Legenda Pesut Mahakam

Mahakam adalah sebuah sungai besar yang terletak pada Pulau Kalimantan. Sungai tersebut sangat besar dan dihuni dengan berbagai binatang dan tumbuhan. Salah satu dari binatang tersebut adalah pesut mahakam, sebuah mamalia air yang mirip lumba-lumba.[1] Menurut kepercayaan dan cerita rakyat penduduk sedekat, pesut tersebut adalah jelmaan sepasang kakak beradik, yang diceritakan pada Legenda Pesut Mahakam.[2][3]

Ringkasan Cerita

Pada suatu hari dalam sebuah dusun yang terletak di rantau Mahakam, hiduplah keluarga kecil yang terdiri dari ayah, ibu, dan seorang anak laki-laki dan perempuan. Keluarga tersebut hidup dengan rukun dalam pondok tersebut. Kehidupan mereka pun tidak terlalu sukar karena mereka memiliki sebuah kebun yang ditanami dengan berbagai buah-buahan dan sayur-sayuran.

Namun pada suatu hari, sang Ibu terserang oleh penyakit aneh yang tidak dapat disembuhkan, sehingga ia meninggal dunia. Sejak kejadian tersebut, keluarga itu tidak rukun dan menjadi berantakan. Sang Ayah menjadi pemurung, dan kedua anaknya kebingungan, tidak tahu apa yang harus dilakukan. Keadaan rumah dan kebun sudah terawat, dan nasehat yang diberikan oleh warga desa sekitar daerah tersebut tidak mempan untuk merubah keadaan mereka.

Keadaan tersebut berlangsung sampai melewati satu musim. Pada saat musim panen, penduduk dusun akan mengadakan sebuah pesta adat dengan berbagai pertunjukan dan kesenian. Pada salah satu pertunjukan, seorang gadis yang cantik mulai menari, dan hati sang Ayah langsung tergerak dan mulai menyaksikan dengan penuh perhatiaan.

Acara tersebut diadakan selama 7 hari, dan dalam malam ketujuh, sang Ayah mencoba mendekati gadis itu dengan berdiri dekat dimana gadis itu sedang bertampil. Suatu saat, kedua pihak pun saling berpandangan, dan ketika pertunjukan tersebut habis, gadis itu turun dari panggung dan berbicara dengan si Ayah. Dengan persetujuan kedua belah pihak, pernikahan antara mereka dilangsungkan, dan gadis tersebut berjanji akan menyayangi kedua anak sang Ayah seperti anak kandung sendiri.

Setelah menikah, keluarga tersebut kembali memiliki suasana damai dan rukun, dan sang Ayah tidak lagi bermurung dan kembali bekerja di kebun dengan anak laki-lakinya, sedangkan istrinya menyiapkan makanan di rumah dengan anak perempuannya. Tetapi, sang Ibu tersebut lama kelamaan mulai memiliki sifat jahat kepada kedua anak tirinya, seperti memberi mereka makan jika ada sisa makanan dari ayahnya. Akhirnya, seluruh rumah tangga diatur dengan Istri tersebut.

Pada suatu ketika, Ibu tiri tersebut menyuruh anak-anaknya untuk mencari kayu bakar di hutan yang banyak. Ibu tiri tersebut memerintah anaknya dengan cara kasar, dan mengatakan bahwa jumlah kayu bakar tersebut harus tiga kali lebih banyak dari kumpulan kemarin dan tidak boleh pulang sebelum kayu tersebut sudah dikumpulkan. Anak lelaki bertanya kepada Ibu tirinya mengapa mereka disuruh mengumpul kan kayu bakar dengan jumlah tersebut sebab di rumah mereka masih banyak, tetapi Ibu tiri langsung memarahinya dan mengatakan bahwa mereka pemalas.

Berangkatlah kedua anak tersebut menuju hutan. Mereka mengumpulkan kayu bakar sebanyak mungkin, tetapi masih belum cukup sampai hari sudah sore. Takut dimarahi, mereka memutuskan untuk tidur di sebuah pondok bekas ditengah hutan dan akan meneruskan pekerjaan mereka pada hari esok, walaupun mereka kelaparan. Keesokan harinya, kedua anak kembali mengumpulkan kayu bakar, tetapi mereka tiba-tiba tergeletak karena sudah sangat kelaparan.

Namun, seorang kakek tua menghampiri mereka di tengah hari. Kedua anak tersebut kebangun dan mulai menceritakan mengapa mereka tergeletak di hutan, seperti perintah Ibu tirinya. Kakek yang baik hati tersebut menunjuk ke arah sebuah rimbunan dan menyuruh kedua anak tersebut untuk makan sepuas-puasnya semua buah di pohon-pohon tersebut sampai kenyang. Betapa senangnya hati kedua anak tersebut, karena terdapat beraneka jenis pohon buah seperti durian, mangga, nangka, dan lain-lain.

