Krisis Timor Leste 2006
Krisis Timor Leste 2006 berawal sebagai konflik antarelemen militer Timor Leste yang disebabkan oleh diskriminasi di dalam militer, lalu berubah menjadi upaya kudeta dan aksi kekerasan yang terpusat di ibu kota Dili. Krisis ini memicu intervensi militer oleh beberapa negara dan mundurnya Perdana Menteri Mari Alkatiri. Latar belakangKrisis ini bermula dari penanganan perselisihan antara militer Timor Leste (F-FDTL). Tentara dari daerah barat mengaku bahwa mereka didiskriminasi karena militer mengutamakan tentara dari daerah timur. Pihak Lorosae ("timur" dalam bahasa Tetum) mendominasi Falintil, gerakan pemberontak gerilya yang melawan pendudukan Indonesia dan membentuk sebagian besar F-FDTL usai merdeka tahun 2002.[1] Sebaliknya, Loromonu ("barat" dalam bahasa Tetum) kurang menonjol dalam pemberontakan ini dan kurang diperhatikan di dalam struktur militer. Ada ketegangan antara militer dan kepolisian yang sebagian besar anggotanya berasal dari barat dan mantan anggota militer Indonesia.[1] 404 dari 1.500 tentara reguler meninggalkan barak mereka (desersi) pada tanggal 8 Februari 2006. 177 tentara lainnya menyusul pada 25 Februari.[2] Para tentara diperintahkan untuk kembali pada bulan Maret, tetapi menolak dan akhirnya dibebastugaskan.[3][4] Sejumlah anggota kepolisian juga bergabung dan awalnya dipimpin oleh Letnan Gastão Salsinha.[5] Menteri Luar Negeri, José Ramos-Horta, mengumumkan pada bulan April bahwa sebuah panitia akan dibentuk untuk menampung keluhan mantan tentara, tetapi menambahkan bahwa, "mereka tidak akan dikembalikan ke militer, kecuali dalam kasus tertentu setelah kami menetapkan tanggung jawab setiap pelaku dalam insiden ini".[6] Serangan terhadap tentara dan pemerintah memiliki motivasi politik. Para pelaku kekerasan dan pembunuhan berpihak kepada Presiden Xanana Gusmao yang ingin menggantikan Perdana Menteri dan pemimpin Fretilin, Mari Alkatiri.[7] Kekerasan
Pada tanggal 24 April, para mantan tentara dan warga sipil yang mendukungnya, kebanyakan pemuda pengangguran, berdemo di jalanan Dili. Demonstrasi yang awalnya damai berubah menjadi kerusuhan ketika tentara menyerang pasar yang dioperasikan oleh masyarakat dari daerah timur Timor Leste.[6] Demonstrasi berlangsung selama beberapa hari. Pada 28 April, para mantan tentara berselisih dengan pasukan FDTL yang menembak ke arah kerumunan. Dalam kekerasan yang terjadi selanjutnya, lima orang tewas, lebih dari 100 bangunan hancur, dan sekitar 21.000 penduduk Dili mengungsi ke luar kota.[3] Tanggal 4 Mei, Mayor Alfredo Reinado, bersama 20 polisi militer dari peleton di bawah pimpinannya dan empat polisi anti huru-hara desersi dan bergabung dengan tentara pemberontak. Mereka membawa dua truk berisi senjata dan amunisi.[8] Setelah itu, Reinado mendirikan pangkalan di kota Aileu di perbukitan sebelah barat daya Dili.[9] Di sana, ia dan polisi militer menjaga jalan ke arah pegunungan.[5] Pada malam tanggal 5 Mei, mantan tentara di bawah pimpinan Salsinha menyusun deklarasi yang menuntut Presiden Xanana Gusmão memecat Perdana Menteri Mari Alkatiri dan membubarkan FDTL dalam kurun 48 jam.[5] Ketika Gusmão menghubungi Salsinha siangnya untuk mencegah penerbitan deklarasi tersebut, Salsinha memberitahu bahwa semua "sudah terlambat".[5] Tentara pemberontak tetap bertahan di perbukitan menghadap ibu kota. Mereka terlibat pertempuran sporadis dengan FDTL selama beberapa pekan berikutnya.[3] Geng-geng liar juga merambah jalanan Dili, merusak rumah, dan membakar mobil.[10] Warga sipil yang mengungsi dari Dili tinggal di tenda sementara di dekat kota atau di gereja pinggiran kota. Satu biara Katolik memberi bantuan Palang Merah untuk 7.000 orang.[10] Tanggal 8 Mei, seorang polisi tewas ketika kerumunan 1.000 orang mengepung kompleks pemerintahan di Gleno, dekat Dili.[11] Tanggal 9 Mei, Perdana Menteri Mari Alkatiri menyebut bahwa kekerasan yang terjadi sejak 28 April adalah kudeta yang "bertujuan menghambat jalannya lembaga-lembaga demokratis, mencegah semuanya berfungsi sehingga satu-satunya solusi adalah Presiden membubarkan parlemen nasional... yang memicu bubarnya pemerintahan."[11] Namun, pada 10 Mei, Alkatiri mengumumkan bahwa sejumlah pejabat pemerintahan telah berunding dengan tentara pemberontak. Kedua pihak sepakat bahwa tentara pemberontak akan diberi subsidi setara gaji militer untuk menghidupi keluarga mereka.[12] Pasukan penjaga perdamaian PBB meninggalkan Timor Leste pada tanggal 20 Mei 2005. Sisa staf administratif dan polisi di United Nations Office in Timor Leste (UNOTIL) dijadwalkan pulang tanggal 20 Mei 2006, tetapi pada 11 Mei, batasnya diperpanjang hingga Juni.[13] Keputusan ini dibuat setelah Menteri Luar Negeri Ramos-Horta meminta Komisaris Tinggi Hak Asasi Manusia PBB menyelidiki dugaan pelanggaran HAM oleh kepolisian Timor Leste seperti yang dituduhkan Human Rights Watch dan Departemen Luar Negeri Amerika Serikat.[12][14] Pada tanggal 12 Mei, Perdana Menteri Australia John Howard mengumumkan bahwa meski belum ada permintaan bantuan resmi dari pemerintah Timor Leste, pasukan Australia telah disiagakan untuk memberikan bantuan. Kapal angkut amfibi HMAS Kanimbla dan HMAS Manoora dikerahkan ke perairan utara untuk berjaga-jaga.[15] Kekerasan meningkat pada bulan Mei setelah seorang tentara FDTL tewas dan lima lainnya terluka dalam baku tembak tanggal 23 Mei.[16] Menteri Luar Negeri Ramos-Horta mengirim permintaan bantuan militer resmi tanggal 24 Mei kepada pemerintah Australia, Selandia Baru, Malaysia, dan Portugal.[9] Tanggal 25 Mei, ketika gelombang pasukan internasional pertama tiba di Timor Leste, beberapa tentara desertir bergerak ke Dili dan terlibat baku tembak dengan FDTL dan kepolisian. Kurang lebih dua puluh orang tewas.[17] Film dokumenter
Lihat pula
Referensi
|