Lilibooi, Leihitu Barat, Maluku Tengah
Lilibooi, kadang dieja sebagai Liliboi, Lilibooy, atau Liliboy, adalah sebuah negeri di kecamatan Leihitu Barat, Kabupaten Maluku Tengah, Provinsi Maluku, Indonesia. Negeri ini dapat ditempuh dengan waktu kurang dari satu jam dari wilayah administratif Kota Ambon. Penduduk asli Lilibooi semuanya menganut agama Kristen Protestan. Tempat wisata yang terkenal di negeri ini adalah Pantai Batu Kapal. EtimologiBerdasarkan tuturan yang berkembang di masyarakat Lilibooi, nama negeri ini diyakini berasal dari penyebutan buaya dalam bahasa Tana. Dalam bahasa adat yang di Lilibooi sudah hampir sepenuhnya tergantikan dengan bahasa Melayu Ambon tersebut, buaya dikenal sebagai poya atau lilipoya. Teun Lilibooi yaitu Kainaman Lilipoya merujuk pada seekor buaya di muara Sungai Sukabiri (Wae Sukabiri) yang bernama Kainaman.[2] Kainaman bukanlah buaya sejati, melainkan dipercaya sebagai makhluk halus. Dalam tuturan masyarakat Lilibooi, dahulu kala di Pulau Seram terdapat seekor ular besar yang ganas. Ular tersebut berkonflik dengan buaya-buaya di pulau itu. Saking kuatnya ular tersebut, sang ular memusnahkan buaya-buaya Seram dalam jumlah besar. Kewalahan, buaya-buaya Seram meminta bantuan Kainaman, yang akhirnya berhasil membunuh ular tersebut.[2] Tatkala nenek moyang Negeri Lilibooi datang dari Pulau Seram dan nanti mendirikan aman atau perkampungan di pesisir dekat Sungai Sukabiri, mereka teringat kisah buaya Kainaman. Mereka akhirnya menamakan tempat itu sebagai Kainaman Lilipoya. Dari kata lilipoya-lah nanti akan muncul nama Lilibooi akibat perubahan ejaan dan sebutan.[2] Nama Lilibooi termaktub dalam Hikayat Tanah Hitu sebagai "Liliboi" dan dalam beberapa peta lama bikin VOC. Peta tahun 1617 mencatatkan nama Lelybey, sementara peta 1665 dan 1753 mencatatkan nama Lilleboy dan Lilibay.[3] SejarahLilibooi mengklaim bahwa negeri mereka adalah negeri tua atau yang mula-mula menempati Jazirah Leihitu bagian selatan.[4] Menurut tuturan di Lilibooi, negeri-negeri tetangga seperti Allang, Hatu, Laha, dan Tawiri sebagai pendatang yang kemudian membentuk negeri di wilayah mereka. Orang Allang disebutkan berasal dari Hatu Alang di Semenanjung Huamual di Pulau Seram. Ada pun Hatu berasal dari Piru, sementara Laha dan Tawiri adalah kumpulan manusia dari berbagai tempat, termasuk Ternate yang mendiami benteng Portugis di Teluk Ambon.[4] Nenek moyang Lilibooi yang terawal diperkirakan datang dari Pulau Seram atau Nusa Ina.[5] Mereka adalah orang Alifuru dan dikenal belum beradab. Peninggalan kebudayaan lama orang Alifuru ini dapat terlihat dari adanya tari cakalele di Lilibooi yang dipandang sakral. Orang Alifuru dari Pulau Seram datang dan mendiami Gunung Latua. Mereka terdiri dari tiga kelompok, masing-masing akan menurunkan matarumah Hetharion, Marlissa, dan Talahatu.[5] Ketiga matarumah ini dikenal pula sebagai mutelu atau "yang tiga". Selain itu, nantinya akan ada moyang-moyang dari matarumah yang lain yang datang menetap di Lilibooi dan meramaikan negeri itu.[5] Pendirian kampung di daerah pegunungan adalah kebiasaan yang dilakukan oleh masyarakat yang berpindah dari Pulau Seram. Mereka tidak langsung mendirikan permukiman di pesisir. Tujuannya adalah agar terhindar dari serangan musuh. Nanti atas berbagai pertimbangan, nenek moyang orang Lilibooi kemudian turun ke pantai, ke wilayah negeri yang sekarang di bagian selatan Leihitu di tepian Teluk Ambon. Kawasan ini akhirnya akhirnya berhasil dikristenkan oleh VOC yang mulai hadir di Ambon pada 1605.