Krisis paruh bayaKrisis paruh baya adalah sebuah transisi identitas dan kepercayaan diri yang dapat terjadi pada manusia paruh baya, biasanya pada usia 45 hingga 64 tahun.[1][2][3] Fenomena ini dideskripsikan sebagai sebuah krisis psikologi yang ditimbulkan oleh kejadian yang disebabkan karena usia yang makin tua, kematian yang tidak dapat dihindari, dan bisa juga ditimbulkan oleh kurangnya pencapaian dalam hidup. Krisis ini dapat menimbulkan depresi berat, penyesalan, dan kegelisahan tinggi, ataupun menimbulkan keinginan untuk kembali ke masa muda atau membuat perubahan drastis pada gaya hidupnya saat ini, maupun timbulnya keinginan untuk mengubah keputusan yang telah dibuat pada masa lalu. Frase ini dicetuskan oleh Elliott Jaques pada tahun 1965. Krisis vs. stresorTipe kepribadian dan riwayat krisis psikologis dipercaya menyebabkan sejumlah orang mengalami krisis paruh baya "tradisional".[4][5] Orang yang akan mengalami krisis paruh baya mengalami sejumlah gejala dan menunjukkan berbagai perilaku berbeda. Penting untuk memahami perbedaan antara krisis paruh baya dan stresor paruh baya. Paruh baya merujuk pada usia antara 45–64 tahun,[1][2][3] di mana seseorang kerap mengevaluasi hidupnya. Namun, sejumlah stresor paruh baya kerap disebut sebagai krisis paruh baya. Stresor yang terjadi sehari-hari kemungkinan menumpuk dan dianggap sebagai krisis, tetapi pada kenyataannya, hal tersebut hanyalah sebuah "penumpukan".[4] Baik pria dan wanita kerap mengalami sejumlah stresor akibat peran gandanya, contohnya menjadi pasangan, orang tua, pegawai, anak, dsb dalam waktu yang bersamaan. Sejumlah manusia paruh baya mengalami kejadian besar yang dapat menyebabkan atau depresi dan stres psikologis selama beberapa waktu, seperti kematian orang terdekat atau kemunduran karir. Namun, kejadian tersebut dapat terjadi lebih awal atau lebih lambat dalam hidup, sehingga menjadikannya sebuah "krisis," namun bukan krisis paruh baya. Pada studi yang sama, 15% manusia paruh baya mengalami masalah paruh baya seperti itu. Studi menunjukkan bahwa sejumlah budaya dapat lebih sensitif terhadap fenomena ini. Satu studi menunjukkan bahwa hanya ada sedikit bukti bahwa manusia mengalami krisis paruh baya di Budaya Jepang dan India, sehingga muncul pertanyaan apakah krisis paruh baya sebenarnya adalah sebuah konstruksi sosial. Penulis studi tersebut menduga bahwa "budaya muda" di negara Barat menyebabkan populernya konsep krisis paruh baya di sana. Peneliti menemukan bahwa paruh baya kerap menjadi waktu untuk mengevaluasi diri, namun tidak selalu diiringi dengan pergolakan psikologis yang populer diasosiasikan dengan "krisis paruh baya."[6] Orang yang melakukan perubahan karir atau pekerjaan lebih awal lebih kecil kemungkinannya untuk mengalami krisis paruh baya.[7][8] KejadianKrisis paruh baya dapat terjadi pada usia 45–64 tahun.[1][2] Krisis ini berlangsung sekitar 3–10 tahun pada pria dan 2–5 tahun pada wanita. Sebuah krisis paruh baya dapat disebabkan oleh penuaan, maupun penuaan yang dikombinasikan dengan perubahan, masalah, atau penyesalan akibat:
Krisis paruh baya dapat menyerang pria dan wanita secara berbeda, karena stresornya berbeda. Sebuah stereotip budaya Amerika mengenai pria yang mengalami krisis paruh baya meliputi pembelian barang mewah seperti mobil, atau mencari intimasi dengan wanita yang lebih muda. Sejumlah pria mencari wanita yang lebih muda dan masih subur, tetapi tidak selalu dengan niat untuk menghasilkan keturunan.