Kubu, Kubu Raya
Kubu adalah sebuah kecamatan di Kabupaten Kubu Raya, Kalimantan Barat, Indonesia. Kecamatan Kubu merupakan satu-satunya kecamatan yang memiliki keunikan tersendiri di Kabupaten Kubu Raya. Di kecamatan ini sebagaimana tercatat dalam sejarah pernah berdiri sebuah Kerajaan Kubu, yang terbukti hingga saat ini makam seorang pendirinya, Syarif Idrus bin Abdurrahman Al-Idrus yang menjadi raja kesultanan pada waktu itu masih tetap terjaga dan terawat sebagai salah satu potensi wisata ziarah yang ada di kabupaten termuda di Kalimantan barat saat ini. Asal NamaMenurut catatan cerita rakyat, Kubu awalnya adalah sebagai tempat kubu pertahanan (Benteng) pada masa kolonialisme Belanda dan Jepang tahun 1778 oleh Sultan Syarif Al-Idrus, selaku Raja pertama Kesultanan Kubu sekaligus pendiri dan pembuka lahan perkampungan Kubu yang kemudian dikenal dengan Kecamatan Kubu. SejarahSejarah Kesultanan Kubu berawal ketika 45 penjelajah Arab yang berasal dari daerah Hadramaut, Yaman, di Selatan Jazirah Arab, yang mendapat perintah dari guru pengajiannya untuk menyebarkan Syariat Islam di lautan sebelah Timur (Asia). Salah seorang dari 45 pemuda Arab yang telah membuka lahan perkampungan tersebut ialah Syarif Idrus Al-Idrus. Sayyidis Syarif Idrus bin Abdurahman Al-Idrus, lahir pada hari Kamis 17 Ramadhan 1144 H ( 1732 M ) dikampung Al-Raidhah terim ( Hadramaut ). Dia meninggalkan kampung halamannya dalam rangka Syiar agama Islam. Banyak negeri dan tempat yang dilalui dan disinggahi termasuk dikepulauan Nusantara hingga diriwayatkan akhirnya ia tiba menyusuri sepanjang sungai terentang ( dimuara pulau Bengah ), didaerah itulah dia berhasrat untuk menetap dan membuka perkampungan untuk itu permohonannya mendapat restu dari Sultan Ratu, Raja di Simpang ( Matan Kalimantan Barat ). Di situlah tahun 1182 H (1768 M) Dia dan beberapa orang anak buahnya yang berasal dari Hadramaut dan di Bantu oleh suku-suku Bugis dan Melayu membuka sebuah perkampungan yang sekarang telah diakui sebagai Kecamatan Kubu, Kabupaten Kubu Raya Kalimantan Barat Indonesia. Dipersimpangan muara pada tiga buah anak sungai dibuatlah benteng-benteng guna menghalau serangan dari perompak laut (lanun) yang pada masa itu masih merajalela. Perkampungan yang dibuka kemudian berkembang menjadi negeri yang kemudian diberi nama Kubu (Kecamatan Kubu). Di Kubu ini dia dinobatkan menjadi Raja Pertama pada tahun 1775 M dan bergelar Tuan Besar Raja Kubu, yang mana kelak bekas Istana tersebut didirikan Masjid Raya sekarang. Tidak lama setelah didirikan, permukiman baru yang dibangun Syarif Idrus didatangi banyak orang dan kemudian terjadi saling interaksi lintas etnis dan budaya di sana. Setiap hari, orang-orang dari Suku Dayak yang berlalu-lalang di Sungai Kapuas Kecil, menyempatkan diri untuk mengunjungi kampung baru yang didirikan Syarif Idrus itu. Orang-orang Suku Dayak itu tertarik dengan segala hal baru yang mereka temukan di tempat tersebut, terutama kepemimpinan Syarif Idrus. Bahkan, mereka menawarkan diri untuk diizinkan bergabung di bawah kepemimpinan Syarif Idrus. Maka kemudian permukiman itu semakin lama semakin besar dan perlahan-lahan berubah menjadi sebuah bandar perdagangan yang sangat ramai. Pada tahun 1772 M, seluruh rakyat bersepakat mengangkat Syarif Idrus menjadi pemimpin mereka. Di bawah pimpinan Syarif Idrus, banyak