Lihyan
Lihyan (bahasa Arab: لحيان, Liḥyān; bahasa Yunani Kuno: Λεχίενοι, translit: Lekhienoi),[1] juga disebut sebagai Dadān atau Dedan (bahasa Ibrani: דְּדָן, Dəḏān), adalah kerajaan kuno yang sangat berpengaruh di wilayah barat laut Jazirah Arab yang menuturkan bahasa Dadan.[2] Bangsa Lihyan menguasai suku-suku di Yathrib di selatan dan sebagian Syam selatan.[3] Di zaman kuno, Teluk Aqaba dulu disebut sebagai Teluk Lihyan. Banyak catatan kuno yang merekam pengaruh Lihyan di Timur Tengah.[4] Istilah "Dedan" biasanya menggambarkan fase awal sejarah kerajaan ini karena nama ibu kota mereka adalah Dedan, yang sekarang disebut oasis Al-'Ula yang terletak di barat laut Jazirah Arab, sekitar 110 kilometer barat daya Teima, sekarang kedua kota tersebut bagian dari Arab Saudi, sedangkan istilah "Lihyan" menggambarkan fase akhir kerajaan itu. Dadan pada awalnya disebut sebagai "salah satu pusat kafilah terpenting di Jazirah Arab utara",[5] Lihyan disebutkan dalam Alkitab sebagai "Dedan".[5] Bangsa Lihyan kemudian menjadi musuh bangsa Nabath. Bangsa Romawi menaklukan dan menganeksasi Nabatea pada tahun 106 M. Peristiwa itu mendorong bangsa Lihyan untuk mendirikan kerajaan merdeka tersendiri. Kerajaan itu dipimpin oleh Raja Han'as, salah satu mantan keluarga kerajaan yang memerintah Al-Hijr sebelum invasi Nabath. Catatan silsilah Arab menganggap Bani Lihyan sebagai keturunan Bani Ismail, jadi Dadan merupakan salah satu leluhur bangsa Arab, meskipun dalam tradisi Yahudi mereka dianggap sebagai keturunan langsung dari Abraham melalui istri keduanya bernama Keturah (bukan dari Ismail).[6] Keturunan Lihyan mendirikan kerajaan Arab Lihyan dan saat ini tinggal di gurun antara Makkah dan Jeddah. PenamaanIstilah "Dedan" (ddn) muncul dalam naskah-naskah kuno secara khusus sebagai toponimi (nama tempat atau geografi), sedangkan istilah "Lihyan" (lḥyn) muncul baik sebagai toponimi dan etnonim (nama suku atau bangsa). Dedan tampaknya awalnya mengacu pada gunung bernama Jabal al-Khuraybah. Dalam prasasti-prasasti berbahasa Minai, dua nama itu muncul bersamaan dalam konteks, tetapi nama pertama menunjukkan suatu tempat dan yang terakhir menunjukkan suatu bangsa. Meskipun demikian, dalam ilmu sejarah modern, istilah ini sering digunakan dengan makna kronologis, Dedan mengacu pada periode sebelumnya dan Lihyan merujuk pada periode selanjutnya dari peradaban yang sama.[7][8] Kata "Dedan" dan "Lihyan" juga sering digunakan di masa lalu untuk bahasa dan aksara Dadan.[9] Dadān merupakan perkiraan pengucapan aslinya, sedangkan ejaan Dedan digunakan dalam Alkitab.[10] SejarahBukti utama tentang kerajaan tersebut berasal dari kumpulan prasasti di ibu kota Dedan dan sekitarnya. Penanggalan oleh penguasa dan dinasti masih menjadi persoalan sengketa dan kontroversi dalam keilmuan. Tidak ada kronologi secara mutlah ataupun bahkan kronologi relatif dari para penguasa yang ditetapkan.[10] Berdasarkan tahun-tahun pemerintahan yang muncul di beberapa prasasti raja-raja Lihyan, kerajaan itu berumur sekitar 199 tahun. Penyebutan seorang raja Dedan dalam Tawarikh Nabonidus menunjukkan bahwa kerajaan Lihyan tidak mungkin ada sebelum kedatangan Nabonidus' ke Jazirah Arab bagian barat laut pada tahun 552 SM, jadi menurut tawarikh tersebut, Kerajaan Lihyan diperkirakan ada pada tahun 552–353 BC.