[9] Krisis paruh baya pada pria kemungkinan besar disebabkan oleh masalah pekerjaan,[5] sementara pada wanita biasanya disebabkan oleh evaluasi pribadi atas perannya. Walaupun ada perbedaan antara penyebab krisis paruh baya pada pria dan wanita, emosi yang ditunjukkan dapat serupa. Salah satu ciri utama dari perspektif krisis paruh baya adalah bahwa seseorang menganggap bahwa krisis paruh bayanya akan berdampak besar, biasanya secara negatif, dan berpotensi menyebabkan stres. Riset psikolog Oliver Robinson membedakan ciri krisis yang terjadi antar dekade kehidupan dengan mendeskripsikan kejadian atau situasi yang sering terjadi pada dekade tersebut. Ia mendeskripsikan bahwa krisis dapat mulai terjadi pada usia 20-an saat seseorang mulai mencoba untuk merencanakan masa depannya. Lebih lanjut, pada usia 50 - 60 tahun, seseorang dapat jatuh sakit dan bahkan mulai memikirkan kematian. Hal tersebut dapat meyakinkan manusia paruh baya bahwa kebutuhan hidupnya harus dapat terpenuhi sesuai harapan.[8] Orang yang mengalami krisis paruh baya dapat merasa:[10]
Penanganan dan pencegahanPerubahan fisik yang terjadi pada usia paruh baya biasanya adalah penambahan berat badan, wajah mengerut, kulit mengeriput, dan rontoknya rambut.[6][8][12][13][14] Olahraga rutin dan menjaga porsi makan biasanya dapat membantu seseorang dalam mempertahankan kesehatan fisik dan mental selama mengalami krisis paruh baya. Perubahan signifikan yang dilakukan pada masa awal kehidupan seseorang dapat menghindarkan orang tersebut dari krisis paruh baya. Bukti pendukung dari teori tersebut dapat diturunkan dari riset yang dilakukan oleh Dr. Susan Krauss Whitbourne. Orang yang mengubah pekerjaannya sebelum memasuki usia paruh baya memiliki rasa generativitas yang lebih besar saat mencapai usia paruh baya. Mereka juga memiliki motivasi yang lebih besar untuk keluar dari kebuntuan dan keinginan untuk membantu orang yang lebih muda. Hal tersebut merupakan tahapan psikologis yang dikemukakan Erik Erikson yang mendeskripsikan tahapan normal yang dilalui orang saat berusia paruh baya.[15] Dasar teoriGagasan krisis paruh baya dimulai dengan pengikut Sigmund Freud, yang berpikir bahwa selama berusia paruh baya, pikiran tiap orang dikendalikan oleh ketakutannya terhadap kematian.[16] Walaupun krisis paruh baya akhir-akhir ini menerima lebih banyak perhatian di budaya populer daripada di penelitian serius, ada sejumlah konstruksi teori yang mendukung gagasan tersebut. Teori Jung menyatakan bahwa usia paruh baya merupakan kunci individuasi, yakni sebuah proses aktualisasi diri dan kesadaran diri yang mengandung sejumlah paradoks potensial.[17] Walaupun Carl Jung tidak mendeskripsikan krisis paruh baya per se, integrasi pemikiran, sensasi, perasaan, dan intuisi pada usia paruh baya yang ia deskripsikan, terlihat mengarah pada kebingungungan mengenai kehidupan dan tujuan hidup orang.[butuh rujukan] Tahapan hidup generativitas versus kebuntuan yang dikemukakan oleh Erik Erikson juga mirip dengan konsep krisis paruh baya. Erikson percaya bahwa pada tahap tersebut, seseorang mulai mengerti tekanan dari komitmen untuk meningkatkan taraf hidup dari para keturunannya. Pada tahap ini, seseorang menyadari bahwa kematian tidak dapat dihindari dan keuntungan dari tahap ini adalah untuk menciptakan dunia yang lebih baik untuk keturunannya, agar manusia tetap dapat eksis di dunia. Kebuntuan adalah kurangnya gerakan atau pertumbuhan psikologis. Jangankan membantu orang lain, seseorang mungkin hampir tidak dapat menolong keluarganya sendiri. Orang yang mengalami kebuntuan tidak berinvestasi pada pertumbuhan mereka sendiri ataupun pertumbuhan orang lain.[18] Sejumlah psikolog[siapa?] percaya bahwa krisis paruh baya pada pria adalah reaksi psikologis terhadap menopause yang makin dekat dan berakhirnya kemampuan reproduktif dari pasangannya.