kemajuan yang diperoleh, terutama dalam bidang pertahanan, ekonomi, dan perdagangan. Kemakmuran permukiman yang didirikan oleh Syarif Idrus di tepi Sungai Kapuas Kecil ternyata memancing niat buruk gerombolan perompak (lanun) untuk menjarahnya. Beberapa kali perkampungan Syarif Idrus menjadi korban keganasan para bajak laut sehingga mengalami kerugian yang tidak sedikit. Oleh karena itu, Syarif Idrus kemudian memutuskan kebijakan untuk memindahkan pusat pemerintahannya ke daerah di pinggir anak Sungai Kapuas Besar (dikenal juga dengan nama Sungai Terentang) dan membuat sistem pertahanan yang lebih kuat sebagai langkah untuk mengantisipasi serangan dari luar. Kubu pertahanan dibuat dengan cara menimbun sungai agar tidak dapat dicapai oleh musuh. Sejak benteng pertahanan tersebut dibangun dengan kokoh, mulailah orang menamakan kampung itu dengan sebutan Kubu yang berlaku hingga saat ini menjadi salah satu Kecamatan pada Kabupaten Kubu Raya. Benteng pertahanan yang dibangun oleh para pengikut setia Syarif Idrus terbukti kuat. Kendati telah berkali-kali mendapat serangan dari musuh, tapi benteng pertahanan ini masih cukup ampuh menahannya. Inilah awal mula mengapa tempat itu disebut dengan nama Kubu dan kemudian menjadi Kesultanan Kubu. Kedigdayaan benteng tersebut justru membuat penduduk Kubu menjadi lengah. Mereka terlanjur sangat meyakini bahwa benteng perkampungan mereka tidak dapat ditembus oleh musuh yang sekuat apapun. Mereka tidak memperhitungkan lagi bahwa musuh tetap mencari akal untuk menerobos benteng hinggapada suatu ketika, terjadilah serbuan mendadak dari orang-orang Siak. Karena dalam kondisi yang tidak siap, pihak Kubu menjadi kocar-kacir karena serangan itu. Saat serbuan itu terjadi, Syarif Idrus yang sedang menunaikan ibadah shalat akhirnya tewas terbunuh. Atas kejadian tersebut, penduduk Kubu dan keturunannya bersumpah tidak akan menjalin kekerabatan, termasuk menikah dan dinikahi, dengan dan oleh orang Siak beserta anak-cucunya. Kejadian penyerangan Kubu oleh Siak itu terjadi di penghujung abad ke-18, atau kira-kira pada tahun 1795. Sistem pemerintahanPada awal berdirinya, Kubu hanya merupakan sebuah perkampungan kecil yang dibentuk atas prakarsa Syarif Idrus. Akan tetapi, lama-kelamaan permukiman yang terletak di muara sungai tersebut semakin lama semakin banyak didatangi orang, bahkan kemudian menjadi bandar dagang yang ramai. Tidak hanya pengikut Syarif Idrus saja yang tinggal di tempat itu, melainkan juga orang-orang Suku Dayak yang sebelumnya sering melintas dan melihat ada permukiman penduduk di situ. Orang-orang Suku Dayak tersebut kagum terhadap pola kehidupan dan terutama gaya kepemimpinan Syeh Idrus. Oleh karena itu, orang-orang Suku Dayak kemudian berkeputusan untuk menggabungkan diri ke wilayah yang dipimpin Syarif Idrus. Atas kesepakatan warga yang berasal dari berbagai etnis dan kalangan, kemudian diputuskan bahwa Syeh Idrus diangkat menjadi pemimpin mereka hingga kemudian tempat itu dikenal dengan nama Kesultanan Kubu. Sebelum Syarif Idrus gugur akibat serangan dari orang-orang Siak pada tahun 1795, raja pertama Kesultanan Kubu ini ternyata telah menandatangani kontrak politik dengan Belanda. Sejak itu, jalannya sistem pemerintahan Kesultanan Kubu berada di bawah hegemoni Belanda karena secara turun-temurun, sultan-sultan yang berkuasa