[11] TahapanKerajaan Lihyan melewati tiga tahap yang berbeda: fase awal peradaban Lihyan diperikirakan berkembang sekitar akhir abad ke-7 SM, dimulai sebagai Kesyekhan Dedan, yang kemudian berkembang menjadi Kerajaan Lihyan.[12] Bukti tertulis paling awal dari bahasa tersebut, mengenai raja Lihyan, diperkirakan dibuat pada pertengahan abad keenam SM.[13] Berdasarkan skema kronologi saat itu, pada tahap awal Lihyan (yaitu, periode Dedan), sistem penulisan Lihyan (mirip dengan aksara Thamud, dan terdiri dari 28 huruf) telah muncul. awalnya dalam bentuk sederhana, kemudian berkembang selama tahap selanjutnya. Tahap selanjutnya dari kerajaan Dedan berkembang dari negara-kota yang pengaruhnya hanya sebatas dalam tembok kota, berubah menjadi kerajaan yang berpengaruh di Jazirah Arab.[12] Tahap ketiga terjadi pada awal abad ke-3 SM, ditandai dengan perkembangan menanjak aktivitas ekonomi antara wilayah selatan dan utara yang membuat Lihyan memperoleh pengaruh besar sesuai dengan posisinya yang strategis di jalur kafilah. Dari prasasti-prasasti yang ditemukan baru-baru ini, menunjukkan bahwa Lihyan bersaing secara perdangangan dengan Tayma (oasis subur dan kaya di Jazirah Arab utara) selama beberapa generasi.[14] Permusuhan antara kedua oasis tersebut tercermin dari prasasti Tayma yang menyebutkan adanya perang di antara mereka. Setelah aneksasi oleh Lihyan di Tayma, raja-raja Lihyan mungkin telah mengunjungi kota tersebut untuk mengenang pemerintahan sebelumnya. Patung-patung berdiri yang lebih besar dari perawakan manusia dengan kaki sejajar dan tangan menggantung ke bawah, konon merupakan patung-patung raja-raja Lihyan, ditemukan di kuil Tayma, mungkin sebagai pengingat kekuasaan raja Dedan. Patung-patung tersebut sesuai dengan patung kerajaan serupa dari Dedan, yang menampilkan model kesenian baku patung pemerintahan. Oleh karena itu, bukti-bukti tersebut menunjukkan peran Dedan sebagai peradaban yang sangat berpengaruh.[14] Dedan disebutkan dalam Prasasti Harran, dan dalam catatan Alkitab sebagai pusat perdagangan yang penting. Yang oleh beberapa penulis dianggap sebagai indikator keberadaan negara yang terorganisir dengan baik di kawasan itu sebelum pertengahan milenium 1 SM. Dalam catatan Alkitab, Dedan disebutkan bersama Tayma dan Saba, tetapi lebih sering dikaitkan dengan Qedar. Raja-raja Lihyan kemungkinan adalah keturunan suku Kedar,[15] yang bersekutu dengan Ptolemaic dynasty. Catatan-catatan tertua yang menyebutkan "Lihyan" (lḥyn) berasal dari prasasti berbahasa Saba Awal yang berasal dari paruh pertama abad keenam SM, yang mencatat perjalanan seorang saudagar Saba. Saudagar itu bermaksud pergi ke Siprus untuk berdagang, dan dalam perjalanannya dia melewati Dedan, kota-kota Yehuda, dan Gaza.[16] KejatuhanBeberapa penulis menyatakan bahwa Lihyanites jatuh ke tangan Kerajaan Nabatea sekitar tahun 65 SM setelah mereka merebut Hegra, kemudian menaklukan ke Tayma, dan akhirnya ibu kota Dedan pada 9 SM. Werner Cascel menganggap pencaplokan Nabataean atas Lihyan sekitar 24 SM, ia menyimpulkan pendapatnya dari dua faktor; Yang pertama, Cascel mengandalkan catatan Strabo tentang ekspedisi Romawi yang membawa bencana di Yaman yang dipimpin oleh Aelius Gallus dari 26 hingga 24 SM. Strabo tidak menyebutkan pemerintahan independen yang disebut Lihyan. Kedua, adalah prasasti yang menyebutkan raja Nabatea bernama Aretas IV yang ditemukan di sebuah makam di Hegra (sekitar 9 SM) yang