[19] Gen pria mungkin mempengaruhinya untuk lebih tertarik pada wanita yang masih reproduktif, dan tidak terlalu tertarik pada pasangannya yang non-reproduktif. KritikSejumlah orang meragukan eksistensi krisis paruh baya. Satu studi menunjukkan bahwa 23% responden mengalami "krisis paruh baya," namun setelah menggali lebih dalam, hanya 8% yang menyatakan bahwa krisis paruh baya terkait dengan kesadaran mengenai penuaan.[4][20] Sementara 15% sisanya mengalami kejadian atau transisi besar, seperti perceraian atau kehilangan pekerjaan di usia paruh baya. Walaupun memang kejadian tersebut dapat menimbulkan trauma, reaksi yang timbul akibat kejadian tersebut dapat serupa dengan depresi.[4] Costa dan McCrae (1980) menemukan sedikit bukti untuk peningkatan neurotisisme di usia paruh baya. Walaupun mereka memang menemukan sejumlah orang yang kemungkinan mengalami semacam krisis, sejumlah orang tersebut kemungkinan akan mengalami krisis pada usia 20 - 30 tahun, dan kejadian tersebut tidak hanya dapat ditemui di usia paruh baya. Robinson, Rosenberg, dan Farrell (1999) mewawancara ulang (500) pria untuk melihat kembali ke periode paruh bayanya. Terbukti bahwa walaupun tidak selalu menyebabkan krisis, usia paruh baya adalah waktu untuk evaluasi ulang. Dalam kesimpulannya tentang krisis paruh baya, Aldwin dan Levenson menulis bahwa "... Berdasarkan sebagian besar data, kemungkinan besar bahwa, untuk sebagian besar pria, usia paruh baya adalah waktu untuk pencapaian dan kepuasan. Namun untuk sejumlah pria lain, usia paruh baya tidak berjalan dengan mulus."[21] Mereka menemukan pola serupa saat meninjau penelitian mengenai apa yang umumnya dipandang sebagai pemicu krisis paruh baya pada wanita, yakni menopause, anak keluar rumah, serta merawat orang tua dan anak sekaligus. Sebagian besar wanita melalui periode tersebut tanpa mengalami "krisis" psikologis traumatis.[21] Konsep krisis paruh baya yang makin populer juga dapat dijelaskan melalui penemuan lain oleh Robinson et al. Sebagaimana yang disimpulkan oleh Alwin dan Levenson bahwa "... pria yang lebih muda, kini baby boomers paruh baya, menggunakan frase "krisis paruh baya" untuk mendeskripsikan hampir semua kemunduran, baik yang terjadi di pekerjaan ataupun keluarganya."[butuh rujukan] Levenson meneliti kemungkinan eksistensi krisis paruh baya dan dampaknya. Levenson (1978) menemukan bahwa 80% responden berusia paruh baya mengalami krisis, dan Ciernia (1985) melaporkan bahwa 70% pria paruh baya mengatakan bahwa mereka mengalami krisis. Sementara Shek (1996), Kruger (1994), McCrae and Costa (1990) tidak menemukan hasil yang sama. Debat mengenai apakah krisis paruh baya benar-benar ada dijawab melalui riset terbaru yang berupaya untuk menyeimbangkan berbagai faktor, seperti bias respon dan dampak ekperimentor untuk menetapkan validitas internal. Riset tersebut tidak mendukung model Levenson yang menetapkan usia terjadinya potensi "krisis" dan transisi. Namun, perubahan kepribadian dapat terjadi selama usia dewasa tanpa adanya puncak stres atau krisis psikologis.[22] Sejumlah orang melihat usia paruh baya sebagai suatu hal yang negatif, namun pada kenyataannya, sejumlah orang menjalani usia paruh baya dengan positif.[butuh rujukan] Jika dilihat sebagai waktu pertumbuhan diri, usia paruh baya dapat sangat menguntungkan.[butuh rujukan] Jika dianggap sebagai fase transisi,[6] psikolog percaya bahwa usia paruh baya mungkin sulit dan membingungkan, tetapi seiring berjalannya waktu, usia paruh baya dapat menjadi waktu untuk pertumbuhan diri dan realisasi diri.[6][23][24] Catatan
Referensi
Pranala luar
|