di Kesultanan Kubu selalu bersedia mengadakan kesepakatan dengan Belanda. Kontrak politik yang dibuat Belanda itu berisi hampir sama dengan kontrak politik serupa antara Belanda dengan kerajaan-kerajaan lainnya di Kalimantan Barat. Beberapa poin terpenting dalam perjanjian itu antara lain pihak Kesultanan dan Belanda mengatur sistem pemerintahan dan mempertahankan Kesultanan bersama-sama. jika Sultan wafat, pihak Kesultanan boleh mengajukan calon Sultan kepada Belanda, sementara yang berhak mengangkat Sultan secara resmi adalah pihak Belanda. Sultan mengangkat para menteri harus dengan sepengetahuan pihak Belanda. Sultan hanya boleh membangun benteng atas persetujuan pihak Belanda. Sebaliknya, apabila Belanda hendak mendirikan benteng, Sultan harus mengizinkan dan membantu pelaksanaan pembangunan benteng Belanda tersebut. Berikutnya, apabila ada tentara/pegawai Belanda yang lari kepada Sultan, Sultan harus menyerahkannya kembali kepada pihak Belanda. mata uang Belanda yang berlaku di Batavia juga diberlakukan di wilayah Kesultanan; Sultan tidak diharuskan memungut cukai kepada pihak Belanda, harga jual atas hasil hutan dan hasil bumi di wilayah Kesultanan ditentukan oleh pihak Belanda, bila terjadi serangan dari luar, pihak Belanda akan membantu Sultan. Sultan dan daerah bawahannya wajib membantu Belanda terhadap serangan musuh yang datang dari darat dan laut dan Sultan dihimbau agar mengadakan upacara sebagai bentuk kesetiaan kepada Belanda (Hasanudin & Budi Kristanto, dalam Humaniora, No.1/2001). Pada tahun 1910, pemerintah kolonial Hindia Belanda mendirikan Bestuur Commite, sebuah lembaga pemerintahan untuk mengawasi jalannya pemerintahan Kesultanan Kubu. Syarif Kasimin, salah seorang kerabat Kesultanan Kubu, diangkat oleh Belanda untuk memimpin Bestuur Commite. Belanda juga mengangkat seorang abdi setia bernama Syarif Shaleh untuk ikut mengurusi lembaga bentukan kolonial itu. Pemerintahan Kesultanan Kubu juga memiliki lembaga internal yang dinamakan Dewan Kesultanan. Anggota-anggota dari lembaga ini adalah orang-orang yang berasal dari keluarga Kesultanan Kubu. Fungsi Dewan Kesultanan adalah sebagai penasihat kesultanan dan mampu mempengaruhi kebijakan Sultan meski keputusan akhir masih tetap berada di tangan Sultan. Dewan Kesultanan juga dapat memainkan perannya ketika terjadi pemilihan kandidat calon Sultan sebelum diserahkan kepada pemerintah kolonial Hindia Belanda. Setelah era penjajahan Belanda dan Jepang berakhir, wilayah Kesultanan Kubu dijadikan sebagai wilayah Self Bestuur (kurang lebih setara dengan daerah otonomi) sejak tahun 1949-1958. Pada tahun 1958 itulah riwayat Kesultanan Kubu berakhir dan menggabungkan diri sebagai bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Kota Kubu kemudian menjadi ibu kota Kecamatan Kubu, Kabupaten Pontianak, Provinsi Kalimantan Barat. Sejak tahun 2007, Kecamatan Kubu telah resmi dikembangkan menjadi Kabupaten Kubu Raya dan disahkan dengan Undang-Undang No.35 Tahun 2007 tentang Pembentukan Kabupaten Kubu Raya di Provinsi Kalimantan Barat pada tanggal 10 Agustus 2007 dan untuk pertamakalinya telah mengadakan Pemilihan Kepala Daerah (Bupati) Kabupaten Kubu Raya pada tanggal 25 Oktober 2008. Desa Kelurahan Kubu
PendidikanDaftar Sekolah Menengah Pertama / Sederajat
Daftar Sekolah Menegah Atas
ReferensiLihat pulaPranala luar
|