Kreo, Kejajar, Wonosobo
SejarahEtimologiKata Kreo berasal dari kata magreho yang artinya peliharalah atau jagalah. Berdasarkan informasi tutur masyarakat, Kreo berasal dari kata Krenyo yang berarti sembung atau kayu sembung, konon katanya dulu di kreo banyak di tumbuhi pohon sembung. Ada yang mengatakan kata Kreo dari bahasa arab yaitu qoryatun atau qoriyah yang berarti desa. Dan jika benar, kata kreo berasal dari bahasa arab, maka yang memberi nama tentu orang yang sudah mengenal islam atau mubaligh yang menyebarkan agama di wilayah dieng. Disinyalir mereka adalah pasukan dari Demak Bintara yang makamnya ada di perkuburan sigelap. MitologiSejarah Desa Kreo ada dua priode, Kreo purba dan Desa Kreo saat ini. Karena pada zaman dulu Penduduk kreo bermukim di kawasan Kreo yang di sebut jeblugan, kemudian para penduduk bermigrasi dan membuat permukiman di lokasi Desa Kreo yang sekarang. Desa Kreo kaya akan misteri, dengan adanya perkuburan tua yang terletak di sigelap, yang posisinya berada di sekitar 2 km arah barat laut dari desa kreo sat ini. Diperkirakan perkuburan itu sudah ada sejak tahun 700 M sampai 1500-san Masehi, pernyataan ini di identifikasi dari cerita tutur para sesepuh desa yang mengatakan perkuburan tersebut sebagai perkuburan hindu-budha, tetapi istilah ini hannya di gunakan untuk majas karena saking zaman dulunya perkuburan tersebut. Karena budaya hindu tidak mengubur, tetapi membakar mayatnya jika ada orang meninggal, di Bali di kenal dengan istilah ngaben. Benar tidaknya cerita tutur, yang jelas perkuburan tersebut sudah sangat tua sekali, mengingat perkuburan Kreo yang sekarang saja ada dua pemakaman besar yang telah menapung lebih dari lima generasi lebih. Berdiri kokohnya perkuburan tua sigelap sudah menjadi argumentasi untuk membuktikan diri akan keberadaan masyarakat kreo purba. Penduduk kreo zaman dulu tinggal di sekitar cekungan sebelah barat perkuburan tua sigelap, dimana kawasan jeblugan terletak, kemudian mereka bermigrasi ke kawasan Kreo yang sekarang. Hal ini terjadi karena daerah tersebut pernah amblas, penduduk sekitar menyebutnya jeblug atau amblas, sehingga penduduk desa bermigrasi ke arah timur laut sekitar 2 kg dari sigelap yang kemudian hari ini di sebut desa kreo. Proses amblasnya dimitoskan ketika Nyai Tabi’es yang mandi jinabat di sumber mata air jeblukan, sehingga menyebabkan sumber mata air mati dan amblas, dan mata air tersebut pindah ke desa gunung Tawang yang kebetulan disana ada sumber mata air yang bernama sumber mata air Kreo. Para sesepuh desa meyakini kuburan tua tersebut sudah sejak zaman Hindu, dimana masyarakat jeblugan masih beragama Hindu dan akhirnya kedatangan utusan dari Demak Bintoro untuk mengislamkan wilayah dieng. Para utusan tersebut mengambil jeblugan sebagai tempat konsentrasi dakwah dalam menyebarkan islam bumi kayangan Dieng, sehingga bisa menundukkan Kyai Kolodete sebagai tokoh Hindu wilayah Dieng menjadi islam, dan berbalik menjadi mubaligh yang mengislamkan tanah Dieng. Bukti bahwa pasukan demak bintara berdomisi di jeblugan karena di perkuburan sigelap terdapat makam tokoh-tokoh itu. Di kreo mereka di kenal dengan para wali penyebar islam yang antara lain Mbah Pidha Ibrahim, Syeh Belabelo, Syeh Dmi aking, Raden Santri, Kyai Jegang Jaya, Syeh Karim, Syeh Jangkung, Nyai Ajeng rara Ayu dan lain-lain, yang kesemuanya di makamkan di perkuburan tua sigelap. Di buku “Islam Bumi Khayangan Dieng” di jelaskan lebih lengkap. Tetapi informasi mengenai kuburan tua yang di beritakan kuburan hindu ini bayak benarnya juga, jika kita runut dengan penyebaran islam di Jawa yang dilakukan wali sanga sekitar tahun 1400-san Masehi, maka daerah pegunungan Dieng sudah kental dengan hindunya, bukti konkret dengan berdiri megahnya komplek Candi Dieng yang didirikan raja Wangsa Sanjaya pada abad ke-7. Pada masa raja ke-2 yakni Sri Maha Raja Rakai Panangkaran (746 - 784 M) melarikan diri ke dieng karena muntilan-sleman tempat singgasana kerajaan di serang oleh Dinasti Syailendra yang di pimpin raja bernama Bhanu, kemudian Wangsa Sanjaya di lanjutkan Sri Maha Raja Rakai Garung yang beristana di Dieng, sepeningal itu candi tenggelam berabad-abad karena keruntuhan kerajan dan penduduk berpindah agama Budha sehingga warisan Hindu di tinggalkan begitu saja. Komplek percandian kemudian di temukan oleh tentara inggris pada tahun 1814 yang menemukan beberapa bagian atas candi yang terendam di dalam kubangan air dan pada tahun 1856 di mulailah upaya pengeringan yang di pimpin oleh seoarang belanda bernama Van Kinsbergen. Hingga kemudian di temukan candi-candi yang lain di sekitarnya. Komplek candi yang merupakan tempat ibadah berkonsekuensi logis dengan masyarakat sekitar yang religius. Maka penduduk jeblugan adalah salah satunya, mereka yang notabene masyarakar religius rela melewati gunung sikudi untuk melakuakan ritual keagamaan di dieng. Dan untuk saat sekarang, di seluruh wilayah Dieng jeblugan merupakan satu-satunya kuburan tertua bahkan di Kabupaten Wonosobo. Batas wilayahBatas-batas wilayahnya adalah sebagai berikut:
Pembagian wilayah
GeografiDesa Kreo terletak di kaki Gunung Seroja atau Gunung Sikudi, yang merupakan pecahan dari letusan Gunung Prahu, gunung yang berada di tengah-tengah pulau Jawa, tetapi setelah mengalami letusan terdahsyat, gunung Prahu pecah menjadi bukit-bukit, Pakuwaja, Sikunir, Prahu, dan Sikudi, yang menyebar di wilayah pegunungan Dieng, dan sekarang lebih di kenal dengan gunung Dieng atau Dataran Tinggi Dieng (dieng plateu). Desa Kreo berada di ketinggian sekitar 1.400 mdpl. Suhu sekitar 16⁰ C - 23⁰ C pada siang hari, dan malam skitar 12⁰ C - 16⁰ C, dan pada musim kemarau tentunya bisa lebih dingin. |