami dan menggunakan informasi dalam berbagai bentuk dari berbagai sumber dengan sangat luas yang diakses melalui piranti komputer.[6][7] UNESCO sendiri menguraikan bahwa literasi digital adalah kecakapan yang tidak hanya melibatkan kemampuan penggunaan perangkat teknologi, informasi dan komunikasi, tetapi juga melibatkan kemampuan untuk dalam pembelajaran bersosialisasi, sikap berpikir kritis, kreatif, serta inspiratif sebagai kompetisi digital.[8][9] Lankshear dkk (2008) kemudian melihat literasi digital terkait erat dengan "keterampilan teknis dan berfokus pada aspek kognitif dan sosial emosional dalam dunia dan lingkungan digital".[10]
Latar belakang
Literasi media dimulai di Inggris dan Amerika Serikat masing-masing sebagai akibat dari propaganda perang pada tahun 1930-an dan munculnya iklan pada tahun 1960.[11] Pesan manipulasi dan proliferasi berbagai bentuk media telah menarik lebih banyak perhatian dari para pendidik. Mempromosikan pendidikan media untuk mengajar individu bagaimana menilai dan mengevaluasi pesan media yang mereka terima. Kemampuan untuk mengkritik konten digital dan multimedia memungkinkan individu untuk mengidentifikasi bias dan menilai pesan secara mandiri.[12]
Literasi digital sama pentingnya dengan membaca, menulis, berhitung, dan disiplin ilmu lainnya.[13] Agar seseorang dapat menilai pesan digital dan multimedia secara mandiri, mereka harus menunjukkan keterampilan literasi digital dan memanfaatkan aplikasi digital secara bijak.[14] Renee Hobbs telah menyusun daftar keterampilan yang menunjukkan keterampilan literasi digital dan media. Literasi digital dan media mencakup kemampuan untuk menelaah dan memahami makna pesan, menilai kredibilitas, dan menilai kualitas sebuah karya digital.[15] Literasi digital tidak hanya tentang membaca dan menulis di perangkat digital, tetapi juga melibatkan mengetahui produksi kekuatan media lain, seperti merekam dan mengunduh video.[16]
Namun demikian perlu adanya pendekatan yang komprehensif dalam meningkatkan literasi digital dewasa ini agar tidak menimbulkan kesenjangan digital. Hal ini mencakup pemberian akses yang setara, pendidikan yang berfokus pada keterampilan digital, serta penciptaan lingkungan yang mendukung adopsi teknologi. Dalam isu literasi digital, pendekatan ini dapat diterapkan untuk menjembatani kesenjangan digital di masyarakat pedesaan maupun perkotaan, terutama bagi kelompok rentan seperti perempuan dan kelompok berpendidikan rendah. Jan van Dijk (2003) mengidentifikasi kesenjangan digital sebagai masalah multidimensional yang mencakup akses mental, material, keterampilan, dan penggunaan. Mereka menekankan bahwa kesenjangan digital tidak hanya terkait dengan ketersediaan perangkat dan akses digital semata, tetapi juga kemampuan pengguna untuk memanfaatkan teknologi digital secara efektif[17].
Dalam konteks literasi digital, tantangan utama meliputi ketimpangan kesempatan untuk mengembangkan keterampilan digital secara memadai pun kurangnya pengalaman menggadopsi teknologi digital. Adapun Fred D. Davis (1989) menyoroti dua faktor utama yang memengaruhi tingkat adopsi teknologi (digital): persepsi kegunaan dan kemudahan penggunaan. Kedua faktor ini relevan dalam meningkatkan literasi digital, karena tanpa pemahaman bahwa teknologi dapat memberikan manfaat langsung, pengguna cenderung enggan mengadopsi atau menguasai teknologi baru. Untuk mengatasi hal ini, pelatihan literasi digital harus difokuskan pada penyederhanaan pengalaman teknologi dan menunjukkan relevansinya dalam kehidupan sehari-hari[18].