membuktikan bahwa wilayah Lihyan telah ditaklukkan oleh orang-orang Nabatea di bawah pemerintahan Aretas IV. Hampir setengah abad kemudian berdasarkan sebuah prasasti dari seorang jenderal Nabatea tertentu yang menggunakan Hegra sebagai markas besarnya, disebutkan penempatan tentara Nabatea di Dedan, ibukota Lihyan. Pemerintahan Nabatea atas Lihyan berakhir dengan pencaplokan Nabatea oleh Romawi pada tahun 106 M. Meskipun Romawi mencaplok sebagian besar wilayah Kerajaan Nabatea, namun mereka tidak pernah mencapai wilayah Dedan. Legiun Romawi yang mengawal karavan berakhir 10 km sebelum Dedan, bekas perbatasan antara Lihyan dan Nabatea. Bangsa Lihyan memulihkan kemerdekaan mereka di bawah pemerintahan Han'as bin Tilmi, yang berasal dari mantan keluarga kerajaan sebelum penaklukan oleh Nabatea. Namanya dicatat oleh seorang pengrajin yang mengukir ukiran makamnya pada tahun kelima pemerintahan Han'as bin Tilmi. PemerintahanIstilah "raja Dedan" (mlk ddn) muncul tiga kali dalam prasasti yang masih ada, bersama dengan frasa gubernur (fḥt) dan tuan (gbl) Dedan. Istilah "raja Lihyan" (mlk lḥyn) muncul setidaknya dua puluh kali dalam prasasti berbahasa Dadan.[8] Kerajaan Lihyanite adalah sebuah pemerintahan yang mengikuti sistem keturunan. Birokrasi kerajaan yang diwakili oleh anggota hajbal, mirip dengan dewan rakyat di zaman modern, digunakan untuk membantu raja dalam tugas sehari-hari dan mengurus urusan negara tertentu atas nama raja.[17] Sifat umum dari sistem hukum Lihyan ini sama dengan kerajaan-kerajaan yang ada di Jazirah Arab.[18] Para penguasa Lihyanite sangat penting dalam masyarakat Lihyan, karena persembahan dan acara keagamaan umumnya diberi tanggal sesuai dengan tahun pemerintahan raja. Terkadang gelar kehormatan digunakan; seperti Dhi Aslan (Raja Pegunungan) dan Dhi Manen (Raja Kuat).[19] Agama juga memainkan peran penting, serta merupakan sumber undang-undang, selain titah raja. Di bawah raja ada seorang pendeta agama yang dipimpin oleh Afkal.[20] Istilah ini dipinjam oleh suku Nabath langsung dari orang Lihyan.[21] Pekerjaan negara lainnya yang tercatat dalam prasasti kerajaan Lihyan adalah posisi Salh (Salha untuk perempuan); kebanyakan terjadi sebelum nama dewa tertinggi Lihyan bernama Dhu-Ghabat. Salh bertanggung jawab untuk mengumpulkan pajak dan sedekah dari para pengikut dewa.[22] Tahal (bagian dari pajak) yang setara dengan sepersepuluh dari kekayaan didedikasikan untuk para dewa.[23] Raja-raja Lihyan pasca-Nabath kurang kuat dibandingkan dengan para pendahulu mereka sebelumnya, karena Hajbal memiliki pengaruh yang lebih besar terhadap negara, sampai pada titik di mana raja sebenarnya adalah boneka dan kekuasaan sebenarnya dipegang oleh Hajbal.[24] EkonomiDedan adalah pusat perdagangan makmur yang terletak di sepanjang jalur kafilah utara-selatan di ujung utara jalur kemenyan. Jalur itu melewati wilayah suku Minai.[10] Berdasarkan Yehezkiel, pada abad ke-7, berdagang dengan Tirus, menjual kain pelana.[25] AgamaBangsa Lihyan menyembah Dhu-Ghabat dan jarang berpaling ke dewa lain. Dewa-dewa lain yang disembah di ibu kota mereka, Dedan, termasuk dewa Wadd, yang dibawa ke sana oleh suku Minai, dan al-Kutba'/Aktab, yang mungkin terkait dengan dewa Babilonia dan mungkin diperkenalkan ke oasis oleh raja Nabonidus.[26] Lihat pulaReferensiCatatan kaki
Daftar pustaka
Bacaan lebih lanjut
Pranala luar |