Setelah makan, mereka kembali mengumpulkan kayu dan berhasil mengumpulkan kayu yang banyak pada waktu sore, sehingga mereka segera pulang ke rumah. Betapa terkejutnya mereka berdua ketika mereka melihat bahwa rumah tersebut sudah kosong! Ternyata, Ayah dan Ibu tiri mereka pergi meninggalkan rumah tersebut. Nangislah kayak beradik itu, sampai dihampiri tetangga mereka yang juga terkejut melihat bahwa suami istri tersebut pindah diam-diam.

Esok harinya, kedua anak tersebut berencana untuk mencari orangtuanya, dan dengan bantuan tetangga, mereka dapat menukar kayu bakar yang dikumpulkan dengan bekal makanan, lalu berangkatlah kedua anak tersebut. Setelah dua hari, kedua anak masih berjalan dan tidak dapat menemukan orang tua mereka. Namun pada hari ketiga pada tepi sungai Mahakam, mereka melihat asap api di dekat sebuah pondok dan ketemu seorang kakek.

Kakak beradik itu memberi hormat dan salam kepada kakek tua itu dan menanyakan dia apakah sang kakek ada melihat orangtua mereka. Ia menjawab dan mengatakan bahwa beberapa hari yang lalu, ia melihat sepasang suami istri yang membawa banyak barang, dan mereka meminjam perahu kakek tersebut supaya bisa menyeberangi sungai dan menetap di tepi sungai. Kedua anak berterima kasih dan juga meminjam perahu sang kakek ditepi sungai.

Mereka sangat bahagia atas mengetahui keberadaan orangtua mereka sampai lupa dengan rasa lapar. Setibanya di seberang sungai, mereka melihat sebuah pondok kecil yang mengeluarkan asap api. Kedua anak tersebut juga mengenal baju yang digantung pada jemuran, bahwa baju itu punya Ayah. Tanpa keraguan, mereka menghampiri pondok tersebut dan berteriak memanggil mereka, tetapi tidak dibalas. Mereka masuk ke pondok tersebut dan pondok itu berisi dengan barang-barang ayah mereka.

Sang Kakak memeriksa asap yang dipancarkan dari dapur, mengira mungkin orangtua mereka sedang memasak. Tetapi, ia hanya ketemu sebuah panci isi bubur di atas api, dan mereka berpikir bahwa mungkin orangtua mereka terburu-buru ketika meninggalkan pondok, maka lupa menutup panci tersebut. Kelaparan, kedua anak tersebut melahap bubur yang masih panah, mengakibatkan suhu badan mereka naik tinggi bagaikan terbakar oleh api.

Dalam keadaan panik, kedua anak tersebut lari menuju sungai mencari air. Setiap pohon pisang dalam jalan mereka menjadi layu, dan ketika tiba di tepi sungai, mereka langsung lompat ke dalam air. Pada saat itu, kedua orangtua anak tersebut sedang jalan kembali menuju pondok mereka, dan terkejut lah mereka melihat semua pohon pisang yang layu dan hangus. Sang Ayah juga sangat terkejut ketika masuk ke pondoknya dan melihat bawaan anak-anaknya, dan juga panci yang sudah kosong.

Mereka bergegas menuju tepi sungai dan terlihatlah dua makhluk yang berenang didalam air sambil terkadang muncul di permukaan sungai dan menyemburkan air dari kepala mereka. Tiba-tiba, sang Istri menghilang, dan sang Ayah pun sadar bahwa istrinya bukan manusia biasa dan ikan pesut tersebut sebenarnya adalah anak dia. Sang Ayah sangat menyesal atas menelantarkan kedua anaknya sampai berubah menjadi ikan.

Makna Cerita

  • Seorang orangtua harus menyayangi semua anggota keluarga secara adil. Orangtua juga bertanggung jawab atas anak mereka dan tidak boleh menelantarkan anak-anaknya, seperti yang dilakukan sang Ayah dalam cerita tersebut karena dia lebih memilih istri barunya.
  • Selain itu, mencuri barang orang lain itu salah dan akan membawa konsekuensi, seperti yang dilakukan kedua anak dalam cerita tersebut.

Referensi

  1. ^ Daton, Zakarias Demon (2020-09-16). Arief, Teuku Muhammad Valdy, ed. "Cerita Mamalia Langka Penghuni Sungai Mahakam yang Terancam Punah karena Industri". Kompas.com. Diakses tanggal 2021-05-11. 
  2. ^ ", Kalimantan Timur - Indonesia". ceritarakyatnusantara.com. Diakses tanggal 2021-05-11. 
  3. ^ Storyteller (2017-11-27). "Legenda Pesut Mahakam - Cerita Rakyat Kalimantan Timur". Histori (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2021-05-11. 
Kembali kehalaman sebelumnya