[6] Negeri-negeri Kristen di Leihitu tersebut meliputi Lilibooi, Allang, Hatu, Tawiri, Hative Besar, hingga Passo,[7] dengan pengecualian Negeri Laha yang tetap Muslim hingga sekarang. Jansen menyebutkan dalam catatannya, pada tahun 1930an, dikarenakan sagu semakin berkurang, masyarakat Lilibooi mengandalkan ubi kayu (Manihot esculenta) yang secara lokal dikenal disebut kasbi sebagai pengganti sagu. Kasbi kemudian dimasak menjadi papeda.[4] Hampir semua rumah di Lilibooi menanam kasbi guna memenuhi kebutuhan pokoknya. Sebagian juga masih memiliki dusun sagu. Guna mendapatkan penghasilan, banyak di antara penduduknya yang menjadi kuli di toko-toko yang terdapat di Kota Ambon.[4] Ada pun hewan yang diternak warga adalah babi.[4] Kondisi wilayahBatas-batasLilibooi memiliki batas-batas sebagai berikut.[5]
Topografi dan aksesibilitasNegeri ini terapit antara Teluk Ambon di bagian muka negeri, yang di pesisirnya terdapat permukiman atau negeri induk, dengan perbukitan yang berhutan di jantung Jazirah Leihitu. Lilibooi berjarak 320 km dari ibu kota kabupaten di Masohi. Penduduk Lilibooi dapat menggunakan angkutan darat ke Tulehu dan dari pelabuhan di Tulehu, menaiki kapal cepat. Total waktu tempuh menuju Masohi lebih kurang lima jam.[5] Ada pun ibu kota provinsi di Ambon jaraknya hanya 65 km dan dapat ditempuh dalam waktu satu setengah jam menggunakan transportasi darat.[5] Pemerintahan negeriSaat ini Lilibooi belum memiliki raja. Oleh karena itu, pemerintahan administratif negeri dijalankan oleh seorang pejabat kepala negeri yang dibantu oleh sekretaris negeri serta kepala urusan (kaur) dan kepala seksi (kasi). Berikut adalah nama tokoh-tokoh yang saat ini menjalankan administrasi di Lilibooi.[8]
DemografiBersumber dari Kantor Pemerintah Negeri Lilibooi, negeri ini berpenduduk 2.004 jiwa pada tahun 2016. Dengan rincian sebagai berikut.[9]
PendidikanPer tahun 2016, di negeri ini terdapat sebuah PAUD, sebuah TK, dua buah SD, dan sebuah SMP.[9] Rincian penduduk Lilibooi yang mengenyam pendidikan pada jenjang-jenjang yang ada, dapat dilihat dalam tabel berikut.
AgamaLilibooi adalah negeri Kristen. Penduduk asli negeri ini semuanya beragama Kristen Protestan, yang dilayani oleh Gereja Protestan Maluku (GPM) sebagai gereja utama. GPM Jemaat Lilibooi termasuk ke dalam Klasis Pulau Ambon Utara. Dengan jumlah jemaat mencapai 2.003 jiwa, Lilibooi menyumbang 6,51% total populasi jemaat di klasisnya.[10] Para pemuda Kristen di Lilibooi tergabung dalam Angkatan Muda Gereja Protestan Maluku Daerah Pulau Ambon Utara (AMGPM Dapatra) cabang Gidion II. Cabang ini meliputi para pemuda dari jemaat di Lilibooi dan Allang. Awalnya bersama dengan pemuda jemaat Hatu, ketiganya masuk cabang Gidion, sebelum akhirnya cabang Gidion dibagi dua. Gidion I meliputi para pemuda di Negeri Hatu saja.[11] MatarumahTerdapat 12 matarumah (fam atau marga) asli yang mendiami Negeri Lilibooi, enam di antaranya memiliki nenek moyang yang berasal dari luar wilayah Provinsi Maluku yang sekarang. Kedua belas matarumah tersebut dapat dilihat dalam tabel di bawah ini.[9]
