Konsili Yamnia

Konsili Yamnia (bahasa Inggris: Council of Jamnia), yang diperkirakan berlangsung di kota Yavne (secara historis disebut "Yamnia" atau "Yabne") di Tanah Suci, adalah suatu konsili hipotetis pada akhir abad ke-1 yang sebelumnya diyakini telah merampungkan kanon Alkitab Ibrani. Selain itu, menurut hipotesis ini, dalam Konsili Yamnia kemungkinan pihak otoritas Yahudi memutuskan untuk mengecualikan kehadiran mereka yang meyakini Yesus sebagai Mesias di dalam sinagoge sebagaimana direferensikan oleh penafsiran dari Yohanes 9:22 dalam Perjanjian Baru.[1] Penulisan berkat Birkat haMinim dikaitkan dengan Shmuel ha-Katan di Konsili Yamnia yang dihipotesiskan. Teori yang menyebutkan bahwa Konsili Yamnia menetapkan kanon pertama kali dikemukakan oleh Heinrich Graetz pada tahun 1871, dan menjadi populer pada hampir sepanjang abad ke-20. Namun teori ini semakin hari semakin dipertanyakan sejak tahun 1960-an dan seterusnya, dan teori ini telah secara luas diragukan kenyataannya.[2]

Latar belakang

Talmud mengisahkan bahwa beberapa saat sebelum penghancuran Bait Kedua pada tahun 70 M, Rabi Johanan ben Zakai pindah ke kota Yavne/Yamnia, tempat ia menerima izin dari kaum Romawi untuk mendirikan suatu sekolah halakha (hukum keagamaan Yahudi).[3]

Isi teori

Mishnah, disusun pada akhir abad ke-2, mendeskripsikan suatu perdebatan mengenai status beberapa kitab Ketuvim, dan khususnya mengenai apakah boleh atau tidak mereka menjadikan tangan mereka "tidak murni". Yadaim 3:5 menyebutkan adanya suatu perdebatan tentang Kitab Kidung Agung dan Pengkhotbah. Megillat Taanit, dalam suatu pembahasan tentang hari-hari saat puasa dilarang namun yang tidak tercantum dalam Alkitab Ibrani, menyebutkan hari raya Purim. Berdasarkan hal-hal tersebut, dan beberapa referensi serupa, pada tahun 1871 Heinrich Graetz menyimpulkan bahwa telah berlangsung suatu konsili di Yamnia (atau Yavne dalam bahasa Ibrani) yang telah menetapkan kanon Yahudi pada akhir abad ke-1 M (ca 70–90).[4]

Sanggahan

W. M. Christie merupakan orang yang pertama menyanggah teori populer ini dalam The Journal of Theological Studies edisi Juli 1925, dalam suatu artikel berjudul "Periode Yamnia dalam Sejarah Yahudi".[5] Jack P. Lewis menuliskan sebuah kritik atas konsensus populer ini dalam Journal of the American Academy of Religion edisi April 1964 berjudul "Apa yang Kita Maksud dengan Yabneh?"[6] Raymond E. Brown sangat mendukung Lewis melalui ulasannya yang diterbitkan dalam Jerome Biblical Commentary (juga ditampilkan dalam New Jerome Biblical Commentary tahun 1990), sebagaimana juga pembahasan topik ini oleh Lewis dalam Anchor Bible Dictionary tahun 1992.[7]

Albert C. Sundberg Jr. merangkum inti dari argumen Lewis sebagai berikut:

Sumber-sumber Yahudi menggemakan perdebatan mengenai kitab-kitab biblika tetapi kanonisitas bukanlah masalahnya dan perdebatan tidak berhubungan dengan Yabne... Selain itu, diskusi kanonik yang spesifik di Yabne hanya terbukti untuk Tawarikh dan Kidung Agung. Keduanya tersebar luas sebelum Yabne. Ada perdebatan sengit antara Beth Shammai dan Beth Hillel atas Tawarikh dan Kidung; Beth Hillel menegaskan bahwa keduanya "menajiskan tangan". Salah satu teks berbicara mengenai tindakan resmi di Yabne. Teks itu memberikan suatu pernyataan lengkap bahwa "semua Kitab Suci menajiskan tangan", dan menambahkan "pada hari mereka menjadikan R. Eleazar b. Azariah kepala perguruan tersebut, baik Kidung Agung maupun Koheleth (Pengkhotbah) membuat tangan kotor" (M. Yadayim 3.5). Dari kitab-kitab apokrif, hanya Ben Sira yang disebutkan namanya dalam sumber-sumber para rabi serta terus tersebar luas, disalin, dan dikutip. Tidak ada kitab yang pernah disebutkan dalam sumber-sumber tersebut yang dikecualikan dari kanon di Yabne.[8]

Menurut Lewis:

Konsep Konsili Yamnia adalah suatu hipotesis untuk menjelaskan kanonisasi Tulisan-tulisan (bagian ketiga dalam Alkitab Ibrani) yang mengakibatkan ditutupnya kanon Ibrani. ... Perdebatan-perdebatan yang berkelanjutan ini menunjukkan kurangnya bukti yang menjadi tumpuan hipotesis Konsili Yamnia dan membangkitkan pertanyaan apakah [hipotesis] itu belum menunjukkan kegunaannya dan harus diturunkan ke limbo [sic] hipotesis-hipotesis yang belum terkenal. Seharusnya tidak diperbolehkan untuk dianggap sebagai suatu konsensus [jika] dibangun dari sekadar pengulangan pernyataan.

Para akademisi yang lain sejak saat itu turut menyanggahnya dan teori ini sekarang banyak didiskreditkan.[9]

Referensi

  1. ^ (Inggris) Edward W. Klink III, Expulsion from the synagogue?, accessed 28 May 2016
  2. ^ (Inggris) McDonald & Sanders, editors, The Canon Debate, 2002, chapter 9: Jamnia Revisited by Jack P. Lewis.
  3. ^ Talmud Gittin 56a–b, p.95, Kantor
  4. ^ (Jerman) Graetz, Heinrich (1871). "Der alttestamentliche Kanon und sein Abschluss (The Old Testament Canon and its finalisation)". Kohélet, oder der Salomonische Prediger (Kohélet, or Ecclesiastes) (dalam bahasa German). Leipzig: Carl Winters Universitätsbuchhandlung. hlm. 147–173. 
  5. ^ (Inggris) W. M. Christie, The Jamnia Period in Jewish History (PDF), Biblical Studies.org.uk 
  6. ^ (Inggris) Jack P. Lewis (April 1964), "What Do We Mean by Jabneh?", Journal of Bible and Religion, 32, No. 2, Oxford University Press, hlm. 125-132 
  7. ^ (Inggris) Anchor Bible Dictionary Vol. III, pp. 634–7 (New York 1992).
  8. ^ (Inggris) "The Old Testament of the Early Church" Revisited 1997
  9. ^ (Inggris) McDonald & Sanders, editors, The Canon Debate, 2002, chapter 9: Jamnia Revisited by Jack P. Lewis.

Sumber

  • (Inggris) Kantor, Mattis, The Jewish timeline encyclopaedia: a year-by-year history from Creation to the present day, Jason Aronson Inc., Northvale N.J., 1992

Pranala luar

Kembali kehalaman sebelumnya