Lembaga Kebudayaan NasionalLembaga Kebudayaan Nasional (LKN) merupakan organisasi kebudayaan yang berada langsung di bawah Partai Nasional Indonesia (PNI). Dengan kata lain, LKN merupakan "Onderbouw" PNI. Lembaga ini dibentuk tahun 1959 di Jakarta, diketuai oleh Sitor Situmorang (1959—1965). Kelahiran LKN tidak dapat dilepaskan dari Sitor Situmorang. Penyair yang mendirikan dan sekaligus menjadi ketua umumnya. Sekembali dari Eropa (tahun 1950-an) kegiatan Sitor terpusat pada lapangan sastra dan seni. Akan tetapi, setelah pertengahan tahun 1950-an kegiatannya sudah mulai bergeser ke arah yang berbeda, yaitu dunia kewartawanan. Saat itu ia memublikasikan serangkaian tulisan yang menunjukkan bidang perhatiannya yang meluas, artinya perhatian itu tidak hanya pada soal sastra atau kebudayaan, tetapi mulai merambah dunia politik terutama kehidupan politik praktis. Sitor mengaitkan hubungan antara kehidupan kebudayaan dan kehidupan politik. Ketika tahun 1958 Presiden Soekarno membentuk Dewan Nasional sebagai realisasi dari konsepsi Presiden yang diumumkan setahun sebelumnya, Sitor tercatat sebagai anggota dewan dengan kapasitas sebagai wakil golongan seniman. Setahun setelah itu, tepatnya tahun 1959 ia mendirikan LKN dan menjadi ketuanya. Menurut keterangan Sitor yang disampaikan kepada teman-teman dekatnya di kalangan seniman, pembentukan LKN dimaksudkan sebagai usaha untuk mengimbangi kegiatan-kegiatan di Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra) yang merupakan anak organisasi Partai Komunis Indonesia (PKI). Sitor juga mengatakan bahwa saat itu kegiatan para seniman yang berpaham kiri harus diimbangi dengan kegiatan-kegiatan para seniman yang berpaham lain. Dasar pembentukan LKN sebagaimana dinyatakan oleh Sitor itu ternyata tidak sejalan dengan pelaksanaannya. Dalam perkembangan selanjutnya, kegiatan LKN khususnya Sitor sendiri bukannya mengimbangi kegiatan Lekra dengan menunjukkan warna dan falsafah yang berbeda dengan Lekra, tetapi mengimbangi Lekra dalam arti menjadi kawan dalam mewujudkan cita-cita revolosi yang berorientasi ke kiri. LKN yang digerakkan oleh Sitor merasa leluasa menjalankan misi-misinya, terutama dalam bidang kebudayaan, misalnya yang tampak mencuat adalah memperlihatkan sikap untuk menjadi yang paling depan dan paling dulu dalam melayani Pemimpin Besar Revolusi. Bahkan, kadang-kadang ia lebih "maju" dan lebih "berani" dari Lekra dalam menghantam "musuh-musuh Revolusi" di bidang kebudayaan. Dasar pembentukan LKN sebagaimana dinyatakan oleh Sitor itu ternyata tidak sejalan dengan pelaksanaannya. Dalam perkembangan selanjutnya, kegiatan LKN khususnya Sitor sendiri bukannya mengimbangi kegiatan Lekra dengan menunjukkan warna dan falsafah yang berbeda dengan Lekra, tetapi mengimbangi Lekra dalam arti menjadi kawan dalam mewujudkan cita-cita revolosi yang berorientasi ke kiri.[1] Kembali ke MarhaenismeKonsep perjuangan LKN adalah Marhaenisme yang teraktualisasi dalam setiap slogan revolusi yang lahir dari Panglima Besar Revolusi Bung Karno. Penyelarasan perjuangan LKN dengan Manipol, Tavip, dan Pancasila akan kembali ke Marhaen. Hal ini sudah ditegaskan dalam kongres PNI 1960 di Sala, yang menyebut Manipol Usdek adalah emanasi dari Marhaenisme. Ciri khas LKN dalam setiap kongresnya adalah memberikan seruan pada rakyat. Sikap kebudayaan itu adalah respon terhadap peristiwa nasional di bidang politik dan kebudayaan. Seruan pertama LKN adalah pembatasan film impor. Kala itu dunia perfilman dikuasai asing dengan sebanyak 80 persen film Amerika Serikat merajai, sisanya dibagi dua oleh film Asia terutama Hong Kong dan India. Film lokal hanya mendapat jatah 2 persen di layar bioskop. Saat penyelengaraaan Asian Games 1964, LKN menyerukan agar kompleks dan bangunan di Senayan yang menjadi ajang pesta olahraga Asia itu diberi nama Gelora Bung Karno, sesuai nama presiden. Sitor Situmorang, atas nama LKN, berpendapat pemberian nama itu sesuai dengan sejarah dan latar belakang pendiriannya yang menjadi proyek mercusuar Soekarno. Sudah sejak kongres ke-1, LKN menyatakan kebudayaan nasional adalah implementasi pidato Presiden Soekarno tentang manipol usdek pada 17 Agustus 1959. Dalam pidato itu BK mengecam kebudayaan barat yang mengenalkan tyarian rock and roll, dansa ala musik cha cha, musik ala ngang ngik ngok gila-gilaan, yang dicirikan sebagai bentuk imperialisme barat di bidang kebudayaan indonesia. Kecaman Bung Karno menjadi landasan LKN menentukan arah kebudayaan Indonesia. Sambil mengecam jenis budaya asing yang buruk yang masuk ke tanah air itu, LKN menyebut kebudayaan nasional sebagai puncak kebudayaan daerah. Kebudayaan daerah adalah sumber yang tak pernah kering dan sumber asali penggalian.[2] ManikebuLima tahun setelah proklamasi kemerdekaan Indonesia, Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra) didirikan pada 17 Agustus 1950. Lima belas tahun kemudian, saat arah politik berubah drastis, organisasi onderbouw PKI itu hancur diganyang kekuatan politik baru di gelanggang kebudayaan. Dua tahun sebelum peristiwa G30S, para seniman yang tak sejalan dengan Lekra membuat Manifes Kebudayaan. Isinya secara implisit menolak jargon “Politik sebagai Panglima” yang digembar-gemborkan Lekra. Bagi para penandatangan Manifes Kebudayaan, humanisme universal menjadi pegangan dan salah satu sektor kebudayaan tidak ditempatkan di atas sektor kebudayaan yang lain. Orang-orang Lekra kemudian kerap menggunakan akronim "Manikebu" untuk menyebut Manifes Kebudayaan. Akronim ini bernada ejekan, karena diasosiasikan dengan "mani kebo" (sperma kerbau). Pembersihan terhadap orang-orang komunis dan yang dituduh komunis, selain berjalan dengan kerja-kerja militer yang penuh kekerasan, juga berlangsung di gelanggang kebudayaan secara terorganisasi. Orang-orang Manifes Kebudayaan mempunyai peran besar dalam bidang ini. Wiratmo Soekito dalam harian Merdeka (23/10/1966) seperti dikutip Alexander Supartono dalam Lekra vs Manikebu: Perdebatan Kebudayaan Indonesia 1950-1965 (2005), menyebut Manifes Kebudayaan sebagai “Kostradnya Kebudayaan”. Perseteruan antara Lekra yang mengusung realisme sosialis dengan orang-orang Manifes Kebudayaan memang panas saat PKI masih berada dalam lingkaran kekuasaan.[3] Referensi
|