Adat dan budayaSalah satu bangunan yang sakral bagi setiap negeri di Maluku adalah baileo atau baileu. Baileu Negeri Lilibooi bernama Samasuru Pessiliasiwa, dalam catatan Jansen tertulis sebagai Sama Soeloe Pessi Lia Siwa.[4] Jansen juga mencatat bahwa di Lilibooi tahun 1930an, seorang suami yang istrinya sedang hamil dilarang bercukur. Ketika istri mau melahirkan, suami harus mengeluarkan semua peralatan memancing dari rumah untuk mencegah terjadinya selawar atau bala.[4] Hubungan sosialNegeri Lilibooi terikat hubungan pela dengan empat negeri, yaitu Ihamahu dan Haria di Pulau Saparua; Abubu di Pulau Nusalaut; dan Seilale di Jazirah Leitimur, Pulau Ambon.[12] Pela yang mengikat antara Lilibooi dengan masing-masing tiga negeri yang pertama (Ihamahu, Haria, dan Abubu) disebut-sebut berkaitan semangat mendukung Perang Pattimura 1817.[13] Namun, dalam tulisannya, Hehanussa justru menyatakan bahwa pela Lilibooi dengan Abubu adalah sebagai upaya mediasi karena selama Perang Pattimura, keduanya berada di kubu yang berbeda. Lilibooi mendukung Belanda, sementara Abubu di pihak Pattimura.[14] Jenis pasti pela antara Lilibooi dengan negeri-negeri yang sudah disebut di atas tidak diketahui dengan jelas. Namun, satu sumber menyebutkan bahwa Lilibooi dan Haria terikat pela kepeng (uang), sementara dengan Abubu, keduanya berpela tampa siri.[15] Menurut Atlas Maluku, selain dengan empat negeri yang sudah disebutkan sebelumnya, Lilibooi juga terikat pela dengan Ureng,[16] Allang, dan Hitumessing, yang semuanya berada di Pulau Ambon.[17] Ada pula sumber yang menyebutkan bahwa Lilibooi tidak terikat pela dengan Ureng, melainkan hubungan keduanya adalah gandong atau sedarah (sekandung).[15] Salah satu tulisan yang dirangkum oleh Rudi Sabandar dari wawancaranya dengan orang-orang Maluku di Belanda menunjukkan bahwa pela yang terjadi antara Lilibooi dengan Ihamahu dan Haria sebenarnya adalah pela antarmatarumah atau fam (marga). Disebutkan bahwa matarumah Titarsole dari Lilibooi berpela dengan matarumah Haulussy, Tahamata, dan Nendissa dari Ihamahu. Matarumah yang sama berpela dengan matarumah Manuhutu dan Tamaela dari Haria.[18] Elifas Tomix Maspaitella dalam tulisannya di potretmaluku.id berpendapat bahwa antara matarumah Tuhumena di Lilibooi (Leihitu) dengan Tuhumury di Kampung Seri, Negeri Urimessing (Leitimor) bisa jadi ada kesepakatan kuno di antara para datuk yang menurunkan kedua matarumah.[19] Hal ini dikarenakan kedua matarumah masing-masing menggunakan kata mena yang artinya di depan dan muri yang artinya di belakang. Mena muria sendiri adalah salah satu slogan yang cukup terkenal di kalangan orang Maluku bagian tengah. Slogan ini kemungkinan berasal dari masa perluasan wilayah dan peperangan antarkelompok, sehingga orang-orang yang beraliansi membagi penjagaan menjadi bagian depan dan bagian belakang guna memperkuat pertahanan.[19] PerekonomianPertanian dan perkebunan adalah soko guru kehidupan masyarakat Lilibooi. Salah satu tanaman yang menjadi andalan penghasilan masyarakat adalah pala. Luas lahan penanaman pala di negeri ini mencapai 55 hektare, dengan produksi sekitar 20 ton per satu kali panen.[20] Masyarakat Lilibooi menjual biji pala dan fuli, sementara daging pala yang mencakup 80% total satu buah pala tidak diolah sama sekali.[1] Sipahelut dan Patty menyebutkan bahwa potensi pertanian dan perkebunan di Lilibooi termasuk besar. Negeri ini memiliki 302 hektare lahan potensial bagi perkebunan pala dan cengkih, lima hektare lahan tanaman pangan, dan 28 hektare untuk sayur-sayuran (holtikultura).[1] Referensi
Daftar PustakaBuku
Jurnal
|