Elemen
Ada 4 (empat) pilar literasi digital Indonesia merujuk pada rancangan Kominfo, Japelidi dan SIBERKREASI pada tahun 2021 yang bertujuan untuk meningkatkan keterampilan masyarakat dalam memanfaatkan teknologi digital secara positif, kreatif dan produktif. Keempat pilar tersebut adalah: Cakap Digital, Aman Digital, Budaya Digital dan Etika Digital, atau biasa disingkat CABE.[19]
Adapun elemen lainnya adalah yang diperkenalkan oleh Gerakan Literasi Nasional Kemdikbud pada tahun 2017 yaitu:
Kultural, yaitu pemahaman ragam konteks pengguna dunia digital;
Kognitif, yaitu daya pikir dalam menilai konten;
Konstruktif, yaitu reka cipta sesuatu yang ahli dan aktual;
Komunikatif, yaitu memahami kinerja jejaring dan komunikasi di dunia digital;
Kepercayaan diri yang bertanggung jawab;
Kreatif, melakukan hal baru dengan cara baru;
Kritis dalam menyikapi konten; dan bertanggung jawab secara sosial.[20]
Prinsip
Pemahaman untuk mengekstrak ide secara eksplisit dan implisit dari media;
Saling ketergantungan antara media yang satu dengan media yang lain;
Faktor sosial menentukan keberhasilan jangka panjang media yang membentuk ekosistem organik untuk mencari informasi, berbagi informasi, menyimpan informasi dan akhirnya membentuk ulang media itu sendiri;
Kurasi atau kemampuan untuk menilai sebuah informasi, menyimpannya agar dapat di akses kembali.[20]
Kerangka
Adapun ICT Watch pada tahun 2017 telah memperkenalkan kerangka literasi digital Internet Sehat yang berisi 3 (tiga) hal, yaitu:
Proteksi (safeguard), yaitu perlunya kesadaran atas keselamatan dan kenyamanan pengguna internet, yaitu perlindungan data pribadi, keamanan daring serta privasi individu dengan layanan teknologi enkripsi sebagai salah satu solusi yang disediakan;
Hak-hak (right), yaitu hak kebebasan berekspresi yang dilindungi, hak atas kekayaan intelektual, dan hak berserikat dan berkumpul;
Pemberdayaan (empowerment), yaitu pemberdayaan internet untuk menghasilkan karya produktif, jurnalisme warga, dan kewirausahaan serta hal -hal terkait etika informasi.[21]
Sejarah Gerakan Literasi Digital di Indonesia
Internet Sehat yang diinisiasi sejak 2002 oleh ICT Watch adalah salah satu cikal bakal gerakan literasi digital di Indonesia. ICT Watch adalah organisasi masyarakat sipil yang telah mendapatkan sejumlah penghargaan PBB, berkolaborasi dengan multistakeholder nasional dan global [22][23]. Salah satu pendiri ICT Watch adalah Donny Utoyo, pemerhati sosiologi digital dan pegiat literasi digital [24][25].
Jaringan Pegiat Literasi Digital (Japelidi) didirikan sejak 2017 saat ini beranggotakan 168 pegiat dari 78 Universitas/lembaga yang tersebar di 30 Kota, dalam dan luar negeri. Japelidi adalah salah satu motor penggerak beragam kegiatan literasi digital di Indonesia [26][27] . Salah satu pendiri Japelidi adalah Novi Kurnia, akademisi dan peneliti komunikasi dari UGM [28][29] .
Gerakan Nasional Literasi Digital SIBERKREASI diluncurkan pada 2 Oktober 2017, kolaborasi multistakeholder untuk meningkatkan literasi digital di masyarakat. Saat ini tak kurang dari 130 entitas bergabung sebagai jejaring SIBERKREASI dan memiliki kegiatan daring/luring [30][31]. Adapun Ketua Umum Siberkreasi saat ini adalah Donny B.U[32].
^Gerakan Literasi Nasional (tanpa tanggal). "Buku Literasi Digital". Gerakan Literasi Nasional Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia. Diakses tanggal 6 Desember 2021.Periksa nilai tanggal di: |date= (bantuan)
^Gilster, Paul (1997). Digital Literacy. Wiley Computer Pub.Parameter |url-status= yang tidak diketahui akan diabaikan (bantuan)
^ abLiterasi Digital (Gerakan Literasi Nasional). Jakarta: Sekretariat TIM GLN Kemdikbud. 2017. hlm. 8.Parameter |first1= tanpa |last1= di Authors list (bantuan)